Hingga hari ini, perbincangan soal akidah adalah bagian tak terpisahkan dari keislaman kita. Iman, syirik, kafir, hingga khurafat adalah secuil pembicaraan akidah, yang tak terasa asing dalam keseharian kita. Baru-baru ini saja, kita disuguhi aksi vandalisme yang bertaut dengan persoalan akidah. Di mana seorang pria menendang dan membuang sesajen di sekitar pegunungan Semeru. Aksi tersebut viral di media sosial, bahkan sempat diberitakan di media mainstream.
Sembari membuang dan menendang, pria tersebut menyebutkan bahwa tradisi sesajen adalah faktor yang mengakibatkan Tuhan murka, hingga berimbas pada turunnya bencana. Ada pihak yang mendukung atau menolak aksi vandalisme tersebut. Perdebatan pun tak terelakkan.
Akibatnya, perbincangan terkait posisi tradisi lokal dalam keislaman kita kembali mencuat, terutama di media sosial. Jika dahulu, perbincangan terkait aksi-aksi perusakan bertaut dengan narasi tradisi lokal selalu dilekatkan pada salah satu organisasi masyarakat.
Namun, hari ini, ketika sebagian besar masyarakat tidak setuju dengan perilaku vandalisme, kritik atas tradisi lokal yang dekat dengan kesyirikan masih banyak diperbincangkan. Oleh sebab itu, suara-suara penolakan atas tradisi “bid’ah” tersebut tidak lagi menjurus pada perkelahian atau perdebatan antar kelompok teologis. Sebab, perbincangan akidah saat ini tidak lagi kaku pada segregasi kelompok atau organisasi, ia sering dibicarakan dalam bingkai keislaman yang cair.
Sebelumnya, perdebatan teologis di dunia maya yang diisi berbagai aliran, macam salafi, wahabi, modernis, hingga tradisionalis, tidak jarang memunculkan keributan antar pendukung tiap aliran. Sangat disayangkan, keributan tersebut sering diisi dengan kata-kata negatif atau penghinaan, walaupun kebanyakan beralasan pembelaan atas apa yang mereka percayai.
Hari ini penolakan tradisi lokal dan dianggap “Bid’ah” tersebut dibungkus dengan term-term yang lebih mudah dipahami, atau dalam kata lain “lebih logis” ala masyarakat perkotaan. Tradisi tersebut, seperti sesajen, tidak lagi hanya dilihat sebagai bagian diskursus keislaman yang telah mengakar lama di masyarakat Nusantara. Namun, tradisi memiliki sisi lain yang mulai dieksplorasi dari sisi yang berbeda, atau dengan kata lain, ia dihadirkan dalam wajah yang berbeda.
Bagi muslim tradisionalis yang memiliki ikatan erat dengan berbagai tradisi lokal, dampak dari kehadiran teknologi tidak hanya mengonsumsi perdebatan atau pertarungan bebas dengan kelompok-kelompok pengusung narasi “bid’ah”. Namun, di saat yang sama, mereka juga berhadapan dengan negosiasi, adaptasi, hingga pertarungan di ranah yang baru.
Teknologi media sosial telah mengubah cara kita memandang tradisi, bahkan lebih jauh mulai menggeser berbagai kepercayaan dan kesakralan yang selama ini dijaga. Dulu tradisi dijaga lewat nilai-nilai sakral dalam ritual, cerita, hingga ajaran agama. Hari ini terdapat perubahan atau pergeseran yang rentan mengubah kesakralan tersebut.
Misalnya, jika dulu banyak masyarakat muslim yang menaruh berbagai jenis bunga di atas makam, dengan berbagai maksud, tanpa disusun dan biasanya sekedar diletakkan saja. Namun, pasca kehadiran kamera, baik dari gawai atau kamera profesional, yang semakin lazim di wilayah sekitar makam pun mengubah pandangan kita terhadap bunga-bunga tersebut. Ia mulai “ditata” atau diatur sedemikian rupa untuk keperluan “instagram” atau “siaran langsung”.
Sakral yang dihadirkan lewat perilaku masyarakat pun mulai digandengkan dengan unsur sekuler, macam keperluan tayangan atau siaran. Masyarakat kita yang mulai bergeser menjadi masyarakat tontonan rentan sekali terjerumus pada pendangkalan kesakralan dalam tradisi-tradisi yang selama ini dijaga.
Jadi, apa yang ditakutkan oleh pelaku vandalisme, yaitu tradisi berbalut syirik malah bisa saja, di sebagian wilayah, sudah tidak lagi memilliki unsur yang dia tuduhkan. Tradisi kita mulai terjebak sebagai tontonan ketimbang representasi relasi antara kita dengan alam, yang memiliki narasi agama.
Dengan kata lain, kehidupan sehari-hari yang beririsan erat dengan teknologi, tradisi lokal lebih banyak dipandang sebagai “tontonan” atau bahasa lain “Instagramable”. Apalagi, di sisi lain, keislaman kita hari ini “dipaksa” bernegosiasi dengan poin utama dalam modernitas, yakni kecepatan dan efisiensi. Hal-hal yang beririsan dengan “klenik” atau tradisi biasanya lebih banyak dipangkas kesakralannya hanya untuk dua alasan tersebut.
Namun, apakah perbincangan terkait bid’ah atau syirik berakhir begitu saja? Jawabannya jelas saja tidak, namun sepertinya tidak lagi diperbincangkan dalam bingkai yang kaku. Lihat saja postingan salah satu artis di akun media sosial miliknya, yang merekam seorang kiper yang menaruh sesuatu di sekitar tiang gawangnya, namun beberapa saat ketika “sesuatu” tersebut diambil oleh pemain lawan, gawangnya langsung jebol setelah beberapa kali percobaan. Dalam postingan tersebut mayoritas komentar diisi dengan emot tertawa.
Unggahan artis tersebut yang hanya mengundang komentar dengan emot tertawa, tapi juga bisa jadi menjadi bukti, bahwa tradisi tersebut tidak lagi memiliki nilai tawar kesakralan atau sebagai sesuatu yang dapat mengancam akidah. Mungkin, bagi mereka, tradisi lokal yang masih banyak dianggap “bid’ah” tersebut telah banyak tercerabut dari akarnya, atau tradisi tersebut tidak lagi memiliki “kekuatan” dalam perbincangan keislaman hari ini, karna dianggap tidak dapat tempat dalam modernitas.
Oleh sebab itu, sepertinya tuduhan syirik tidak lagi dijumpai secara serampangan, kecuali dalam video viral kemarin. Mungkin saja, tradisi-tradisi keislaman lokal yang harus berhadapan dan bernegosiasi dengan modernitas tersebut tidak lagi dilihat sebagai ideologi, namun lebih dihadapkan pada tontonan belaka.
Walaupun begitu, jika kita mengulik lebih dalam, di linimasa media sosial hingga hari ini tidak jarang melintas sebuah postingan atau unggahan terkait perdebatan teologis. Perdebatan teologis di media sosial seakan tidak pernah surut dari perhatian publik. Ketika perbincangan agama di ruang digital yang semakin beragam, narasi teologi seakan memiliki magnet khas yang dapat menarik atensi netizen di tengah. Seakan-akan kita tidak pernah selesai membincangnya.
Bahkan, beberapa otoritas agama pun menanjak pamor dan popularitasnya di dunia digital, akibat dari ceramah-ceramah mereka yang mendukung atau membela salah satu kubu atau aliran teologi beredar luas di media sosial. Kondisi ini disebabkan mereka memanfaatkan ruang-ruang digital yang memanjakan netizen untuk “menghadirkan” narasi dari aliran yang mereka peluk.
Ketika video aksi vandalisme, yakni penendangan dan perusakan sesajen, di pegunungan Semeru viral dalam beberapa hari terakhir ini, saya sempat berpikir apakah perdebatan ini bisa berakhir di masa depan. Walaupun hal tersebut hampir mustahil dapat terwujud. Sebab, selain memiliki magnet besar di masyarakat, perdebatan atau perbincangan akidah juga memiliki potensi untuk memancing keterlibatan besar dari kalangan netizen yang berasal dari berbagai latar belakang. (AN)
Fatahallahu alaina futuh al-arifin