Suatu ketika Muadz bin Jabal melintasi rumah As‘ad bin Zurarah, salah satu pemimpin Anshar yang hadir pada “Baiat Aqabah” pertama. Ia mendengar suara yang tidak seperti biasanya. Suara asing itu bukan dari pemilik rumah, sebab ia mengenal baik dengan keluarga As’ad, termasuk istri dan ketiga anaknya.
Tidak sedikit orang-orang Yatsrib yang ikut bergabung masuk ke rumah As’ad. Merasa penasaran, akhirnya Muadz bin Jabal masuk ke rumah As’ad. Di situlah ia melihat seseorang bernama Mush’ab bin Umair yang sedang melantunkan ayat al-Quran. Seketika ia mengikrarkan diri bersaksi atas kebenaran ajaran yang disampaikannya.
Keyakinan itu ia perkuat dengan mengikuti baiat aqabah ke dua bersama 73 orang dari suku Aus dan Khazraj. Saat itu ia tergolong pemuda belia. Di usia 18 tahun ia mampu menggunakan akal-rasionya demi mencari kebenaran hakiki. Aktif dan sangat antusias mendengar khutbah Nabi menjadi modal sebagai pelajar muslim. Bahkan kepakaran Muadz bin Jabal dalam masalah hukum mendapat legalitas dari Nabi. Berliau bersabda;
وأعلمهم بالحلال والحرام معاذ بن جبل . وفي رواية؛ أعلم أمتي بالحلال والحرام معاذ بن جبل
”yang paling mengetahui hukum halal dan haram dari ummatku adalah Muadz bin Jabal”.
Legalitas ini menempatkan Muadz bin Jabal sebagai jajaran mufti di Madinah pada era Nabi. Saat itu ada enam sahabat yang ditunjuk sebagai mufti, tiga dari Muhajirin dan tiga dari Anshar. Mereka adalah Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’b, Muadz bin Jabal, dan Zaid bin Tsabit.
Tidak hanya diposisikan sebagai mufti, bentuk kecintaan Nabi kepada Mu’ad juga diungkapkan secara verbal. Beliau bersabda:
« يا معاذ والله إنى لأحبك والله إنى لأحبك ». فقال « أوصيك يا معاذ لا تدعن فى دبر كل صلاة تقول اللهم أعنى على ذكرك وشكرك وحسن عبادتك »
“Wahai Mu‘adz, demi Allah aku mencintaimu.. demi Allah aku mencintaimu” kemudian beliau berkata “Aku wasiatkan kepadamu wahai Mu‘adz jangan sekali-kali meninggalkan (doa) setiap selesai shalat ‘Ya Allah tolonglah aku untuk selalu mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah kepada-Mu dengan baik’”.
Integritas keilmuan dan ketelatenan Muadz bin Jabal dalam menyelesaikan masalah juga teruji dengan baik. Di tahun ke-9 H, saat Islam mulai tersebar keseluruh pelosok negeri, ada delegasi dari Yaman yang mengikrarkan Islam dihadapan Nabi. Mereka juga meminta seseorang untuk mengajarkan Islam dengan baik. Pada kesempatan inilah Muadz bin Jabal di utus sebagai pengajar syariat, mengingat kapasitas keilmuan yang mumpuni dan budi pekerti yang luhur.
Sebelum berangkat Beliau bertanya kepada Muadz, “jika diminta memberi keputusan tentang sesuatu, dengan apa engkau akan memutuskannya?” “Saya akan memutuskan berdasarkan Kitab Allah.” Jawab Mu’adz. “Jika tidak terdapat dalam Kitab Allah?” tanya Nabi. “Saya akan memutuskan berdasarkan keputusan Rasulullah”. Jawab Mu’adz. “Jika tidak terdapat dalam keputusan Rasulullah?” tanya Nabi. “Saya akan berijtihad berdasarkan pendapatku dan akan aku lakukan dengan secermat-cermatnya serta mengerahkan seluruh tenaga dan pikiranku”. Tegas Mu’adz. Seketika Nabi memngusap dada Mu’adz sebagai bentuk keridaan, seraya bersabda “Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada duta (utusannya) Rasulullah sesuai yang ia inginkan”
Kisah Muadz bin Jabal bukan hanya menunjukkan sisi legalitas atas kepiawaiannya dalam menyelesaikan problematika sosial, akan tetapi juga sebagai basis legitimasi atas “keabsahannya” berijtihad saat tidak ditemukan rujukannya dalam al-Quran dan al-Hadits.
*) Penulis Pegiat di Komunitas Literasi Pesantren (KLP), di Kediri