Sebuah video beredar di media sosial berisi seorang jemaah yang hendak mengklarifikasi tentang “Islam Nusantara” kepada seorang penceramah bernama Sugi Nur namun dirisak oleh laskar pengikutnya. Menarik, karena Sugik Nur tetap mempersilakan seorang jemaah itu menanyakan kegelisahannya.
Ditanyakan kepada Sugi, apa landasan ushul fiqh yang dapat digunakan untuk mengatakan bahwa Islam Nusantara adalah ajaran sesat?
Bedebah, alih-alih mendapat jawaban ilmiah yang memuaskan, si penanya justru dihadapkan pada argumentasi amburadul berdasar vote Jama’ah yang tentu saja satu frekuensi dengan si penceramah. Sudah begitu, si penceramah dengan percayadiri mengakui bahwa ia memang tidak menguasai rumpun keilmuan tersebut.
Tidak berhenti sampai disitu, si penanya lalu diseret dan dikecam dengan bejibun sumpah serapah oleh pengikut Sugi Nur sambil sayup-sayup terdengar suara takbir, tanda kemenangan.
Demi menyaksikan video itu, tiba-tiba saya teringat pada suatu petang di sebuah Masjid, saya singgah untuk sembahyang Maghrib berjamaah. Selepas sembahyang, seorang jemaah dengan semangat amar makruf menghampiri dan menginterupsi tentang cara berwudlu saya. Terus terang saya terkejut dibuatnya. Pasalnya, selain karena ada orang yang saking selonya mengamati orang lain bersuci, saya merasa berwudlu sebagaimana mestinya.
Baca juga: Viral Video Sugi Nur, MUI Sarankan Undang Penceramah yang Jelas Keilmuwannnya
Di luar dugaan, ternyata dia menyoal kenapa saya berwudlu dengan langsung membasuh muka tanpa berkumur-kumur dan membersihkan lubang hidung terlebih dahulu. Sudah begitu saya pun juga absen membasuh kedua telinga. Dan, menurutnya wudlu saya tidak sah karena tidak tartib. Oleh sebab wudlu saya dianggap tidak sah, maka saya dinasihati—dengan kata-kata pamungkas “sekadar mengingatkan”—untuk mengulang shalat maghrib sekali lagi.
Menanggapi fenomena paling ganjil seumur hidup itu, saya mengucapkan terimakasih dan nitip salam buat ustaz yang mengajarinya ilmu agama, bahwa saya juga kepingin hijrah sebagaimana yang bersangkutan. Menarik, demi mendengar niatan itu, dia pun senang dan mengucap syukur lalu mendoakan agar saya istiqomah memperdalam lagi ilmu agama setelah berhijrah. Luar biasa.
Tentu, bagi seorang santri dari manapun itu, fenomena tersebut sangatlah menggelikan. Betapa tidak, sedasar-dasarnya pelajaran fikih dalam khazanah pesantren, kitab safinah misal, mengajarkan kalau perkara-perkara yang disoalkan itu tadi adalah urusan sunah.
Baca juga: Kekeliruan Sugi Nur Memahami Ayat Al-A’raf
Dilakukan baik, tidak ya ndak apa-apa. Apalagi kalau dalam situasi mengantri atau terbatasnya air, yang sunah itu malahan bisa jadi makruh atau lebih baik ditinggalkan.
Lalu kenapa saya mendapat teguran?
Ada dua kemungkinan. Pertama, dia salah memilih guru. Ya, mengingat akhir-akhir ini semakin gebyar fenomena ustaz karbitan yang hanya berbekal popularitas dan keberanian tapi miskin rujukan, tidak heran jika laku keberagamaan kita menjadi awut-awutan. Bagaimana tidak, kalau dari hulunya saja sudah keliru, apa yang akan terjadi dengan hilirnya? Tentu semakin keliru.
Maka, benar sekali kata Kiai Musthofa Bisri (Gus Mus), bahwa di atas langit itu masih ada langit. Artinya, di atas orang pintar, masih banyak orang yang lebih pintar. Kisah Nabi Musa dengan Nabi Khidir, misalnya. Sebaliknya, di bawah orang bodoh, jelas masih ada yang lebih bodoh. Apalagi di akhir zaman seperti hari ini, dimana kebodohan begitu biasa sehingga dianggap sebuah kebenaran.
Kedua, orang yang menegur saya itu tadi kemungkinan memiliki semangat beragama yang menggebu tapi sayangnya tidak diikuti keilmuan yang mapan. Meminjam istilah akun @NUgarislucu dalam sebuah tweet, bahwa semua orang pernah mengalami pubertas dalam beragama. Dan, saya menganggap bahwa orang tersebut adalah bagian dari itu. Tapi biasanya itu tidak lama asal yang bersangkutan terus belajar dan tak berhenti membaca.
Sialnya, fenomena pubertas semacam itu, akhir-akhir ini banyak sekali terjadi. Bukan apa apa, akan tetapi pada titik ini, orang yang kebetulan meng-amar makruf saya itu mirip sekali dengan apa yang disebut Mas Rumadi Ahmad sebagai fenomena pasar gelap ustaz setamsil Sugik Nur. Mereka merasa benar dengan apa yang dilakukannya, padahal yang demikian itu sungguh teramat menggelikan.
Benar saja, belum lama ini Sugi Nur kedapatan keliru mengutip ayat. Dikatakan oleh dia, bahwa Q.S. al-Isra ayat 176 melegitimasi pengolok-olokan ketika Sugik Nur ditegur oleh seorang jemaah ibu-ibu agar tidak memaki orang lain dengan sebutan binatang. Padahal, Q.S. al-Isra secara kuantitatif berjumlah 111 ayat. Belakangan diketahui bahwa yang dimaksud Sugik adalah al-A’raf ayat 176.
Bagi saya, itu sangat fatal. Tidak saja karena seorang ustaz salah kutip ayat—bukti bahwa dia memang tidak menguasai agama—, tetapi juga karena menggunakan ayat al-Quran untuk melegitimasi sebuah kekeliruan. Lebih-lebih yang menegur adalah seorang jemaah Ibu-ibu.
Sebebal itukah pak ustaz, menampar seorang Ibu dengan dalil agama? Lagi pula, apakah Ibu-ibu itu menganjurkan sesuatu yang nista? Kan tidak juga.