Pejabat yang Semena-mena di Jalan Raya, Ini Teguran Hadis Nabi Muhammad SAW

Pejabat yang Semena-mena di Jalan Raya, Ini Teguran Hadis Nabi Muhammad SAW

Dari mobil besar, motor besar, hingga kendaraan berplat khusus—terutama yang dimiliki oleh para pejabat—sering kali kita melihat mereka melanggar aturan dengan seenaknya, atau arogan di jalan raya.

Pejabat yang Semena-mena di Jalan Raya, Ini Teguran Hadis Nabi Muhammad SAW

Setiap hari, kita disuguhi pemandangan yang sama di jalan raya: kendaraan dengan plat merah yang melaju tanpa memperhatikan aturan, iring-iringan pejabat yang memaksa pengguna jalan lain menepi, serta pengendara arogan yang merasa berhak mendahului hanya karena statusnya. Mereka tidak peduli dengan lampu merah, marka jalan, atau bahkan keselamatan pengguna jalan lain. Sementara masyarakat biasa harus bersabar menghadapi kemacetan, mereka dengan mudahnya melenggang tanpa hambatan. Ketika aksi mereka terekam kamera dan viral, barulah mereka sibuk meminta maaf—sebuah pola yang terus berulang tanpa ada perubahan nyata.

Berapa kali kita menyaksikan perilaku berkendara yang menyebalkan di jalan raya? Terlalu banyak untuk dihitung. Dari mobil besar, motor besar, hingga kendaraan berplat khusus—terutama yang dimiliki oleh para pejabat—sering kali kita melihat mereka melanggar aturan dengan seenaknya. Seolah-olah aturan lalu lintas hanya berlaku bagi rakyat biasa, sementara mereka bisa sesuka hati melanggar. Baru ketika tertangkap kamera dan viral di media sosial, permintaan maaf pun muncul. Begitu terus siklusnya—viral, ditindak, minta maaf, berulang-ulang tanpa ada perubahan berarti.

Namun, sebagai seorang Muslim, pernahkah kita merenungkan bagaimana Islam mengajarkan adab dalam menggunakan jalan? Nabi Muhammad SAW sudah memberikan tuntunan tentang bagaimana seharusnya seseorang bersikap di ruang publik, termasuk di jalan raya. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menyebutkan:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ بِالطُّرُقَاتِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا لَنَا مِنْ مَجَالِسِنَا بُدٌّ نَتَحَدَّثُ فِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أَبَيْتُمْ إِلَّا الْمَجَالِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ» قَالُوا: وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ؟ قَالَ: غَضُّ الْبَصَرِ، وَكَفُّ الْأَذَى، وَرَدُّ السَّلَامِ، وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ، وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ (رواه البخاري و مسلم)

Dari Abu Said al-Khudri, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian duduk-duduk di jalan!” Para sahabat itu kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidak bisa meninggalkan tempat kami bercakap-cakap ini. Rasul berkata, “Jika kalian tidak mau meninggalkan majelis (tempat ini) maka tunaikanlah hak jalan tersebut”. Para sahabat bertanya: “Apa hak jalan itu?” Rasulullah SAW menjawab: “Menundukkan pandangan, menyingkirkan sesuatu yang bisa menyakiti orang lain, menebarkan perdamaian, menganjurkan kebaikan, dan mencegah kemungkaran.” (H.R Bukhari dan Muslim)

Hadis ini tidak hanya berlaku bagi mereka yang sedang duduk di tepi jalan atau pulang dari suatu majelis, tetapi juga mencakup seluruh bentuk penggunaan jalan, baik saat pulang dari kantor, berangkat bekerja, atau bahkan saat dalam perjalanan dari dan ke istana kepresidenan sekalipun. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa jalan memiliki hak yang harus dihormati oleh setiap penggunanya. Salah satu hak tersebut adalah tidak mengganggu orang lain dan tidak mengambil hak mereka dalam menggunakan jalan.

Hal ini mencerminkan pentingnya menjaga aksesibilitas jalan sebagai bagian dari tanggung jawab sosial. Ruang publik, termasuk jalan raya, adalah milik bersama. Tidak ada yang berhak merasa lebih unggul hingga bisa melanggar aturan dan mengganggu kenyamanan orang lain. Jika seseorang menggunakan jalan secara tidak bertanggung jawab—misalnya dengan menerobos lampu merah, menggunakan sirine tanpa alasan mendesak, atau mengambil jalur orang lain—maka dia telah menzalimi sesama pengguna jalan.

Jika para sahabat yang hanya duduk nongkrong di samping jalan saja ditegur Rasul karena dikhawatirkan mengganggu pengguna jalan, bagaimana dengan para pejabat, dengan mobil kebesarannya yang seenaknya mengganggu pengguna jalan lain, seolah dialah yang harus bekerja. Padahal masyarakat lain yang didahului juga sedang mengejar jam kerjanya.

Mengapa pejabat yang tidak sedang dalam kondisi darurat tidak bisa bersabar dalam antrean seperti masyarakat biasa? Bukankah lebih baik jika mereka merasakan sendiri bagaimana perjuangan rakyat menghadapi kemacetan setiap hari sepulang bekerja? Jika mereka terbiasa hidup dengan kenyamanan yang terus-menerus, lama-kelamaan mereka akan melupakan kesulitan yang dihadapi rakyat. Padahal, dengan merasakan sendiri tantangan di jalan, para pejabat bisa lebih memahami kondisi warganya dan mungkin bisa merancang kebijakan yang lebih baik agar kemacetan berkurang.

Menghormati hak pengguna jalan lainnya juga bagian dari keadilan sosial. Ketika seorang pemimpin atau pejabat mau merasakan sendiri kesulitan yang dihadapi rakyatnya, ia akan lebih mudah mengambil keputusan yang berpihak kepada kepentingan publik. Sebaliknya, jika mereka selalu diberi privilese, mereka akan semakin jauh dari realitas dan semakin tidak memahami kebutuhan masyarakatnya.

Pada akhirnya, mari kita renungkan: apakah kita hanya akan menunggu sampai viral baru kemudian ada tindakan? Ataukah kita bisa mulai dari diri sendiri untuk menjaga adab dalam berkendara dan menghormati hak pengguna jalan lainnya? Jangan sampai etika berlalu lintas hanya menjadi bahan perbincangan di media sosial tanpa ada perubahan nyata di lapangan.

(AN)