MK dan Ingatan Tentang Pasal Penodaan

MK dan Ingatan Tentang Pasal Penodaan

MK dan Ingatan Tentang Pasal Penodaan
Hukum Cambuk yang diterapkan di Aceh sebagai salah satu bagian dari Formalisasi Islam

Saya sering lupa pada hal-hal yang tampak sepele, tapi penting: mendokumentasikan gambar. Jika bukan karena ajakan Mas Luthfi Widagdo, saya bakal tak punya bukti dan kenangan pernah mengunjungi gedung ini selain catatan-catatan yang terserak di buku tulis.

Mas Lutfi adalah teman diskusi saya hari ini. Saya diajak dan mengajak diskusi tentang hukum internasional, monisme, dualisme, kovenan internasional, konstitusi, putusan-putusan MK, termasuk cara pandang peneliti di MK itu atas isu-isu kebebasan beragama.

Ketika saya keluar gedung perpustakaa MK, di sebelah gedung utama, hari sudah zuhur. Tapi matahari tidak terik. Masih ada sisa-sisa dingin yang dibawa gerimis pagi. Saya berdiri di tangga gedung Mahkamah Konstitusi untuk difoto.

Dari halaman yang hijau dengan rerumputan, saya seperti manusia mini di kaki raksasa, gedung bergaya neo klasik ala Yunani atau Romawi Kuno dengan beberapa pilar penyangga.

Ingatan saya melayang pada 2009 saat mengikuti sidang-sidang uji materi UU No 1 PNPS 1965 tentang Penodaan Agama. Sidang ini penuh ketegangan. Jalan antara kelompok pemohon dan penolak dipisah. Saat keluar sidang, saya melihat beberapa orang memaki rombongan pihak pemohon.

Bahkan kekerasan terjadi di area kantin bawah.

Salah seorang sempat kena bogem selain caci maki sebelum dilerai pihak keamanan. Sebuah mobil milik kelompok yang setuju penghapusan penyok dan bernoda goretan benda tumpul. Dalam beberapa kali sidang, aksi demo terjadi di jalan depan MK.

Di masa itu, saya merasakan MK berwibawa. Orang-orang yang berteriak-teriak di dalam rungan diperingatkan. Pernah juga hakim ketua, Pak Mahfud MD, meminta keamanan mengeluarkan mereka.

Melalui rangkaian sidang, putusan ditetapkan. Isinya membuat hati saya redup. MK menolak uji materi yang diajukan beberapa organisasi dan individu seperti Gus Dur dan Bu Musdah Mulia. Pasal itu dinyatakan konstitsional dan terus memakan korban di hari-hari berikutnya hingga sekarang.

Hari ini saya datang sebagai mahasiswa yang ingin membangun penjelasan mengapa penafsiran negara diwakili MK berbeda dengan norma kebebasan beragama internasional.

Apa yang terjadi, apa yang dimaknai sebagai ketertiban umum, demi melindungi agama dan masyarakat? Bagaimana tekanan publik berlangsung? Bagaimana interaksi MK dengan berbagai aktor penting? Mengapa pandangan Hakim Maria Farida sangat minor dipegang di antara sembilan hakim yang ada, termasuk Pak Mahfud MD.

Sebagai periset tentu saja saya tak bisa mengelak dari unsur subyektif karena terlibat dalam perdebatan dan penyokong penghapusan. Tak mengapa bukan? Mungkin asal saya bisa memperlihatkan pandangan-pandangan lain sama berharganya dengan pandangan subyektif tidak jadi masalah besar.

Saya belum tahu akan jadi semacam apa tulisan ini. Biar saja. Usaha saya hanya satu menuliskannya, selesai kuliah, dan melanjutkan hidup.

Djuanda-Depok Lama, 16 Desember 2024