Setiap melihat atau membaca terkait antrian keberangkatan jemaah haji Indonesia, perasaan saya campur aduk. Sebab, sebagai bagian dari masyarakat Banjar, fikiran saya terhenti pada satu pertanyaan, yakni “Bagaimana bisa masyarakat Kalimantan Selatan (Kalsel) bisa masuk salah satu daerah dengan antrian terlama berangkat Haji?” Padahal, angka penduduk Kalsel hanya sekitar 5-6 juta jiwa saja.
Hampir seluruh kajian para sarjana menyebutkan bahwa Haji adalah impian sebagian besar masyarakat Muslim Banjar. Bahkan jauh sebelum kontroversi satu desa kaya mendadak karena ganti rugi lahan, fenomena tersebut sudah terjadi beberapa kali di masyarakat Banjar. Kalau kita hari ini ke Bandara Syamsudin Noor, maka tidak sulit menjumpai jemaah Umrah berangkat setiap harinya.
Saat Gus Menteri, Yaqut Cholil Qoumas, mengajukan angka 69 juta lebih untuk Biaya Penyelenggaran Ibadah Haji (BPIH), saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan sebagian besar masyarkat Banjar, khususnya mereka yang akan berangkat beberapa bulan lagi. Biasanya, keberangkatan musim Haji dimulai sekitar pertengahan akhir bulan Syawal, bisa dibayangkan mereka harus melunasi biaya tersebut dalam 1-2 bulan ke depan.
Saya dengan seorang teman pun sempat mendiskusikan persoalan ini via Whatsapp. Perbincangan kami berhenti pada satu pertanyaan besar, “Bisakah Negara menekan BPIH?” atau “Apakah DPR RI bisa bernegosiasi menurunkan BPIH yang dianggap sangat tinggi ini?” Sebenarnya saya cukup ragu BPIH bisa turun. Akhirnya, 15 Februari 2023 kemarin, keraguan saya ini terbantahkan.
Pemerintah dan DPR RI telah menyepakati angka setoran BPIH rata-rata Rp49.812.700,26. Bagaimana setoran BPIH bisa turun? Rupanya, pemerintah Indonesia lewat BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji) menutup sisa dari setoran tersebut, sekitar 40%, yang diambil dari “bunga” hasil pengelolaan dana setoran para calon jemaah haji di BPIH.
Jadi, dana yang terkumpul dari setoran calon jemaah haji dikelola oleh BPKH untuk beragam hal dan mendapatkan keuntungan di sana. Kita boleh saja menganggap bahwa penggunaan dana dari BPIH tersebut adalah hal yang lumrah, bahkan lebih baik daripada hanya digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang selama ini sering diperbincangkan.
Akan tetapi, Gus Menteri, Yaqut Cholil Qoumas, sudah memberikan peringatan bahwa kondisi ini tidak bisa bertahan lama. Gus Yaqut menyebutkan bahwa dana nilai manfaat tersebut hanya bisa bertahan lima tahun jika terus mengalami defesit terlalu besar, seperti tahun ini. Walaupun begitu, Gus Menteri menyebutkan bahwa konsensus pembiayaan keberangkatan haji ini adalah sesuatu yang akomodatif.
Kita mungkin belum banyak yang menyadari bahwa kenaikan BPIH di Indonesia merupakan salah satu dampak dari komersialisasi haji oleh Pemerintah Arab Saudi, demi bisa keluar dari ketergantungan atas eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi yang selama ini menopang mereka. Pilihan ini jelas berimbas pada kenaikan beragam hal terkait perjalanan ibadah haji dan umrah. Lihat saja biaya perjalanan umrah semakin naik setiap tahunnya.
Pemerintah Arab Saudi sedang giat membangun beragam fasilitas yang lux dan super untuk bisa menjadi bahan pelayanan yang dapat meningkatkan biaya di sana. Kita sering berhenti pada visa haji dan umrah yang gratis, padahal biaya pelayanan jemaah haji di tanah Arab tidak hanya soal izin masuk, selain itu ada transportasi dan akomodasi.
Untuk akomodasi, saya pernah bercanda dengan kyai saya saat beliau menceritakan rumah keluarganya di wilayah Jabal Hindi telah dihancurkan, untuk perluasan masjid. “Kemungkinan besar hotel-hotel yang dulu jauh dari Masjidil Haram sekarang semakin dekat, karena masjidnya yang semakin luas” kata saya. Tentu kondisi tersebut juga mempengaruhi kenaikan biaya sewa gedung dan hotel di kota Mekah.
Standar Kemampuan Calon Jamaah Haji
Di tengah perbincangan terkait kenaikan BPIH tentu terdapat kritik keras dan harapan sebagian besar masyarakat Muslim agar bisa diturunkan, kita sebenarnya juga harus mendiskusikan ulang bagaimana standar kemampuan yang menjadi bagian dari perihal penting dalam perjalanan haji. Akan tetapi, jika ditelisik lebih dalam, hari ini keberangkatan haji lebih dahulu ditentukan oleh kouta, sebelum standar kemampuan berangkat.
Di banding ritual ibadah lain, haji memang memiliki kompleksitas di ranah yang cukup berbeda. Haji harus dilakukan pada tempat khusus dan waktu tertentu, sehingga Pemerintah Arab Saudi sebagai pelaksana utama harus membatasi jumlah jemaah haji setiap tahunnya. Kita mengenalnya dengan istilah “Kouta Haji” yang akan dibagi-bagi dengan rumus hitungan kesepakatan seluruh negeri mayoritas Muslim.
Hari ini, penentuan kouta haji adalah proses paling awal dari keberangkatan seseorang menunaikan ibadah haji. Setiap tahun pemerintah Arab Saudi membagikan kouta jemaah haji kepada negara-negara lain. Setelah itu, setiap negara memiliki proses masing-masing dalam mengelola kouta tersebut.
Kouta haji adalah unsur di luar ajaran agama yang menentukan siapa yang bisa berangkat haji setiap tahunnya. Indonesia pernah memiliki beberapa cara dalam menentukan siapa berangkat ke tanah suci Mekah-Madinah, mulai dari sistem jatah per provinsi hingga ditentukan dengan undian. Seseorang baru bisa disebut calon jemaah haji apabila dia sudah masuk dalam kouta haji yang ditentukan.
Bahkan, sebelum BPIH biasanya perbincangan di masyarakat, pemerintah, hingga media massa adalah soal kouta haji. Menariknya, kouta haji sedikit menggeser standar kemampuan melakukan perjalanan ibadah haji yang selama ini menjadi syarat calon jemaah, khususnya terkait kemampuan dana. Selama ini, kita masuk dalam kategori “mampu” berangkat haji apabila memiliki dana yang cukup.
Lamanya Waktu Tunggu Calon Jamaah Haji
Hari ini, permasalahan dana keberangkatan telah mengalami banyak pergeseran pandangan, sebab kehadiran pembiayaan karena waktu daftar tunggu kouta haji yang tak kira-kira lamanya. Beberapa tahun lalu, saat melakukan penelitian soal haji Urang Banjar, saya mendapatkan fakta bahwa standar kemampuan ongkos tidak lagi menjadi pertimbangan masyarakat.
Bayangkan saja, di Banjarmasin, seseorang baru bisa mendapatkan jatah berangkat haji setelah 30-40 tahun. Maka, biaya yang harus dikumpulkannya untuk berangkat haji tidak terlalu besar jika dibagi 40 tahun tersebut. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh pihak pembiayaan menggaet konsumen mereka. Sebab, masyarakat Muslim hari ini yang penting mereka dapat masuk daftar tunggu kouta haji tersebut, yang bisa ditutupi dengan pinjaman dari berbagai pihak yang menyediakan pembiayaan.
Standar kemampuan ongkos berangkat akhirnya menjadi bergeser. Sebab, struktur pembiayaan, dengan segala permasalahan di dalamnya, telah memberikan kesempatan bagi masyarakat yang ingin masuk dalam daftar tunggu tersebut. Semakin lama tidak masuk daftar tunggu, maka kesempatan mereka untuk berangkat haji juga semakin lama. Walhasil, antrian daftar tunggu kouta haji pun semakin panjang, entah kapan berhenti dan selesai.
Kita juga terus digoda untuk berangkat umrah di luar musim haji atau menunggu masa tunggu kouta haji. Maka, umrah hari ini semakin meningkat angka keberangkatannya juga ongkosnya tidak lagi berbeda jauh dengan haji.
Bahkan, video potongan ceramah Hanan Attaki atau Khalid Basalamah seringkali berseliweran di media sosial terus “menggoda” kita. “Umrah itu bukan ibadah orang mampu, tapi Allah memampukan yang dipanggilnya” kata Hanan Attaki. Adapun Khalid Basalamah malah menyebutkan berangkat ke tanah suci, baik haji atau umrah, seharusnya mengambil fasilitas terbaik.
Keinginan kita untuk menjejakkan kaki di tanah suci terus digoda dengan berbagai hal hingga hari ini. Maka, model keberangkatan baru bernama Haji Furoda muncul sekitar 2-3 tahun terakhir. Dengan dalil mengambil jatah kouta haji dari negara-negara yang tidak terpenuhi atau pengurusan ala “Orang Dalam” di pemerintah Arab Saudi, para penyelenggara Haji Furoda tersebut bisa menggaet pelanggan yang tidak bisa dibilang sedikit.
Fenomena Haji Furoda ini semakin ramai pasca pandemi. Bahkan, saya mendengar angka yang harus dikeluarkan seorang jemaah untuk bisa mengikuti program tersebut sudah mencapai 300 juta. Selain itu, musim haji kemarin saya melihat rombongan program Furoda yang berangkat dari bandara Yogyakarta sekitar 40 orang lebih.
Berangkat haji memang impian sebagian besar umat Islam. Namun, haji, termasuk umrah, sudah semakin dekat dengan ekonomi liberalisme, bahkan dilabeli dengan dalil-dalil yang terus menggoda kita. Kita sepertinya harus mulai berhitung dan memikirkan kembali bagaimana jalan keluar dari permasalahan pelik ini, agar tidak diserahkan pada logika pasar.
Haji Turis, Haji Bacpacker, dan BPIH Mahal
Sekitar tahun 1970-90an, masyarakat Muslim Indonesia cukup akrab dengan istilah “Haji Turis”, yang merujuk pada para jemaah Haji yang berangkat tanpa melalui birokrasi Negara. Berangkat sebelum Musim Haji, yakni Syawal hingga Dzulhijjah, mereka biasanya mulai berangkat di sekitar bulan Sya’ban atau Ramadan.
Namun, sejak tahun 1990-an, model keberangkatan ini tidak lagi bisa dijumpai dengan mudah, walau tidak benar-benar mati. Kisah kyai saya di tahun 2000-an masih terdapat masyarakat Indonesia yang berangkat dengan model Haji Turis. Akan tetapi, jumlahnya terus berkurang dan bahkan bisa dibilang tidak ada lagi yang berangkat seperti itu lagi.
Pemerintah Arab Saudi terus berbenah dengan memperketat perbatasan mereka dengan beragam aturan, untuk melanggengkan keberangkatan haji dengan jalur resmi. Keterlibatan negara dalam keberangkatan jemaah haji di setiap daerah berbeda-beda. Keberangkatan ke tanah suci memang tidak selalu harus melibatkan negara, bahkan saat kita bukan penduduk asli negara tersebut.
Sekitar tahun 2000-an, istilah “Haji Turis” mulai digantikan dengan “Haji Backpacker.” Istilah “Backpacker” merujuk pada seseorang berangkat, atau biasanya dilekatkan pada pendakian gunung, ke tempat tertentu dengan modal seadanya. Istilah ini mulai dilekatkan dengan haji untuk menyebut tradisi mahasiswa Indonesia yang sedang berkuliah di jazirah Arab berangkat ke tanah suci.
Kebiasaan tersebut sebenarnya sudah berlangsung lama, bahkan sejak tahun 1980-an. Seorang kyai besar di Banjarmasin pernah bercerita kepada saya, bahwa berangkat ke tanah suci dengan membawa beragam barang yang bisa dijual di sana kepada para jemaah haji Indonesia, sekaligus menjadi pembimbing haji part time di beberapa travel atau Muassasah (Pengurus Perjalanan Haji di Mekah) adalah pekerjaan paling menguntung selama beliau mengambil doktoral di Al-Azhar.
Semakin ke sini, Haji Backpacker tidak lagi hanya dilakukan oleh para mahasiswa Indonesia di tanah Arab, akan tetapi juga banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia yang biasanya menempuh perjalanan panjang hingga tiba di tanah suci. Mereka biasanya banyak diliput media, terlebih dengan kemajuan teknologi media sosial.
Selain backpacker, ada juga masyarakat Indonesia yang berangkat dari beragam negara lain, dari Eropa hingga Amerika. Seorang teman berangkat lewat Inggris karena dia sedang berkuliah di sana, walau masih paspor Indonesia. Tetangga saya di Banjarmasin juga pernah menjumpai saudaranya yang berangkat lewat Belanda, karena dia bertugas di sana sebagai diplomat.
Para jemaah haji yang tidak lewat jalur pemerintah Indonesia bisa saja tidak merasakan BPIH yang semakin mahal. Mereka bisa menjejakkan kaki di tanah suci dengan jalur masing-masing seakan membuktikan kepada kita sebuah pepatah, “Banyak jalan menuju Tanah Suci.” Kita “dipanggil” dengan nasib, nasab, dan nisab kita masing-masing.
Kemungkinan besar BPIH akan terus semakin mahal, semoga ada jalan menghentikannya. Paling tidak, kita bisa memberikan “keadilan” kepada siapa saja yang ingin menjejakkan kaki ke tanah suci. (AN)
Fatahallahu alaina futuh al-arifin