Mispersepsi Narasi “Pembebasan Al-Aqsa” di Media Sosial

Mispersepsi Narasi “Pembebasan Al-Aqsa” di Media Sosial

Beberapa influencer menggunakan narasi agama untuk mengajak orang untuk mendukung Palestina, apakah tepat menggunakan narasi agama dalam memperjuangkan Palestina?

Mispersepsi Narasi “Pembebasan Al-Aqsa” di Media Sosial
Studi terkini yang dilakukan PBB menyebut bahwa Palestina miskin karena pendudukan PBB. Pict By Reuters

Saya pernah diberi sebuah pin bendera Palestina oleh pimpinan pesantren saya, tak berapa lama setelah kedatangan beliau dari tanah suci tiga agama Abrahamik tersebut. “Ini adalah simbol simpati atas perjuangan pembebasan Palestina” kata kyai saya waktu memberikan pin tersebut. Kala itu kesadaran saya akan persoalan Palestina hanya sebuah konflik penindasan pada umat Islam. Baru setelah kuliah, saya mendapati konflik tersebut tidak sesimpel yang dipahami sebelumnya.

Pemahaman atas konflik Palestina memang sering mengalami reduksi hanya pada konflik agama, terutama dikaitkan pada narasi akhir zaman. Entah sejak kapan dan bagaimana pergeseran pemahaman tersebut terjadi, tapi kita memungkiri bahwa hal itu masih beredar dan dikonsumsi kebanyakan masyarakat muslim.

Kehadiran media sosial berbasis visual, seperti Youtube dan Instagram, belum mampu menghadirkan fakta konflik di Palestina adalah krisis kemanusiaan yang dihadapi bukan saja yang beragama Islam saja, namun juga warga yang beragama lain, seperti Kristen, Katolik dan lain-lain. Hal ini bisa kita lihat dari konten yang ada di dua aplikasi tersebut yang masih terjebak dalam perspektif konflik agama. Memang sudut pandang ini tidaklah salah keseluruhan, tapi mereduksi pertingkaian di sana hanya pada poin agama saja bisa menjadi pemantik tafsiran lain yang tak kalah berbahaya, yakni kebencian pada kelompok agama tertentu yang dalam kadar tertentu bisa berubah menjadi kekerasan lainnya.

Oki Setiana Dewi, yang juga dikenal sebagai artis dan selebgram, pernah mengunggah sebuah video terkait Masjid al-Aqsa. Video berdurasi 3 menit tersebut diakhiri oleh Oki dengan sebuah kalimat, “Mari kita membuktikan kepedulian terhadap Baitul Maqdis, silahkan berdoa atau menyumbang” sebut Oki dengan mantap. Dia mendorong kalangan muslim untuk ikut dalam aksi sosial pengumpulan dana untuk membantu pejuang Palestina.

Selain Oki, ada juga konten video di Youtube yang diunggah oleh akun al-Manhaj berjudul “GAWAT! HANCURNYA MASJIDIL AQSA SUDAH TIBA”. Video tersebut bermuatan suara dari salah satu ustad populer di media sosial, yakni Rahmat Baequni, yang diberikan sisipan video berlatar pemandangan al-Aqsa dan game perang. Sebagaimana saya jelaskan sebelumnya di tulisan sebelumnya, visual memiliki kekuatan yang bisa melakukan indoktrinasi yang sering tidak disadari kebanyakan orang.

Konten ceramah Rahmat Baequni tersebut mengandung titik poin yang sama dengan konten milik Oki, yaitu Pembebasan al-Aqsa. Konten ceramah atau video mereka hanyalah perwakilan dari sekian banyak narasi “pembebasan Al-Aqsa” di jagat layanan jejaring sosial. Narasi tersebut memang cukup seksi jika dilihat sekilas terlebih kondisi geo-politik di sana mendukung sekali jika terdapat proses pergeseran paradigmanya.

Sebab, sebagai mayoritas penduduk tanah Palestina adalah muslim, maka kekerasan (atau jika memakai defenisi Ilan Pappe adalah “Pembersihan Etnis”) terhadap warga Palestina berkorelasi pada kekerasan terhadap muslim, bukan pemeluk agama lain. Warta seperti ini yang kemudian direplikasi terus menerus, yang berujung pada penyelesaian konflik melalui perang adalah langkah yang perlu diambil dan umat Islam di manapun harus berpihak pada umat Islam.

Jika Oki dan Baequni memilih solusi yang berbeda dalam mengaplikasikan keberpihakan terhadap umat Islam Palestina, namun keduanya memiliki kesamaan narasi yang bisa berujung pada narasi komunal agama mereka. Jika kita membaca karya dari Ilan Pappe yang mengulas habis soal konflik Palestina, terutama tragedi pembersihan etnis warga Palestina di tahun 1948, maka kita akan menyadari bahwa narasi yang mereka berdua tidak jauh berbeda dengan apa yang digunakan oleh kelompok Zionis.

Dengan mengandalkan keahlian dalam ilmu sejarah, Ilan Pappe menuliskan bahwa mengadopsi narasi pembersihan etnis bisa memudahkan seseorang masuk dalam selubung kompleksitas yang hampir secara insingtif dimunculkan oleh kalangan Zionis. Di mana pemerintah Israel sering menggunakan kata “kita” untuk menunjuk warga Israel, sebagai perwakilan yang “beradab” dan “rasional” dalam konflik kemanusiaan ini, untuk menemukan solusi yang sejajar bagi “kita sendiri”dan bagian lain, yaitu warga Palestina, yang setelah semuanya dianggap melambangkan dunia Arab yang “tidak beradab” dan “emosional” di mana Palestina ada di dalamnya.

Pappe melihat proses pemahaman yang dibagikan oleh Israel ini menyesatkan dan mengabaikan inti permasalahan, yaitu pembersihan etnis. Mengapa pembahasan Ilan Pappe bisa berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Oki dan Baequni di atas? Bagi Pappe, pembersihan etnis adalah jalan yang seharusnya diambil agar tidak terjebak pada pendangkalan kekerasan dan konflik yang terjadi di Palestina. Kekerasan atas etnis Palestina yang disingkirkan dari tanahnya adalah kekerasan kemanusiaan yang harus dihukum secara hukum internasional.

Dalam catatan Arthur Gish, kondisi di Palestina sejak tahun 1900an sudah dihuni dengan damai oleh tiga kelompok, yaitu kaum Kristiani, Muslim dan Yahudi. Diceritakan pula kepada Gish, kehidupan mereka semua berlangsung secara positif. Keadaan yang tenang dan damai itu rusak karena Zionisme yang diikuti kedatangan warga Yahudi ke Palestina, sebagai bagian dari reaksi terhadap anti-semitisme di Eropa dan Amerika Utara. Hasrat Zionis adalah bangsa Yahudi hidup merdeka di “tanah air” mereka di zaman dahulu. Puncaknya, terjadi perang di tahun 1948 yang mengakibatkan 750.000 warga Palestina harus melarikan diri dari rumah mereka.

“Saat gerakan Zionis menciptakan negara, gerakan itu tidak melakukan perang yang “secara tragis tapi tidak terhindarkan” membawa pengusiran “bagian dari” penduduk asli, tapi upaya lain berjalan; tujuan utamanya adalah pembersihan etnis Palestina, yang didambakan oleh gerakan itu demi negara barunya” tulis Pappe.

Pappe menegaskan kita harus melawan lupa bahwa kejahatan pembersihan etnis yang pernah terjadi yang terus disangkal oleh pihak Israel. Hal ini harus diambil sebagai sebuah keputusan moral, yakni langkah awal dari sebuah cita-cita rekonsiliasi untuk mendapatkan kesempatan dan perdamaian hingga ke akarnya, di tanah Palestina yang tercabik-cabik hingga sekarang.

Apa yang dilakukan oleh Ilan Pappe adalah usaha mengedepankan kemanusiaan, ketimbang sentimen keagamaan. Perilaku seperti ini yang seharusnya diduplikasi atau dicontoh oleh influencer seperti Baequni dan Oki, karena sebagaimana ditegaskan Pappe dengan melihat akar permasalahan dengan jelas kita akan mendapatkan jalan keluar yang lebih baik, dari sekedari retorika belaka.

Akhiran, saya mengutip kata-kata Goenawan Mohamad tentang bangsa Palestina dalam cergam (cerita bergambar) Joe Sacco. “Sejarah bangsa yang malang dan dianiaya itu tidak dapat dirumuskan dengan satu doktrin” sebut Goenawan. Palestina dengan segala cerita yang mengiringinya bagai sebuah meme yang bisa berubah, bertambah dan berkurang tergantung siapa yang membawa. Jika berhadapan dengan isu Palestina, maka yang dikedepankan adalah kemanusiaan yang universal.