Pandemi Covid-19, Rahmat atau Azab?

Pandemi Covid-19, Rahmat atau Azab?

Kita sering bertanya, Covid-19 ini bencana atau azab bagi umat muslim?

Pandemi Covid-19, Rahmat atau Azab?

Apakah pandemi Covid-19 merupakan azab, atau rahmat? Mari kita diskusikan, sambil selonjoran aja. Saya sendiri sambil ngopi ini. Begini;

Dalam literatur Islam, wabah penyakit —seperti Covid 19— dikenal dengan istilah thâ’ûn (طاعون). Thâ’ûn adalah wabah penyakit tidak biasa yang menular dengan cepat dan menelan banyak sekali korban dalam waktu singkat, baik korban tertular maupun meninggal. Yang dimaksud dengan wabah penyakit tidak biasa adalah penyakit yang relatif baru, tidak dikenal sebelumnya, atau belum begitu dikenal. Dalam kitab Badzl-u ‘l-Mâûn fî Fadhl-i ‘t-Thâ”ûn, Ibnu Hajar ‘Asqalani tidak menyebut berapa angka minimal korban wabah penyakit sehingga suatu wabah bisa disebut thâ’ûn. Jadi, ya kira-kira sendiri aja. Tapi pakè perasaan yang paling dalam dong.

Istilah lainnya adalah wabâ’ (وباء). Bedanya,  wabâ’ lebih umum dibanding thâ’ûn. Wabâ’ mencakup penyakit yang sudah dikenal namun menyerang banyak orang, bahkan menelan banyak korban meninggal. Wabâ’ mungkin mencakup juga wabah tanaman, yang merugikan banyak orang, terutama petani. Dalam situasi kita sekarang, dimana demam berdarah (DB) dan Covid 19 merebak dalam skala berbeda, kira-kira begini: DB adalah wabâ’; Covid 19 adalah thâ’ûn. Tapi wabâ’ dan thâ’ûn kadang digunakan sebagai sinonim alias muradif.

Kata wabah dalam bahasa Indonesia saya kira diserap dari kata wabâ’ ini. Seperti biasa, kata serapan mengalami perubahan dari aslinya, baik bentuk kata maupun artinya. Artinya bisa menyempit; bisa meluas. Maklum, kalau kata-kata Arab piknik ke Indonesia, ya kemungkinan besar berubah dong. Di Arab tadinya putih, sampè Indonesia jadi sawo mateng; tadinya mancung, sampè Indonesia jadi pèsèk.

Ada banyak Hadis tentang wabah penyakit. Yang paling banyak beredar saat ini adalah Hadis yang berisi anjuran atau keharusan untuk #dirumahaja (lockdown) selama Covid 19 mewabah. Hadis tentang wabah penyakit thâ’ûn memang paling banyak berisi anjuran untuk tidak mendatangi daerah yang terjangkiti wabah, dan warga daerah yang terjangkiti wabah untuk tidak keluar daerahnya. Mirip atau bahkan sama dengan  lockdown sekarang. Atau, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dalam istilah pemerintah —pemerintah sendiri masih sibuk memikirkan penerapannya padahal Covid 19 sudah menyerang seantero negeri.

Eh maaf, ngelantur. Soal apa tadi? O iya. Intinya, ambil langkah maksimal untuk menyelamatkan diri dan orang lain dari wabah yang berbahaya lagi membahayakan itu (termasuk dalam hal agama: tidak shalat Jumat dan tidak shalat berjamaah di masjid, misalnya).

Di antara Hadis tentang wabah adalah Hadis berikut:

 

قال النبي صلعم فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ أي الطاعون بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ

 

(Nabi Muhammad SAW bersabda, “Jika kalian mendengar ada wabah di suatu wilayah janganlah kalian memasuki wilayah tersebut dan jika kalian sedang berada di wilayah yang terkena wabah tersebut janganlah kalian mengungsi.” [HR Bukhari-Muslim]).

Menarik untuk direnungkan bagaimana di zaman itu Nabi Muhammad sudah sampai pada anjuran untuk lockdown bila wabah yang sangat mengerikan sedang melanda. Ingat: merenung. Bukan ngelamun.

Sebentar. Kopi saya kurang manis. Izin ambil gula dulu. Tapi Anda, silahkan terus membaca.

Yang ingin ditekankan di sini adalah ajaran Nabi Muhammad tentang bagaimana sebaiknya kita menyikapi Covid 19, thâ’ûn zaman kita sekarang. Yakni bagaimana menyikapinya selain berhati-hati semaksimal mungkin sebagaimana dianjurkan Nabi dalam Hadis di atas. Jelasnya, bagaimana kita menyikapi Covid 19? Azab Tuhan, atau rahmat Ilahi? Ngeri-ngeri sedap ini.

Kita baca dulu Hadis berikut:

 

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَانِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام بِالْحُمَّى وَالطَّاعُونِ فَأَمْسَكْتُ الْحُمَّى بِالْمَدِينَةِ وَأَرْسَلْتُ الطَّاعُونَ إِلَى الشَّامِ فَالطَّاعُونُ شَهَادَةٌ لِأُمَّتِي وَرَحْمَةٌ لَهُمْ وَرِجْسٌ عَلَى الْكَافِرِينَ (الامام احمد)

 

(Nabi Muhammad bersabda: “Malaikat Jibril datang padaku membawa penyakit demam dan wabah menular (thâ’ûn), maka kuterima penyakit demam untuk kota Madinah dan kukirimkam wabah menular ke Syam. Bagaimanapun, umatku yang meninggal karena wabah menular adalah mati syahid, dan wabah menular merupakan rahmat bagi mereka, sedangkan bagi orang kafir merupakan (hukuman atas) dosa mereka.” [HR Imam Ahmad])

Poin penting dari Hadis di atas adalah bahwa (dalam konteks kita sekarang) Covid 19 merupakan rahmat bagi umat Nabi Muhammad, yakni orang muslim, dan merupakan azab (hukuman) bagi orang kafir. Itulah ajaran Nabi Muhammad tentang bagaimana kita harus menyikapi musibah besar seperti Covid 19 saat ini: Covid 19 adalah rahmat bagi muslim; merupakan azab bagi orang kafir.

Masalahnya, bagaimana sebaiknya kita memahami muslim (umat Nabi Muhammad) dan kafir  dalam Hadis di atas?

Untuk memudahkan pembicaraan, muslim  dan mukmin kita anggap sama dulu ya, yaitu orang Islam (muslim), umat Nabi Muhammad. Jadi, orang mukmin adalah juga orang muslim. Sebenarnya, keduanya secara esensial berbeda, tapi kalau kita bahas sekarang, keburu habis kopi sayah, dan jari-jari saya sudah agak pegel pula, sementara yang harus diketik masih lumayan banyak.

            Menurut saya, cara terbaik memahami kafir dan muslim adalah sebagai berikut: kafir dan muslim di situ bukanlah kategori agama, melainkan kategori sikap atau pandangan. Kafir di sini bukanlah non-muslim. Kafir bukan orang yang secara formal memeluk agama selain Islam. Orang muslim bisa saja memiliki sikap kafir. Orang mukmin juga bisa saja memiliki pandangan kafir. Dalam konteks itulah Hadis lain (lihat di bawah) mengatakan bahwa wabah diberikan Tuhan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, tak peduli dia beragama Islam atau agama lain.

Nah, menyikapi atau memandang Covid 19 sebagai azab atau hukuman, itulah sikap kafir. Jadi, orang muslim yang memandang atau menyikapi Covid 19 sebagai azab Tuhan, sesungguhnya dia memiliki pandangan atau sikap kafir. Dianya muslim, tapi sikapnya kafir. Dalam konteks itulah secara esensial dia tidak mengikuti ajaran Nabi Muhammad. Dikatakan secara ekstrem, dalam hal itu dia bukan umat Nabi Muhammad. Tentu saja Nabi Muhammad mengajarkan untuk menjauhi segala bentuk (sikap) kekafiran.

Umat Nabi Muhammad akan selalu memandang Covid 19 —dan musibah apa pun— sebagai rahmat Allah SWT. Sebab, bagi mereka, segalanya adalah kehendak Allah. Mereka akan selalu berprasangka baik dan percaya bahwa apa pun adalah kehendak Allah. Pasti selalu ada rahmat di balik wabah. Itulah sikap muslim, sikap mukmin, sikap umat Nabi Muhammad. Yaitu sikap pasrah dan percaya sepenuh hati akan kebaikan Allah SWT, meskipun itu secara lahir tampak tidak baik. Ciptaan Allah tak pernah sia-sia. Sekali lagi tolong diingat, muslim dan mukmin di sini bukanlah kategori agama.

Dalam arti itu, non-muslim (yakni orang yang secara formal memeluk agama selain Islam) bisa saja menyikapi Covid 19 dengan sikap muslim dan mukmin. Sikap muslim dan mukmin bukan monopoli umat Nabi Muhammad.

Tapi ‘kan Allah sering berfirman bahwa bencana memang merupakan azab? Nah, itu hak prerogatif Tuhan. Sebagaimana Dia berhak menciptakan hal baik dan hal buruk. Dia menciptakan malaikat, tapi juga menciptakan iblis. Yang Dia inginkan adalah agar kita mengikuti malaikat dan menjauhi iblis. Dengan hal buruk Dia ingin menguji kualitas mental dan spiritual kita. Maka dalam hal itu, kita harus ambil saripatinya, Gaes. Yaitu agar kita tidak melawan-Nya seujung kuku pun.

Tapi kalau kena Covid 19, bagaimana bisa memandang virus itu sebagai rahmat? Justru di situlah terletak nilai relijius dan spiritual sikap muslim. Bagi orang yang positif Covid 19, menyikapinya sebagai rahmat Ilahi merupakan sikap relijius dan spiritual yang sangat dalam sekaligus tinggi.

Lalu, rahmat apa di balik Covid 19? Itulah yang harus kita renungkan. Dan merenungkan hal itu adalah juga sikap muslim dan mukmin.

Mungkin di antaranya ini: jika Anda pejabat pemerintahan, Anda harus belajar dan bertindak secepat mungkin mengelola segala sumber daya pemerintahan (otoritas, birokrasi, keuangan negara, dll.) sebaik-baiknya dalam situasi darurat —dan rakyat akan melihat kinerja Anda. Jika Anda rakyat, Anda harus belajar mengikuti anjuran atau keputusan pemerintah, fatwa ulama atau ormas keagamaan, dll. dan berusaha semaksimal mungkin dalam usaha mencegah meluasnya Covid 19, baik secara pribadi maupun bersama-sama. Jika Anda umat Islam, mungkin Anda menahan perih hati Anda karena tidak shalat Jumat dan tidak shalat berjamaah di masjid, atau menangis dalam hati melihat masjid-masjid sepi —suatu hal yang mungkin belum pernah Anda rasakan sebelum ini.

Silahkan Anda merenungkannya, boleh sambil nyeruput kopi atau teh manis panas-dingin Anda, atau malam-malam ketika Anda berdua saja dengan kekasih Anda. Boleh nanti; boleh sekarang.

Eh, jangan sekarang ding. Sekarang sebaiknya selesaikan dulu membaca tulisan ini.

Sekali lagi, merenungkan Covid 19 sebagai rahmat Ilahi adalah sikap muslim dan mukmin, suatu laku relijius. Dan itu dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW:

 

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا سَأَلَتْ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الطَّاعُونِ فَأَخْبَرَهَا نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى مَنْ يَشَاءُ فَجَعَلَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ فَلَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ فِيهِ فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَمْ يُصِبْهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ (الامام احمد)

 

(Kepada Aisyah Nabi Muhammad pernah bersabda, bahwa wabah merupakan azab yang diberikan Allah SWT kepada orang yang Dia kehendaki, dan menjadikan wabah itu sebagai rahmat bagi orang mukmin. Orang yang terjangkiti wabah lalu berdiam diri di situ (tidak pergi ke mana pun) dengan rasa sabar dan merenungkannya, dia akan tahu bahwa wabah yang menimpanya adalah kehendak Allah SWT, dan dia mendapatkan pahala seperti pahalanya orang mati syahid [HR Imam Ahmad]).

Cukup dulu diskusi kita ya. Silahkan Anda tarik kesimpuan. Saya sendiri mau menarik tali layangan, begini: pandangan bahwa Covid 19 merupakan azab adalah pandangan kafir, meskipun yang berpandangan seperti itu beragama Islam. Kafir dalam konteks ini bukanlah kategori agama, melainkan kategori pandangan atau sikap. Orang muslim bisa memiliki pandangan atau sikap kafir. Sebaliknya, memandang Covid 19 sebagai rahmat Tuhan adalah sikap muslim. Orang non-muslim bisa saja memiliki padangan atau sikap muslim seperti itu. Dan merenungkan rahmat Tuhan di balik Covid 19 secara lebih konkret adalah juga sikap muslim, sebentuk laku relijius.

Semoga bermanfaat. Mari kita menyikapi Covid 19 dengan sikap muslim: memandangnya sebagai rahmat, dan maksimal dalam usaha mencegahnya.

Lo, rahmat Ilahi kok dicegah? Nah lo. Panjang lagi urusan.

Semoga kita berhasil mencegah Covid 19 yang mengerikan ini secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Tangan tengadah, mata terpejam. Wallah-u ‘l-musta’ân. []