Dalam diskursus kecil dengan beberapa Kiai di Rembang, telah terlontar sebuah kalimat, ‘betapa elok dan artistik bangunan Keulamaan para kiai di lingkungan Pesantren zaman kewalen dan pendiri awal Nahdlatul Ulama.’ Apakah relevansi diskursus ini dengan pembahasan tema tentang Mbah KH, A. Syahid Kemadu Rembang? Bagaimana jika dikaitkan dengan perkembangan keberadaan Kiai sekarang ini?
Di zaman awal, Kiai Cebolek dan era awal pendiri Nahdlatul Ulama, para Kiai berhadapan dengan kebudayaan masyarakat. Di zaman sekarang ini, para Kiai berhadapan dengan persoalan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Kedua zaman ini berbeda, namun bersamaan dengan perkembangan IPTEK ini, tetap saja tidak dapat mengabaikan nilai kebudayaan. Terbukti, era IPTEK telah menunjukkan persoalan konflik kemanusiaan dan nestapa manusia modern. Kedua persoalan ini bersamaan dengan munculnya gerakan radikalisasi agama.
Gerakan radikakisasi agama ini mengambil isu penyesatan terhadap kelompok yang tidak sepaham. Gerakan ini, juga mengambil isu untuk merebut kekuasaan pemerintahan yang mereka anggap sebagai bentuk perlawanan terhadap kaum kafir.
Islam berwajah politik ini bukan tanpa alasan, karena memang bertujuan untuk membentuk formalisasi agama pada semua aspek kehidupan. Karena itu, kelompok ini menentang keras model kearifan lokal, pribumisasi Islam, kepemimpinan yang tidak dari kelompok sendiri. Sikap ini telah didukung dengan kesiapan kekuatan finansial dan pasukan siap jihad melawan para penentang, termasuk negara. Jika kekuatan telah siap, maka mereka tidak segan segan untuk menantang peperangan.
Sehubungan dengan adanya bahaya radikalisasi agama ini, maka penulis marasakan perlu mengkisahkan modeling Mbah KH. A. Syahid yang berhasil memberikan contoh kepada kita. Modeling Mbah KH. A. Syahid ini dapat dijadikan bagian dari khazanah Islam Nusantara menjawab problem sebagai akibat dari perkembangan IPTEK dan adanya gerakan kecil formalisasi agama,
Arti penting modelingn Mbah KH. A. Syahid di tengah problem di atas, adalah ada nilai keutamaan Mbah KH. A. Syahid, berupa nilai keberagamaan yang dirujuk dari norma kewahyuan dan nilai kebudayaan yang berintegrasi membentuk kekhasan santri di lingkungan pesantren. Keberadaan Mbah KH. A. Syahid merupakan bentuk jawaban yang relevan untuk menguatkan paradigma Islam nusantara di tengah model keberagamaan yang lain. Hal ini berarti, bahwa sebelum ada deklarasi Islam Nusantara, model keberagamaan Islam nusantara sudah berlangsung lama dan membentuk kekhasan yang kokoh dalam tradisi lingkungan pesantren.
Secara eksternal atau di luar tradisi pesantren, konsep penyesatan dari kelompok Islam radikal, juga dapat dijawab dengan modeling keberagamaan Mbah KH. Syahid yang masih serat dengan norma agama kenabian dan nilai kebudayaan. Jika prinsip ini sudah tidak tercermin pada tradisi pesantren, maka akan mengalami kekeringan pespektif dan kekeringan nilai norma agama dan budaya.
Agamq dalam perspektif Mbah Syahid, bukan untuk menghabus Prinsip kebenaran universal dan nilai kebudayaan, namun agama justru berfungsi untuk mempertahankan kedua nilai ini sebagai dasar kekokohan sejarah perjuangan para Nabi di tengah sejarah kenabian berhadapan dengan sifat yang tidak manusiawi dan beradab.
Karenanya, jika kita percaya di antara mereka yang menandai sejarah kemanusiaan, adalah bernama Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, maka sebagai umat beragama harus menjaganya. Bukan yang sebaliknya, sebagai umat beragama justru menodai prinsip kebenaran agama dan nilai kearifan lokal yang tidak pernah mendapatkan penolakan dari sumber agama kenabian Nabi Muhammad. Demikian halnya dengan upaya melakukan rekonstruksi agama, tidak boleh merusak nilai kebudayaan dan kearifan lokal yang sudah berlangsung dalam sejarah kenabian dan kemanusiaan.
Ironi Radikalisasi Agama
Seharusnya dengan istilah tersebut tidak ada persoalan, sebab dari segi arti bermakna positif, yaitu melakukan upaya pemahaman secara mendasar dan mendalam terhadap jalan lurus yang tudak berbelok (agama). Istilah radikalisasi agama menjadi menakutkan, karena telah menjadi ideologisasi komunalisme atas nama agama. Sehubungan dengan pembelokan makna mendasar dari agama menjadi gerakan ideologi agama ini, maka perlu sikap kritis terhadap upaya radikalisasi agama.
Kelahiran manusia sebagai bagian dari titik sejarah atau goresan sejarah, perlu belajar dari sejarah panjang umat manusia. Sangat tidak mungkin kelahiran seseorang akan menghabus kisah dan sejarah panjang umat manusia.
Kelahiran manusia berfungsi menandai sejarahnya sendiri di antara sejarah panjang umat manusia. Dalam sejarah kelahirannya, apakah manusia akan menolak atau mendukung nilai budaya dan prinsip kebenaran. Jika memasuki risalah kenabian, maka pasti akan bertemu dengan keutamaan dan kebaikan hidup. Jika dalam beragama tidak pada pilihan keutamaan dan kebaikan, maka pasti ada yang salah dalam memahami ajaran agama.
Bersamaan dengan menguatnya radikalisasi agama dewasa ini, maka modeling KH. A. Syahid memiliki arti penting untuk menjawab problem manusia baru yang masih mengedepankan rasa egoisme, merasakan kesuciannya di tengah perkembangan kebudayaan. Hal sederhana yang telah Mbah Syahid ajarkan sebagai jawaban atas radikalisasi agama, berupa sikap keberagamaan yang ramah terhadap lingkungan dan mencerahkan subjek dan masyarakat dampingan dengan sikap keutamaan atau akhlakul karimah.
Sebagaimana yang penulis catat dari nasehat Mbah Syahid Kemadu, salah satu keutamaan sikap beragama, adalah sikap yang siap melaksanakan anugrah kemuliaan sebagai manusia, menjembatani kalangsungan hikmah kehidupan umat manusia, menjaga nilai budaya dan kearifan lokal dan melangsungkan keutamaan risalah kenabian. []
Ubaidillah Ahmad adalah Penulis, Khadim Omah Kongkow Majlis As Syuffah Njumput-Sidorejo Pamotan Rembang, Suluk Kiai Cebolek dan Islam Geger Kendeng