One Piece Film: Red (selanjutnya disebut Film Red saja) melebihi ekspektasi saya ketika menonton di bioskop. Yang awalnya saya ingin menyaksikan sebuah hiburan, tetapi malah dibuat mikir setelahnya.
Di satu sisi, Red mengobati kerinduan saya terhadap kocaknya kru bajak laut Mugiwara, tetapi di sisi lain juga membentangkan sebuah ironi yang sangat relevan dengan situasi abad ini. Saya tidak tahu persisnya apakah Eiichiro Oda sengaja melakukan itu atau tidak. Jelasnya, Red mempertontonkan potret consumer society.
“Mari kita bersenang-senang,” kata Uta, salah satu karakter penting di film Red.
Saya menduga bila frasa “bersenang-senang” di sini merupakan selubung ideologi dari keseluruhan plot cerita. Ekspresi “bersenang-senang” dalam film Red mengejawantah secara konsisten pada sebuah panggung konser musik, dengan Uta sebagai divanya.
(Konser) Musik adalah salah satu bentuk budaya pop. Ia menjadi rujukan banyak orang ketika ingin menyalurkan, meletupkan, atau mengekspresikan sisi emosional manusia. Juga, musik merupakan medium yang cukup ampuh untuk mendistribusikan pesan.
Dengan gaya hidup bersenang-senang, Uta menjanjikan sebuah realitas tanpa kelas, penuh kebahagiaan, dan kenikmatan duniawi. Tetapi Uta ternyata bukan hanya bernyanyi, melainkan juga menyuplai bentuk-bentuk kesenangan lain lewat makanan dan segala hal yang dapat memuaskan hasrat manusia.
Uta adalah representasi realitas itu sendiri. Lewat (konser) musik, Uta mengkreasi sebuah dunia yang penuh keadilan, kesetaraan, dan nir-kekerasan. Tenryubito, yang dalam semesta One Piece ditakuti oleh banyak orang (ordinary people), justru kehilangan marwahnya di hadapan Uta. Dengan visi yang sangat adiluhung inilah Uta mendapat banyak penggemar, baik dari warga sipil, bajak laut, dan bahkan aparat penegak hukum (Marine).
Sayangnya, itu semua hanya imajinasi Uta semata. Tetapi ini bukan sekadar imajinasi. Imajinasi itu ternyata hidup dan bahkan memiliki kemampuan untuk mengkondisikan banyak orang sesuai dengan kehendak Uta, baik di dunia nyata maupun di dunia maya versi Uta. Jean Baudrillard dalam buku Simulations (1983) menyebut logika ini sebagai realitas simulakra, yang dengannya Uta melahirkan sebuah dunia hiper-realitas.
Hiper-realitas merupakan imitasi berlebih atas sesuatu yang tidak pernah benar-benar ada. Pada kadar tertentu ia bahkan tampak lebih “nyata” melampui realitas sebenarnya. Umpamanya adalah realitas di platform media sosial, instagram. Dengan segala modifikasi filternya, orang jadi tampak lebih “hidup” dan percaya diri ketimbang di dunia korporeal tempat realitas asalinya mengada.
Logika itu juga tertuang dalam film Red. Selain Luffy dan Gordon, Shanks ikut berupaya semampus tenaga untuk meyakinkan Uta bahwa apa yang dia lakukan di dunia maya dengan Tot Musica adalah keliru.
“Tidak ada keadilan dan kesetaraan di dunia ini!!” kata Shanks, yang ternyata adalah bokap (angkat)nya Uta.
Badalanya, Uta tetap bersikeras dengan utopia tentang era baru yang penuh perdamaian dan keadilan totalitarian. Uta terlampau yakin (atau malah halu) dengan apa yang dia lakukan, walaupun itu hanya terjadi di dunia maya tempat dia menjangkarkan kekuasaan.
Di abad ke-21 ini, kuasa Uta laksana algoritma. Ia mampu menentukan selera, gaya hidup, preferensi (ritual) keagamaan, hingga pilihan politik umat manusia. Di sini (teknologi) media memiliki peran kunci. Media bukan saja menjadi tempat sirkulasi tanda, tetapi juga menopang proses distribusi kehendak penguasa.
Penguasa di era serba media bisa berasal dari mana saja. Jika di film Red hanya ada satu Uta, maka di ruang media kita ada banyak Uta. Misalnya adalah Uta dalam wujud marketplace dengan flash sale sebagi regime of truth-nya. Berapa banyak orang yang terkondisikan untuk memelototin hitungan mundur di layar gawai menjelang pukul 00.00 WIB demi sebongkah iPhone seri terbaru dengan harga Rp1,00? Lalu, berapa banyak orang yang bisa benar-benar mendapatkannya?
Taruhlah ada 10 orang yang benar-benar terpuaskan hasratnya. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah: berapa keuntungan yang didapat oleh pemilik platform dari kunjungan para pengabdi flash sale yang bisa bejibun jumlahnya itu? Bagaimana nasib mereka yang gagal mendapat flash sale? Apakah mereka tidak akan tergiur dengan produk-produk lain yang kebetulan melintas di linimasa lalu membuatnya berpikir bahwa “mungkin ini berguna”? Check-out ah!! Mumpung ada duit. Kalaupun sedang bokek, toh bisa kredit. Dan, sialnya, kalau ada orang malas kredit, marketplace ternyata masih menyediakan fitur wishlist.
Situasi ini secara persis tertuang dalam salah satu babak film Red. Orang mulai sadar bahwa mereka pada dasarnya terdominasi oleh angan-angan Uta. Lalu ada yang menginterupsi, “Putri Uta, aku ingin pulang. Ada domba yang harus aku gembalakan.”
“Tidakkah kalian sadar bahwa di sini jauh lebih membahagiakan? Jangan pulang. Bersenang-senanglah bersamaku. Di sini kalian tidak perlu bekerja, sekolah, atau menggembala. Dunia tempat kalian berasal itu penuh penderitaan,” bujuk Uta.
(Tentu percakapan di atas tidak secara persis saya kutip verbatim. Selain karena saya bukan perawi Hadist yang harus memiliki kekuatan hafalan di atas rata-rata, tulisan ini juga tidak bermaksud menduplikasi percakapan asli dalam film yang masih berlayar di bioskop sedunia.)
Sadar bahwa gelombang protes itu makin membesar, Uta menarik kesimpulan bahwa pemicu sikap subversif orang-orang adalah faktor psikologis. “Mereka pasti kurang bahagia. Akan kuberi kalian kebahagiaan yang tiada tara. Makanlah semuanya yang kalian suka, selagi aku bernyanyi. Ayo kita bersenang-senang!!”
Jika Putri Uta meninabobokan akal sehat masyarakat dengan nyanyian dan suplai hiburan, juga makanan, maka kuasa marketplace mengubur daya kritis pelanggannya dengan menganggit gugusan promo berupa potongan harga bagi mereka yang menggunakan layanan “bayar nanti” (paylater).
Pada gilirannya, orang tetap akan dikondisikan oleh Uta-Uta kekinian dan ke-di-sini-an, bagaimanapun caranya, agar melakukan konsumsi berlebih, menggunakan logika kapitalisme lanjut. Itulah kenapa kekuasaan Uta sulit sekali untuk diruntuhkan.
Saking adikuasanya, untuk satu Uta saja Luffy dan adiknya Katakuri harus bekerjasama. Demikian halnya Shanks dan Fujitora. Itu pun mereka baru berhasil setelah ada koordinasi dua alam pikir, yaitu alam imaji (konsorsium Mugiwara) dengan alam korporeal (koalisi Akagami). Mohon maaf untuk yang terakhir itu sepertinya hanya penggemar One Piece yang akan mengerti konteks saya.
Oiya, saya sebetulnya agak ‘kecewa’ dengan keputusan Oda yang menghilangkan jatidiri Zoro. Saat serangan serentak kepada Iblis Tot Musica berlangsung, Zoro kok ya bisa-bisanya secara akurat dan presisi mengikuti petunjuk arah Usopp…