Selain Islam, Konsep Pañcasīla Juga Terdapat dalam Ajaran Budhisme

Selain Islam, Konsep Pañcasīla Juga Terdapat dalam Ajaran Budhisme

Kebijakan lima sila (Pañcasīla) telah eksis di masyarakat. Menurut Kotapitiye Rahula Thera, Sang Buddha sendiri telah berusaha untuk menguraikannya lebih lanjut. Sebagian besar penguasa-penguasa terkemuka di dunia Timur telah mengikuti kebijakan ini dalam rangka meningkatkan harkat negeri mereka.

Selain Islam, Konsep Pañcasīla Juga Terdapat dalam Ajaran Budhisme

Yang terhormat Para Pemimpin Agama, Presiden, Tamu Istimewa dan Hadirin sekalian. Saya menghaturkan rasa bahagia atas terselenggaranya KTT Forum Agama G20 (R20) hari ini untuk pertama kalinya di Indonesia.

Bahkan sebelum kelahiran Buddhisme, kebijakan lima sila (Pañcasīla) telah eksis di masyarakat. Dan Sang Buddha sendiri telah berusaha untuk menguraikannya lebih lanjut. Sebagian besar penguasa-penguasa terkemuka di dunia Timur telah mengikuti kebijakan ini dalam rangka meningkatkan harkat negeri mereka.

Raja Dharmashoka, kaisar besar dari India, merupakan salah satu di antara penguasa yang menyebarluaskan kebijakan ini pada abad ke-3 Masehi. Konstitusi Indonesia modern menjadi contoh terbaik dari kebijakan ini. Oleh karena itu, dengan senang hati saya akan memaparkan tentang kebijakan Pañcasīla kepada dunia yang sangat diapresiasi oleh Indonesia ini.

Pertama, saya ingin menyampaikan bahwa kebijakan lima sila merupakan konsep berharga yang terkandung dalam agama Buddha yang dapat dipraktikkan oleh siapa saja. Hal ini menegaskan bahwa lima sila ini tidak terbatas pada sekelompok manusia, ras, masyarakat maupun agama tertentu.

Tidak membunuh makhluk hidup adalah kebijakan yang pertama. Bersebab tipisnya cinta-kebajikan[1] dan belas kasih[2], manusia bertindak demi meraup keuntungan dengan mementingkan ego mereka sendiri[3]. Berlandaskan pada sifat demikian, manusia terlibat dalam hiangnya nyawa manusia lainnya. Empat emosi utama yang umumnya dimiliki oleh setiap makhluk hidup adalah keinginan untuk hidup (jīvitukāmā), takut mati (amaritukāmā), keinginan untuk bersenang-senang (sukhakāmā) dan tidak mau mengalami penderitaan (dukkha paṭikkūla).[4] Dengan membunuh makhluk hidup, emosi-emosi yang disebutkan di atas telah dirusak. Sebagai pemimpin agama, kita harus berkomitmen untuk menjamin keselamatan setiap makhluk hidup.

Kebijakan ini, tentu saja, tidak hanya terbatas pada tidak membunuh orang lain saja. Sebaliknya, kebijakan ini juga meliputi peniadaan tongkat dan senjata (nihita daṇdo satto), malu melakukan kejahatan (lajji), bersikap penyayang (dayāpanno), dan mencintai flora dan fauna (sabbabāṇabhūtahitānukampī).[5]

Pada masa sekarang ini, kita menyaksikan senjata diproduksi untuk mempromosikan perang dan konflik di tengah masyarakat. Bahan zat kimia beracun yang membahayakan makhluk hidup dan lingkungan juga dilepaskan dalam jumlah yang massif.

Semua itu adalah pelanggaran atas hak semua makhluk hidup karena alam semesta adalah milik bersama. Oleh karena itu, kebijakan pertama membimbing kita untuk menyebarkan cinta kasih ke seluruh alam semesta dan semua yang tinggal di dalamnya tanpa membedakan ras, agama, budaya, atau negara.

Kebijakan kedua adalah tidak mengambil hak orang lain (mencuri). Kebijakan ini mencakup berbagai upaya untuk merampas milik orang lain dalam skala besar. Penghancuran sumber daya materi, peradaban, budaya atau konsep dari masyarakat lain juga merupakan perluasan dari arti pencurian ini. Memperoleh sumber daya lokal di negara-negara miskin melalui berbagai cara dan melakukan invasi ke negara bersangkutan juga bagian dari pencurian ini.

Dia yang merampas hak orang lain tidak akan hidup abadi. Hanya ada kesenangan sementara di dalamnya. Oleh karenanya, realitas temporal universal ini harus dipahami. Kita kemudian dapat menciptakan dunia bagi orang lain untuk hidup tanpa rasa takut dan keraguan.

Kebijakan ketiga adalah menghindari kesalahan berkaitan dengan objek-objek sensual. Jika sumber daya yang tersedia untuk mencukupi kebutuhan manusia digunakan untuk merusak makhluk hidup atau lingkungan demi kepentingan sesaat, baik di level individual sampai ke level global, perilaku ini merupakan suatu bentuk penyalahgunaan.

Obat-obatan sudah seharusnya digunakan untuk sarana penyembuhan. Namun, ketika ia digunakan untuk membuat suatu penyakit, hal itu juga merupakan bentuk penyalahgunaan. Dewasa ini, penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi modern dapat diamati karena telah banyak kemajuan IPTEK yang digunakan justru untuk merugikan makhluk hidup. Pemikiran ideal Sang Buddha kiranya layak disebutkan di sini bahwa setiap manusia atau lingkungan tidak boleh dirusak, bahkan barang-barang bekas pun tidak boleh menjadi objek yang membahayakan bagi orang lain.[6]

Selain itu, perilaku tercela dalam bertindak, berbicara, dan menulis juga dapat menyebabkan terjadinya pelanggaran atas hak orang lain. Melalui pelecehan seksual, banyak tercipta konflik dalam kehidupan pribadi dan keluarga. Pemerkosaan, pelecehan anak, dan penyakit sosial lainnya kini juga merajalela. Oleh karena itu, kebijakan ketiga ini harus dipraktikkan untuk mencari solusi atas permasalahan di atas dengan membangun masyarakat yang menjunjung tinggi etika dan moralitas.

Kebijakan keempat adalah menjauhkan diri dari kebohongan. Pada dasarnya, keterpercayaan adalah kerabat terbaik.[7] Untuk hidup tanpa rasa takut dan ragu, kepercayaan harus ada di tempat di mana kita hidup dan juga dalam pergaulan dengan orang lain. Semua ini harus berlandaskan pada kebenaran dan kejujuran. Kebohongan hanya akan meruntuhkan pondasi ini. Oleh karena itu, kebohongan memiliki dampak yang sangat buruk bagi masyarakat baik dalam skala individual maupun global.

Di sisi lain, kebohongan berpotensi mengubah seseorang yang polos menjadi seorang pembunuh. Itulah sebabnya mengapa Sang Buddha menyatakan bahwa tidak ada kejahatan yang tidak dapat dilakukan oleh seorang pendusta.[8] Dengan kemajuan teknologi komunikasi, terutama melalui media sosial, kebohongan dapat tersebar secara luas. Dengan ini, kita harus bijaksana untuk tidak menerima berita apa saja tanpa adanya bukti yang memadai. Sebab, hal demikian dapat menyebabkan terjadinya konflik antar sesama.

Selanjutnya, kebijakan kelima adalah tidak mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan yang dapat mengubah keadaan alamiah manusia. Pada masa lalu, manusia memakainya sampai pada batas tertentu saja. Namun, kini banyak negara menghadapi permasalahan serius karena mengubahnya menjadi bisnis dan melibatkan para mafia.

Terjadi peningkatan jumlah aksi kriminal yang disebabkan oleh anak-anak muda yang kecanduan obat-obatan terlarang. Dengan mengkonsumsi obatan-obatan ini, terjadi peningkatan jumlah penyakit tidak menular dalam proporsi yang mengkhawatirkan. Hal ini juga menjadi pemicu banyaknya pelanggaran anti-sosial. Oleh karena itu, penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang menjadi ancaman bagi kesehatan, moralitas, kekayaan, dan kesejahteraan umat manusia. Menurut hemat saya, ini akan menjadi problem serius di masa depan, jika semua orang tidak menolaknya sebagai suatu penerimaan etis.

Menurut ajaran Buddha, empat kebajikan seperti “dapat dipercaya” (Saddhā), “moralitas” (Sla), “kedermawanan” (Cāga), dan “kebijaksanaan” (Paññā) berperan penting dalam menjaga kebahagiaan dan keharmonisan antar ras, agama, budaya, dan masyarakat di dunia.

Membangun rasa saling percaya membantu kita untuk hidup tanpa rasa takut dan keraguan. Moralitas menjadi sangat penting bagi masyarakat yang adil dan taat hukum. Seseorang harus bermurah hati untuk menghormati pendapat orang lain tanpa berpikir bahwa hanya pendapatnya sendirilah yang benar. Praktik kebijaksanaan harus selalu diarahkan untuk bertindak secara cerdas di dunia modern yang kompleks ini.

Lima kebijakan di atas akan sangat membantu dalam mengembangkan kualitas-kualitas tersebut. Oleh karena itu, saya percaya bahwa hal ini sangat berharga untuk disebar luaskan dalam rangka membangun dunia yang lebih baik. Suatu kehormatan bagi saya untuk datang ke negara seperti Indonesia yang dirawat oleh konsep Pañcasīla untuk berbicara kepada Anda mewakili semua pemimpin agama. Semoga semua makhluk senantiasa berbahagia dan dilimpahi kesehatan (Sabbe sattā bhavantu sukhitattā).

Terimakasih banyak!

 

*Artikel ini merupakan makalah Dr. Kotapitiye Rahula Thera untuk forum R20 di Nusa Dua, Bali (2-3 November 2022). Untuk diketahui, Dr. Kotapitiye Rahula Thera merupakan Sekretaris Jenderal dan Wakil Prelatus di Dewan Tertinggi Sangha Kotte. Dia juga menjadi Kepala dan Profesor Senior, Departemen Pali and Buddhist Studies, Universitas Peradeniya, Sri Lanka 

 

Rujukan

[1] “cinta-kebajikan adalah meliputi persahabatan dengan semua makhluk hidup” (Mettañca sabbalokasmi), Khuddakapāṭha. (ed.) Helmer Smith (London: Pali Text Society, 1978), 08.

[2] 2“Belas kasih menumbuhkan pikiran baik terhadap mereka yang berada dalam kesulitan” (Paradukkhe sati sādhūnaṃ hadayakampanaṃ karotīti karuṇā), Itivuttakaṭṭhakathā. (ed.) Mm Bose (London: Pali Text Society, 1934), 56.

[3] mameva ativasā ass- iti bālassa saṅkappo”, Dhammapada (ed.) O. Von Hinuber dan KR Norman (London: Pali Text Society, 1995), 11.

[4] Dīgha Nikāya II. (ed.) T.W. Rhys Davids (London: Pali Text Society, 1910), 330.

[5] Dīgha Nikāya I. (ed.) T.W. Rhys Davids and J. Estlin Carpenter (London: Pali Text Society, 1947), 03.

[6] Clavaggapali II. (ed.) H. Oldenberg (London: Pali Text Society, 1977), 290.

[7]Vissāsa paramā ñāti”, Dhammapada (ed.) O. Von Hinuber and K.R. Norman (London: Pali Text Society, 1995), 11

[8]Natthi pāpaṃ akāriyaṃ”, Ibid, 26.