Salah satu istilah yang ramai muncul dalam perbincangan seputar pemilu 2019 (wa bil khusus urusan pemilihan presiden) adalah adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM) yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tentu saja yang menuduhkan adanya kecurangan TSM ini adalah pihak yang menengarai akan kalah. Yang gejalanya mau menang, buat apa menyebarkan isu TSM ini. Di mana-mana memang begitu keadaannya. Kesebelasan yang memprotes wasit kebanyakan adalah kesebelasan yang kalah karena gagal membobol gawang lawan. Yang sering berhasil membobol gawang lawan biasanya diam.
Tapi lepas dari hal itu, setelah kini pemilu selesai dan hasilnya diumumkan (tetap dengan tudingan adanya kecurangan TSM oleh KPU), pertanyaannya: apakah ada kecurangan dalam pemilu kita?
Saya jamin bahwa jawabannya: ADA. Tapi apakah kecurangan itu TSM? Saya juga jamin bahwa jawabannya adalah TIDAK.
Sebenarnya kalau Anda membaca tulisan ini untuk sekadar mendapat jawaban ada atau tidaknya kecurangan, sampai paragraf di atas saja sudah cukup. Tapi kalau mau membedah lebih jauh, mari kita lanjut ke paragraf berikutnya.
Pertama-tama, penting kita ingat bahwa pemilu di Indonesia itu sangatlah kompleks. Biar saya tak perlu mengurai bagaimana detailnya komplektitas pemilu kita, coba Anda buka saja link ini. Untuk pemilu sekompleks itu, sebenarnya Indonesia menunjukkan prestasi yang bagus. Penyelenggaraan pemilu di negara kita cenderung lebih baik daripada beberapa negara lain di Asia Tenggara, dalam hal sistem dan logistiknya.
Tentu saja banyak kekuarangan di sana-sini. Ada banyak kelemahan yang masih harus terus dibenahi. Data pemilih kita, misalnya, sampai sekarang kerap menyandang masalah. Akurasi data masih perlu ditingkatkan.
Distribusi logistik dalam pemilu juga masih banyak persoalan. Beban kerja petugas pemilu di lapangan masih sangat perlu dibenahi. Riset lintas disiplin yang dilakukan di UGM (melibatkan ilmu sosial-politik, ilmu kedokteran, psikologi dan geografi) saat ini sedang memetakan permasalahan di balik sakit dan wafatnya sejumlah petugas pemilu di lapangan.
Dan yang paling terasa namun sulit dibuktikan: jual beli suara juga masih kerap terjadi. Vote buying (membeli suara langsung kepada pemilih) atau vote trading (membeli suara gelondongan lewat penyelenggara pemilu) masih terdeteksi. Banyak malah.
Tapi apakah itu semua itu berarti terjadi kecurangan yang TSM untuk memenangkan satu kandidat capres? Saya rasa tidak. Anda pikir mudah merancang kecurangan yang TSM di jaman ini? Sama sekali bukan perkara mudah. Mari lihat apa saja masalahnya.
KPU (dari pusat sampai kabupaten/kota) serta Bawaslu dan Panwaslu itu diisi oleh orang-orang dengan orientasi politik beragam. Rata-rata komposisi para komisioner KPU dan pimpinan Bawaslu/Panwaslu mencakup kekuatan nasionalis (merah), Islam tradisionalis (hijau) dan Islam modernis (biru).
Mengajak seluruh jajaran penyelenggara pemilu untuk melakukan kecurangan TSM itu memerlukan rembugan politik yang sangat lama.
Tak satupun dari Jokowi atau Prabowo yang akan sanggup memperoleh kesepakatan politik di semua tempat dan semua level. Merah setuju, biru belum tentu. Biru oke, hijau bisa nolak. Hijau sepakat, merah melengos. Apa tidak pusing antum?
Negosiasinya memerlukan urat leher yang kuat — dan fulus yang sejabal Uhud. Untuk apa mereka capek-capek melakukan hal itu? Tenaga dan dananya mending mereka pakai untuk membangun pencitraan publik, serta membayar akademisi dan aktivis untuk menjadi pendukung, buzzer atau endorser. Itu lebih jelas juntrungannya.
Tentu saja akan ada yang membantah: banyaknya masalah di TPS-TPS, termasuk pemungutan suara lanjutan (PSL) bahkan pemungutan suara ulang (PSU) itu adalah bukti adanya kecurangan yang TSM. Betul memang banyak PSL dan PSU. Tapi berapa banyak? Dari lebih 809 ribu TPS di seluruh Indonesia, ada sekitar 2700 TPS yang melakukan PSL dan PSU. Itu berarti cuma 0,3%. Apanya yang masif?
Yang juga lebih penting, kesalahan-kesalahan dalam pemilu tak semuanya adalah kecurangan, apalagi kecurangan yang TSM. Ilmu politik sudah membuat kategori jenis-jenis kesalahan yang mungkin terjadi dalam pemilu. Salah satu ilmuwan yang paling banyak dirujuk tentang kesalahan-kesalagan dalam pemilu adalah Sarah Birch, penulis buku berjudul Electoral Malpractice dan tulisan jurnal berjudul Electoral system and Electoral Misconduct.