“Kadrunisasi” Aksi Bela Palestina Menunjukkan Eksklusifnya Narasi Isu Israel-Palestina di Indonesia

“Kadrunisasi” Aksi Bela Palestina Menunjukkan Eksklusifnya Narasi Isu Israel-Palestina di Indonesia

Narasi aksi bela Palestina di luar negeri diikuti oleh komunitas beragam. Mengapa narasi isu ini di Indonesia tampak eksklusif milik kelompok Muslim?

“Kadrunisasi” Aksi Bela Palestina Menunjukkan Eksklusifnya Narasi Isu Israel-Palestina di Indonesia
Source: https://madmimi.com/s/dd0999

Beberapa waktu lalu Gus Ulil menulis soal dirinya dianggap “kadrun” oleh sebagian orang di Indonesia ketika ia menyuarakan Aksi Bela Palestina. Dalam tulisan ini, Hary Widiantoro, mahasiswa Universitas McGill Kanada merespon klaim “Kadrun” tersebut dengan mendiskusikan pengalaman dan refleksinya dari narasi isu Israel-Palestina yang terjadi di Kanada dan Amerika Serikat. Pertanyaanya, mengapa narasi Aksi Bela Palestina di Indonesia tampak eksklusif milik kelompok Muslim?

Semenjak kuliah S1, saya sering mendengar dan melihat aktivis Muslim, khususnya kelompok Tarbiyah, mengangkat isu Palestina sebagai negara yang dijajah Israel. Mereka biasanya meraup simpati dengan menunjukkan foto anak-anak Palestina yang menjadi korban keganasan militer Israel dan tidak jarang ditutup dengan ayat Qur’an yang berbunyi, “Tidak akan ridho orang-orang Yahudi dan Nasrani sampai engkau mengikuti agama mereka.” Saya tidak tahu apakah narasi ini menimbulkan kebencian yang besar terhadap orang Yahudi dan Nasrani. Yang jelas ada kecenderungan bahwa mereka memerangi Yahudi karena ke-Yahudiannya.

Memasuki jenjang S2, saya pernah bertanya kepada teman Katolik soal bagaimana isu Israel-Palestina berkembang di komunitasnya. Ia berkata, “Orang mau pulang kampung kok dilarang.” Tentunya kita bisa mengeksplorasi lebih jauh soal apa yang dimaksud “pulang kampung,” yang tidak lain dari narasi agama Yahudi soal “Tanah yang dijanjikan.” Namun saat itu saya hanya merespon dengan sedikit menyimpulkan, “Nampaknya isu ini cenderung didominasi oleh kelompok Muslim, walau sebenarnya sejarah membuktikan bahwa Yerusalem bukan milik satu agama.” Demonstrasi yang mengangkat isu Palestina pun sering kali dilakukan oleh komunitas Muslim di Indonesia dan sering kali narasi teologis melalui ayat Qur’an di atas ikut digunakan. Saya mulai melihat kemungkinan eksklusivitas narasi tersebut. Narasi ini menjadi tipikal bagi kelompok Muslim dan mengeksklusi kelompok-kelompok di luar Muslim.

Selanjutnya Tuhan memberi saya kesempatan bersekolah di Kanada dan bertemu dengan seorang Palestina yang berada di bawah bimbingan Profesor yang sama dengan saya. Ia lahir di camp refugee Lebanon sampai akhirnya pindah ke Jordan bersama keluarganya, sampai akhirnya ia bekerja untuk PBB dan tinggal di Kanada. Seiring berjalan waktu, sering kali kami berdiskusi dan bahkan berdebat soal konsep nasionalisme, Islamic reform, dan khususnya Israel-Palestina.

Satu waktu ia bercerita soal kunjungan bersama dua anaknya ke satu daerah di Israel, tempat rumah ibunya dahulu berdiri, dan disambut oleh aktivis perdamaian Israel. Saat itu ia tidak bisa mengajak ibunya karena permasalahan visa. Karena kebetulan ia dan anak-anaknya punya passport Eropa, maka mereka diperbolehkan masuk Israel.

Cerita seperti ini belakangan saya ketahui sering terjadi, salah satunya dari Lara Elborno, seorang Pengacara Internasional keturunan Palestina yang tinggal di Amerika, di sebuah perbincangan bertajuk Understanding Palestine bersama Dr. Abou Khalid El-Fadl – Profesor Hukum Islam di Sekolah Hukum, Universitas California.

Elborno berkata bahwa hal yang sering terjadi adalah Israel melarang warga Palestina untuk kembali ke tanahnya setelah diusir. Akhirnya mereka tinggal di kamp pengungsian atau hijrah ke negara lain sampai akhir hayatnya.[1]

Setelah kunjungan tersebut, mereka diajak makan siang sambil berdiskusi dengan aktivis perdamaian Israel. Satu poin penting yang ia katakan kepada saya adalah, “Tidak semua orang Yahudi mendukung Zionisme dan Israel, beserta proyek colonial settlement-nya.” Satu poin yang jarang sekali diangakat oleh media dan komunitas Muslim di Indonesia yang ikut aksi bela Palestina.

Ia menambahkan bahwa beberapa alasan yang dipakai untuk menjustifikasi berdirinya negara Israel adalah narasi bahwa Palestina adalah tanah orang-orang Yahudi di masa Kerajaan Solomon, David, hingga kerajaan Israel dan Judah. Selanjutnya tanah ini adalah tanah yang dijanjikan oleh Tuhan. Akan tetapi permasalahan dari narasi ini adalah minimnya data arkeologi dan sejarah. Bahkan seorang arkeolog Israel, Ze’ev Herzog, pun mengakui ini.[2]

Sementara dengan narasi berbeda, komunitas Yahudi Ortodoks adalah salah satu yang menentang pendudukan Israel dan Zionisme. Mereka menganggap bahwa hanya Messiah lah yang dapat membawa orang-orang Yahudi ke tanah yang dijanjikan dan Zionis sudah mengkhianati agama Yahudi. Salah satu Rabbi yang sangat aktif bicara dan menulis topik-topik tentang Judaism dan anti-Zionism adalah Yakoov Shapiro.[3]

Teman saya menambahkan, “Kalaupun memang narasi bahwa tanah ini dulu pernah dikuasai oleh orang-orang Yahudi adalah benar, anda tidak bisa datang dan mengusir kami dari rumah yang sudah ditinggali dari generasi ke generasi hanya dengan mengatakan ribuan tahun lalu sebelum Masehi, nenek moyangku pernah tinggal di sini.”

Setelah kunjungan dan diskusi di Israel tersebut, anak teman saya sangat emosional dan bicara padanya, “Walaupun aku punya passport Eropa dan Kanada, aku selalu bilang pada orang-orang bahwa aku dari Palestina. Dan setelah kunjungan ini, aku merasa buruk pada diriku sendiri karena tinggal di Kanada, tanah yang dahulunya dimiliki oleh masyarakat Indian-Amerika.”

Dua hari setelah Idulfitri di Kanada, komunitas Palestina Kanada menggelar aksi merespon apa yang terjadi di wilayah Syeikh Jarrah dan Gaza. Saya melihat begitu beragamanya peserta aksi ini, di mulai dari warna kulit, bendera, bahkan pakaian.

Banyak lelaki memakai kopiah dan wanita memakai Jilbab, tapi lebih banyak yang tidak memakai. Karena Kanada sudah masuk ke musim semi hampir musim panas, maka banyak wanita yang menggunakan pakaian pendek, seperti tank top, rok mini, dan tidak sedikit juga mereka yang bertato. Tampak bergabung kelompok orang kulit hitam yang membawa spanduk “Black Lives Matter” sama dengan “Palestinian Lives Matter.” Beberapa orang memakai busana Rabbi juga terlihat membawa spanduk anti Zionisme. Ini adalah pemandangan yang tidak terjadi di Indonesia.

Kesan saya adalah, aksi bela Palestina di Kanada dan beberapa negara Barat lainnya diikuti oleh komunitas yang lebih beragam.  Di hampir setiap aksi bela Palestina di Indonesia, di saat itu pula kita melihat lautan jilbab dan lantunan al-Qur’an. Aksi bela Palestina yang saya saksikan di sini bekerjasama dengan komunitas Yahudi anti-Zionis[4], aktivis “Black Lives Matter,” dan gerakan ini terbuka pada siapa pun – Muslim, non-Muslim, Liberal, Sekuler, dan lain-lain.

Bukan tidak mungkin narasi aksi bela Palestina di jalan kota-kota Indonesia yang cenderung dilakukan oleh komunitas Muslim membuat Gus Ulil dilabeli “Kadrun” karena memang narasi kelompok tersebut tidak terbuka pada kelompok di luar mereka. Selain itu, banyak kelompok-kelompok Muslim Indonesia yang sering turun ke jalan untuk asi bela Palestina adalah pendukung mantan calon Presiden pada Pemilu sebelumnya.

Dengan semakin banyaknya dukungan terhadap Palestina, khususnya di dunia Barat, yang disandarkan pada rasa kemanusiaan, anti kolonialisme, dan nilai-nilai universal lainnya, dan diikuti oleh berbagai macam komunitas – tidak hanya Muslim, sudah seharusnya kita masyarakat Indonesia tidak menempatkan perjuangan ini hanya milik Muslim apa lagi melabeli “Kadrun.” Suara-suara pembelaan terhadap Palestina di Indonesia seharusnya datang dari berbagai kalangan dan berbagai komunitas agama.

Gerakan aksi bela Palestina seyogiannya menjadi gerakan lintas agama. Sejak kapan Jerusalem hanya milik satu agama?

 

[1] Understanding Palestine: A Conversation with Lara Elborno, 2021.  

[2] Seorang Arkeolog Israel Ze’ev Herzog   soal minimnya data Arkeologi Kerajaan Solomon dan David “Ze’ev Herzog: ‘UNESCO’s g Is Pure Anti-Israeli Propaganda and Has No Basis’ — Diakses pada 25 Mei 2021.

[3] Dalam podcast ini, Rabbi Shapiro bicara soal sejarah Zionism bahkan sebelum Holocoust.  Episode 07: Rabbi Yaakov Shapiro from New York, 2020.

[4] Berikut adalah web komunitas Yahudi anti Zionis. Mari Cohen, “A Guide to the Current Crisis in Israel/Palestine,” Jewish Currents (blog),  diakses pada 13 Mei 2021,; “Jewish Voice for Peace | Justice • Equality • Dignity,” Jewish Voice for Peace, diakses 25 Mei 2021.