Buku “Islam, Pancasila, dan Geliat Demokrasi di Indonesia”: Mendaras Islam, Pancasila, dan Keterbatasan Makna Demokrasi

Buku “Islam, Pancasila, dan Geliat Demokrasi di Indonesia”: Mendaras Islam, Pancasila, dan Keterbatasan Makna Demokrasi

Dalam buku Islam, Pancasila, dan Geliat Demokrasi di Indonesia, kita bisa melihat betapa banyak orang-orang Islam menjadi aktor penting dalam gejolak politik yang terjadi sepanjang demokrasi berjalan di negara ini.

Buku “Islam, Pancasila, dan Geliat Demokrasi di Indonesia”: Mendaras Islam, Pancasila, dan Keterbatasan Makna Demokrasi
Cover buku “Islam, Pancasila, dan Geliat Demokrasi di Indonesia: Dinamika  Aksi dan Refleksi”

Tulisan-tulisan M. Alfan Alfian yang termuat dalam bukunya, Islam, Pancasila, dan Geliat Demokrasi di Indonesia: Dinamika  Aksi dan Refleksi, sangat patut dibaca. Mengingat, terhitung mulai bulan Februari 2023, pemilihan umum akan digelar setahun lagi. Sekurangnya, dengan membaca jejak gejolak politik yang terjadi di Indonesia beberapa tahun silam, sepanjang pemilu berlangsung, dari tahun ke tahun, kita bisa mempersiapkan segala kemungkinan yang akan terjadi pada percaturan dan pergulatan politik di masa mendatang.

Dalam buku Islam, Pancasila, dan Geliat Demokrasi di Indonesia, kita bisa melihat betapa banyak orang-orang Islam menjadi aktor penting dalam gejolak politik yang terjadi sepanjang demokrasi berjalan di negara ini. Mulai dari yang aktif dalam organisasi yang secara terang-terangan berasaskan Islam, hingga yang tidak terang-terangan. Baik yang “resmi”, maupun yang “tidak resmi”.

Fachry Ali dalam pengantar buku menjelaskan, yang dimaksud organisasi “tidak resmi” adalah artikulasi politik yang digerakkan oleh tokoh-tokoh “independen”. Mereka tidak berada dalam organisasi-organisasi Islam seperti Muhammdiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Sedangkan yang “resmi” adalah artikulasi politik yang dilancarkan partai-partai politik Islam.

Dalam pergerakannya, tak jarang kedua golongan tersebut “berkelahi”. Alasannya, karena keduanya memiliki prinsip yang tidak sama dan masing-masing ingin memperjuangkannya. Satu golongan ingin menegakkan kembali prinsip-prinsip dalam ajaran Islam yang menurutnya tidak berjalan baik di Indonesia. Namun, cara pendekatannya kerap tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di Indonesia.

Alih-alih ingin melakukan nahi munkar, cara dakwahnya justru menimbulkan kerusakan dan kekacauan pada golongan lain. Semua orang yang dianggap tidak memiliki prinsip yang sama dengannya juga terkena dampaknya. Tidak heran, golongan ini kerap mendapat respon tidak baik oleh golongan Islam “resmi”.

Meski demikian, keadaan ini  justru dimanfaatkan oleh golongan Islam “resmi”. Mereka terus memojokkan dan memarjinalkan golongan “tidak resmi”. Seakan-akan, demokrasi ini hanya bisa dinikmati oleh golongan “resmi”, sementara golongan “tidak resmi” dibuat tak berkutik.

Misalnya yang terjadi pada kasus pengusiran kelompok Syi’ah di Sampang, Madura. Ust. Tajul Malik, selaku pemimpin aliran di daerah tersebut, diusir dengan cara tidak terhormat oleh masyarakat setempat, Bahkan pengusiran itu mendapat dukungan penuh dari pemerintah di sana. Tentu, dalam ranah politik, keadaan ini dapat memperkokoh kedudukan golongan “resmi” di kursi jabatannya.

Lalu, di manakah letak batas-batas demokrasi? Sepanjang mendaras buku ini, M. Alfan Alfian masih belum memaknai demokrasi secara utuh dan objektif. Pemaknaannya masih subjektif. Ia cenderung berpihak pada satu golongan saja, yakni golongan “resmi” yang mayoritas. Praktis, semuanya masih berkisah pada perjuangan-perjuangan dari kelompok “resmi”.

Tokoh-tokoh yang ditulis, seperti Rhoma Irama, Subchan ZE, Gus Dur, Dawam Rahardjo, A.R. Fachruddin, Lafran Pane, Nurcholish Madjid, dan banyak lagi, juga berasal dari golongan “resmi”. Kita belum melihat, sejauh mana demokrasi yang digaungkan di negara ini bisa dirasakan secara merata, termasuk golongan”tidak resmi”. Kita masih bertanya, apakah kekhawatiran terhadap gerakan-gerakan dari golongan “tak resmi” yang diindikasikan dapat mengancam keutuhan NKRI, benar-benar kekhawatiran? Atau hanya bualan sebagai pemantik untuk meraup massa dan memperkokoh jabatan?

Kendati pada halaman 105, dalam resensinya terhadap buku Denny J.A., Jalan Demokrasi dan Kebebasan untuk Dunia Muslim: Indonesia sebagai Model?, M. Alfan Alfian mengatakan bahwa hingga kini kita tetap optimis bahwa aktor-aktor utama dalam Islam di Indonesia, cenderung melangkah ke arah demokratisasi. Akan tetapi, aktor yang dimaksud tersebut adalah dari golongan “resmi” yang cenderung leluasa untuk bergerak. Pun demikian, hasil demokratisasi itu hanya dirasakan oleh kalangannya sendiri, sebagai golongan mayoritas yang “resmi”.

Buku dengan pembahasan yang serupa pernah ditulis oleh Ken Miichi, seorang peneliti berkebangsaan Jepang. Bahkan, sepanjang jangkauan bacaan saya, sementara buku Miichi itu menjadi buku termutakhir yang terbit dengan pembahasan tentang gerakan Muslim dalam percaturan Politik di Indonesia. Buku yang dimaksud adalah Ideologi dan Gerakan Politik Islam di Indonesia: dari NU hingga Syi’ah.

Sesuai judulnya, tulisan dalam buku ini berbeda dengan buku M. Alfan Alfian. Miichi lebih fokus pada pembahasan pergerakan organisasi Islam dari NU hingga Syi’ah. Peneliti lulusan Graduate School of International Cooperation Studies Universiti, Kobe, Jepang ini cukup detail membahasnya. Lebih-lebih dari golongan Syi’ah, yang selama ini masih bergerak secara diam-diam.

Meski diam-diam, sebagai organisasi minoritas, tentu setiap gerak-geriknya selalu menjadi sorotan dari pihak mayoritas. Jika terjadi gerakan yang sedikit menyimpang dari kebiasaan, golongan mayoritas tak segan untuk melibas tanpa ampun. Ironisnya, golongan mayoritas tidak melakukan tabayyun terlebih dahulu. Dari sini, lagi-lagi golongan minoritas yang dikategorikan sebagai golongan “tidak resmi” menjadi incaran dalam segala hal. Bahkan, tak jarang dalam hal-hal yang ada kaitannya dengan kepentingan politik.

Dengan demikian, pertanyaannya tetap, di manakah letak batas-batas demokrasi di Indonesia? Apakah Indonesia benar-benar layak menyandang negara demokrasi? Sementara ini, belum ada tulisan yang dapat menjawab dua  pertanyaan itu. Sebab, pada kenyataannya, wajah demokrasi kita masih bopeng. Sekalipun  ada yang mencoba menulisnya, bisa dipastikan kalau itu sangat subyektif. [NH]