Pancasila Sebagai Identitas Muslim Indonesia

Pancasila Sebagai Identitas Muslim Indonesia

Pancasila Sebagai Identitas Muslim Indonesia

Beberapa pekan lalu masyarakat dikejutkan dengan ormas keislaman yang anti terhadap Pancasila. Bagi ormas yang kini sudah dibubarkan pemerintah Indonesia ini, Pancasila dianggap keluar dari dan bertentangan dengan ajaran Islam, atau dalam bahasa mereka “Pancasila adalah ajaran thaghut”.

Umat Islam Indonesia yang berpandangan seperti itu sebenarnya tidak hanya yang tergabung di dalam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) saja, tapi ada yang tidak berorganisasi dan ada yang bergabung dengan ormas-ormas lainnya, terutama yang kerap memberikan “stempel” sesat dan kafir terhadap sesama muslim yang memiliki pemahaman keagamaan berbeda.

Salah satu ciri lain dari muslim yang anti Pancasila ini yaitu tidak mau menghormati bendera, mengharamkan berdiri sebagai perwujudan rasa hormat saat menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan identitas nasional bangsa ini.

Mengamati paham keagamaan seorang muslim seperti di atas, dengan mudah dapat disimpulkan bahwa ia belum selesai dalam mentransformasi ajaran-ajaran Islam yang diyakininya dalam konteks beragama dan bernegara.

Isi Pancasila sendiri jika dikaji dengan pendekatan “Qur`ani”, maka tidak ada satu sila pun yang bertentangan dengan al-Quran. Yang ada sebaliknya, Pancasila justru sangat Qur`ani. Misalnya; sila pertama sesuai dengan QS. Al-Ikhlas 1, sila kedua selaras dengan QS. Al-Isrâ` 70, sila ketiga seirama dengan QS. Al-Hujurât 13, sila keempat sesuai dengan QS. Asy-Syu’arâ` 38, dan sila kelima semakna dengan QS. An-Nahl 71.

Memang, seorang muslim bisa saja menafsirkan ayat-ayat di atas ke makna lain. Juga sah-sah saja menggali makna di dalam al-Quran hingga berkesimpulan bahwa Pancasila bertentangan dengan al-Quran. Tapi persoalannya, bukankah al-Quran dalam banyak ayat menyerukan penghormatan terhadap manusia dan mementingkan persatuan daripada perpecahan? Bukankah al-Quran menegaskan bahwa misi kenabian adalah untuk memberikan rahmat atau kasih sayang kepada semesta alam? Bukankah Nabi Muhammad sendiri menegaskan bahwa dirinya diutus untuk merahmati bukan me-“laknati”? “Innî lam ub’ats la’ânan, wa innamâ bu’itstu rahmatan (Aku diutus bukan untuk mengutuk, tapi untuk menebar kasih sayang kepada semesta alam),” kata Nabi.

Ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, Nabi mengadakan kesepakatan hidup bersama dengan banyak komunitas lintas agama dan suku dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan (al-insâniyyah), keadilan (‘adl), kesetaraan (al-musâwah), dan kebebasan (al-hurriyyah). Kontrak sosial ini disebut dengan “al-watsîqâh al-madînah” (Piagam Madinah).

Madinah yang oleh Sayyid Mahmûd al-Qimnî dalam karyanya, Al-Hizbu al-Hâsyimî wa Ta`sîsu ad-Daulah al-Islâmiyyah, dikatakan sebagai “negara Nabi Muhammad” itu diceritakan oleh Ahmad Shubhî Manshûr dalam bukunya, Al-Hisbah Dirâsah Ushûliyah Târikhiyah, sebagai berikut:

“Negara nabi berdiri di atas demokrasi (asy-syûrâ), kebebasan (al-hurriyyah), dan keadilan (al-‘adl). Namun seiring berjalannya waktu setelah memasuki Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, kekuasaan dibangun di atas pondasi kekerasan dan kezaliman.” (1995:10).

Kesimpulan Manshûr dalam mengilustrasikan “Negara Madinah” itu mirip dengan kondisi negara yang diidealkan dalam masyarakat Jawa, yaitu “gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja” atau pinjam istilah al-Quran “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr”. Kendati “Negara Madinah” sejahtera, namun Nabi tetap menyimpan agenda untuk bersaing atau bahkan menaklukkan negara-negara digdaya saat itu, yakni Persi dan Romawi. Cita-cita Nabi ini disampaikan sejak awal menerima risalah kenabian ketika masih berada di Makkah. Cita-cita itu tersebut dalam hadis yang berbunyi: “Latumlakanna kunûzu kisrâ wa qaishar (Kelak kekayaan Persi dan Romawi akan kita kuasai).”

Dalam membangun kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara Nabi selalu memperhatikan identitas nasionalnya sebagai bentuk perlawanan terhadap -dan pembeda dengan- komunitas yang zalim melalui seruannya kepada para sahabat-sahabatnya untuk tidak meniru “gaya” komunitas itu. Nabi bersabda: “Man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum (Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia bagian darinya).”

Perkataan Nabi yang biasa diistilahkan dengan “hadis tasyabbuh” ini disampaikan dalam konteks persaingan “global”. Bagi Nabi, sebuah bangsa harus memiliki identitas tersendiri yang membedakannya dengan komunitas lain yang perilakunya tidak patut ditiru.

Di Nusantara “hadis tasyabbuh” pernah dipraktikkan para kiai saat melawan penjajah melalui larangan menggunakan jas dan dasi yang saat itu menjadi identitas penjajah. Selain itu, para kiai yang kemudian mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama itu juga menanamkan kecintaan terhadap tanah air kepada masyarakat melalui pernyataan (menurut sebagian ulama, ungkapan ini sebagai “hadis”) berupa “Hubbu al-wathan mina al-îmân (Cinta tanah air bagian dari iman)”.

Pernyataan bahwa cinta tanah air sebagian dari iman meniscayakan bahwa seorang muslim belum sempurna keimanannya jika tidak mencintai tanah airnya sendiri. Ini bagian dari ijtihad politik para ulama saat itu yang sangat luar biasa dalam mendidik masyarakat supaya menjadi seorang muslim yang nasionalis (100% Muslim, 100% Indonesia), atau lebih tegas lagi seperti yang sering disampaikan KH. Ahmad Mustofa Bisri, “Kita ini orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang berada di Indonesia”.

Lalu bagaimana dengan Pancasila sebagai identitas muslim Indonesia? Jika Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, Pancasila justru sangat Qur`ani, dan sebuah bangsa harus memiliki dan menjunjung tinggi identitas nasional, maka Pancasila adalah identitas untuk muslim Indonesia. Menjadi muslim 100%, dalam waktu bersamaan menjadi warga Indonesia yang Pancasilais 100%.

*) Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Bukit Walisongo Semarang