Narasi Pribumi Sejak Pilkada DKI Hingga Kini

Narasi Pribumi Sejak Pilkada DKI Hingga Kini

Pada saat ribut Pilkada DKI, istilah pribumi menyeruak ke permukaan untuk mendiskreditkan Ahok dan para Chinese lain pendukung Ahok. Sudah mah dianggap minoritas karena agama, dikata-katain China pula.

Narasi Pribumi Sejak Pilkada DKI Hingga Kini
Ilustrasi tentang pribumi dan non pribumi dari Anies Baswedan menuai kontroversi. Pict by @seblat

Pada saat ribut Pilkada DKI, istilah pribumi menyeruak ke permukaan untuk mendiskreditkan Ahok dan para Chinese lain pendukung Ahok. Sudah mah dianggap minoritas karena agama, dikata-katain China pula.

Disadari atau tidak, Anies Baswedan pernah berpidato menggunakan term “pribumi” yang kemudian kemenangannya disambut oleh gerakan Islam Kanan dari kelompok 212. Di antara yang aktif ikut terlibat dalam narasi-narasi tersebut adalah HRS.

Dari situ kemudian ramai narasi pembanding dari pendukung Ahok yang mendiskreditkan Anies, HRS dan simpatisannya dengan istilah “imigran Yaman”. Sepengamatan saya di media sosial, narasi pribumi itu masih terus digaungkan hingga Pilpres 2019.

Padahal, baik yang keturunan Tionghoa maupun Hadhrami, Yaman, mereka sudah lahir dan besar di sini.

Sempat mereda beberapa tahun, narasi pribumi kembali menyeruak. Dua tahun belakangan, pertarungannya bergeser antara kelompok Ba ‘Alawi dan pendukungnya versus keturunan Walisongo dan pendukungnya.

Keturunan Ba ‘Alawi dianggap bukan pribumi oleh keturunan Walisongo. Padahal hampir pasti, generasi Ba ‘Alawi yang lahir di Yaman dan besar di Indonesia (wulaiti) sudah habis. Keturunan Ba ‘Alawi yang ada saat ini hampir sebagian besarnya sudah lahir dan besar di sini (muwalad).

Berdasarkan catatan sejarah, sebagian besar Walisongo itu juga pendatang yang berdakwah di Nusantara. Apakah keturunannya pendatang atau dianggap pribumi?

Memang beberapa keturunan Ba ‘Alawi kerap gusar dengan sesama mereka mengenai identitas diri. Bahkan seperti Haidar Bagir enggan menyematkan identitas marga di belakang namanya seakan ingin mengatakan, “Gue tuh orang Indonesia, bukan orang Yaman.”

Dalam karya-karyanya, Salim bin Jindan juga menisbatkan dirinya sebagai al-Indūnisī. Padahal saat ia mengarang sebagian besar kitabnya, Indonesia belum merdeka.

Quraish Shihab pun berkeberatan dengan sematan habib di depan namanya. Masih banyak keturunan Ba ‘Alawi lainnya yang kesehariannya enggak pernah make jubah dan udeng-udeng, tapi memakai pakaian-pakaian yang umum digunakan masyarakat Indonesia.

Sekarang yang membatalkan Ba ‘Alawi, seperti Kiai Imad Banten dan Kiai Abbas Buntet, malah tiap harinya pakai jubah, imamah, dan serban. Apakah mereka terobsesi ingin menjadi zuriah Nabi?

Bukankah pengelompokan pribumi dan non-pribumi itu kerjaan Belanda untuk mengelompokkan manusia menjadi berkelas-kelas, dan pribumi itu kelas yang paling bawah? Kalau pengelompokan pribumi dan non-pribumi itu buatan Belanda, mengapa kita masih memakai istilah itu?

Bukankah orang Islam itu pendatang semua? Jangan-jangan yang pribumi asli itu mereka dari Sunda Wiwitan atau Suku Dayak di Kalimantan?