Perayaan peringatan hari lahir Nabi Muhammad lazim disebut Muludan. Di keraton Cirebon, puncak Muludan dilambangkan dengan sebuah prosesi yang disebut ‘Panjang Jimat’.
Sebuah ritual simbolik dramatisasi alegoris lahirnya Nabi Muhammad saw. Sebuah lakon yang menggambarkan kebahagian yang tak bisa dikatakan. Ya, sebuah ekspresi kebahagiaan lahirnya seorang Nabi yang membawa perubahan besar dalam sejarah kehidupan manusia.
‘Panjang Jimat’ sendiri ada yang mengatakan merupakan benda pusaka utama berupa piring keramik Tiongkok yang berhias tulisan-simetris kalimat syahadat dalam bahasa Arab.
Pada malam kelahiran Nabi, di setiap 12 Rabiulawal, pada puncak acara Grebeg-Mulud, benda-benda pusaka tersebut diarak dalam sebuah prosesi, upacara Panjang Jimat.
Sumber yang lain mengatakan kata ‘panjang’ dapat diartikan sebagai ‘tak berhenti’ dan ‘jimat’ berarti ‘siji kang dirumat’ atau ‘satu hal yang dipertahankan’.
Panjang Jimat, dengan begitu adalah simbol komitmen untuk mempertahankan yang satu, yakni ajaran tauhid, sepanjang hidup.
Ritual semacam itu, menurutku, sama dengan ritual pembacaan Barzanji dalam hal mengingat dan mengenang sosok yang hidup di masa lalu.
Ritual-ritual ini diadakan bukan semata ekspresi, perayaan hampa, atau hura-hura belaka. Tapi betul bahwa ritual ini irasional. Betul karena kita semua, orang yang merayakan Muludan, sedang dimabuk cinta. Cinta dan rindu kepada Nabi. Orang mabuk dan orang yang sedang dilanda cinta memang tak kenal logika, irasional.
Tapi kemudian kita ingin meneladani Nabi, yang semasa hidupnya membawa misi rahmat bagi semesta. Puncaknya, kita berupaya untuk hidup bersama Nabi, di sini, di zaman ini. Hidup dengan cara dia hidup, bersikap dengan cara dia bersikap, memiliki akhlak Nabi.
Kemarin saya ditanya salah seorang teman. Katanya, kenapa kita semua orang Islam rindu Nabi, padahal tidak satupun seseorang di zaman ini pernah bertemu Nabi?
Saya jawab saja, Nabi memang sudah tidak ada. Jasadnya sudah dikebumikan. Tapi jiwanya masih mewujud dalam ajaran Islam yang penuh kasih, dalam setiap laku umat Islam yang memberikan kasih, dalam setiap apapun yang di situ ada kebaikan.
Nabi ada di setiap relung jiwa orang-orang beriman. Nabi tetap hidup bersama kita.
Muludan dan segala ritualnya, Panjang Jimat, Pembacaan Barzanji, dsb., berupaya mengingatkan kembali kepada kita yang pernah lupa, bahwa Nabi bersama kita, di sini, di zaman ini.
Mari meneladani Nabi dengan penuh suka cita. Allahumma sholli wa sallim ‘ala sayyidina Muhammad.[]