Menjawab Alasan Kenapa Wacana Anti-Covid Masih Menggejala di Kalangan Beragama

Menjawab Alasan Kenapa Wacana Anti-Covid Masih Menggejala di Kalangan Beragama

Wacana anti covid masih tinggi di kalangan umat beragama, tulisan ini coba mengulik hal itu

Menjawab Alasan Kenapa Wacana Anti-Covid Masih Menggejala di Kalangan Beragama
Raja Salman dari Arab Saudi pun vaksin

Apakah agama selalu berlawanan dengan sains? Pertanyaan ini ramai diperbincangkan di tengah pandemi. Akhir-akhir ini kembali muncul di linimasa media sosial saya ketika seorang teman mengungkapkan ketidaksetujuannya atas keputusan MUI, terkait status vaksin AstraZeneca.

Persinggungan antara agama dan sains sebenarnya telah terjadi jauh sebelum pagebluk Corona masuk ke Indonesia. Sejak awal pandemi di Indonesia, narasi agama justru banyak mewarnai perbincangan di masyarakat.

Tapi tensi perdebatan relasi agama dan pandemi tidak konsisten, namun mengalami grafik turun naik. Hal ini bisa dibuktikan dari inkonsistensi sikap dan pandangan para otoritas agama atau kelompok keagamaan terkait Covid-19, bahkan sejak awal Pandemi.

Kita sendiri sering gamang dalam menghadapi berbagai perubahan akibat Covid-19, termasuk terkait persoalan agama. Mungkin perubahan seperti ceramah daring dan salat berjarak masih saja diperdebatkan di tengah umat Islam hingga sekarang. Lihat saja berbagai unggahan keluhan dan ungkapan putus asa bertebaran di media sosial.

Sayangnya setelah satu tahun lebih pandemi melanda Indonesia, sebagian oknum otoritas agama masih menghadirkan narasi atau wacana keagamaan yang tidak selaras dengan penjelasan sains atau ilmu pengetahuan, terutama untuk mencegah penularan Covid-19 semakin meluas. Tidak sedikit protokol yang dirancang oleh kalangan pakar kesehatan pun turut dilawan oleh kalangan agamawan dengan mengandalkan narasi atau dalil agama.

Akhir-akhir ini, kita masih disibukkan dengan perdebatan soal Halal-Haram dari sebuah produk vaksin bernama AstraZeneca. Kegagalan vaksin tersebut memperoleh sertifikat Halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) membuat irisan antara agama dan sains kembali hangat diperbincangkan. Walau akhirnya ormas Nahdhatul Ulama (NU) memberikan fatwa halal atas penggunaan vaksin tersebut kepada kelompok muslim.

Namun, perbincangan negatif atas Corona sebenarnya sudah beredar dan dikonsumsi oleh umat dan otoritas agama Islam, jauh sebelum pagebluk melanda Indonesia. Secara mayoritas hal ini disebabkan oleh sisa ketegangan politik elektoral yang masih belum selesai hingga sekarang, dan ditambah imaji negatif atas etnis Tionghoa yang selama ini terpendam.

Kedua pasal di atas adalah wacana paling laku dalam perbincangan di masyarakat, padahal Covid-19 telah setahun lebih berada di Indonesia. Lihat saja ketika AstraZeneca gagal mendapatkan label Halal, perbincangan negatif yang muncul di media sosial adalah pemerintah akan memaksa MUI hingga kegagalan Jokowi melindungi umat Islam.

Membicarakan narasi negatif atas agama yang bersinggungan dengan sains, atau dalam kasus ini adalah Covid-19, maka tidak afdal rasanya jika kita tidak menelusuri para pendedah hingga pembagi yang akrab dengan wacana tersebut. Kembali apa yang telah ditegaskan di atas, sebagian otoritas dan kelompok keagamaan memiliki sikap yang ambigu dan gamang dalam berhadapan dengan Covid-19

***

Di tengah Pandemi, internet, terutama media sosial, merupakan media penghubung yang banyak dipakai oleh masyarakat di seluruh dunia. Bahkan, pemanfaatan media sosial di kalangan komunitas Muslim terus meroket tersebut yang turut mendorong kreativitas para pengguna dalam memproduksi konten. Contohnya, berbagai informasi terbaru dapat disebarkan dengan cepat lewat media sosial, terlebih terkait Covid-19, namun termasuk konten negatif.

Hal yang serupa terjadi pada para dai sosial media yang semakin produktif membuat konten setiap harinya. Mereka memproduksi berbagai konten, dari persoalan teologis hingga narasi remeh temeh. Kemudian, konten tersebut dikonsumsi oleh kalangan muslim, terutama mereka yang berada di perkotaan dan kaum milenial.

Menariknya, sebagian konten tersebut sebagai panduan agama dalam menghadapi pandemi. Dalam laporan yang disusun oleh tirto.id, konsumsi masyarakat atas konten agama meningkat tajam di tengah pandemi. Hal tersebut ditengarai disebabkan agama dijadikan panduan atas kebimbangan dan kegamangan kala Covid-19 mengubah banyak hal dalam kehidupan kita dengan berbagai pembatasan.

Namun, ada permasalahan rumit yang sedang kita hadapi, yakni sebagian konten tersebut masih bernada agama yang sumbang (baca: negatif). Dari penolakan atas protokol kesehatan (prokes) yang telah diatur hingga narasi rasisme yang berkelindan dengan pandemi.

Jika kita merujuk kondisi di atas, sangat disayangkan jika hajat masyarakat atas narasi agama sebagai pedoman hidup tersebut harus “diracuni” dengan wacana yang beraroma negatif. Padahal, ketika kepercayaan masyarakat kita atas agama yang begitu tinggi, tentu menjadikan peran agama, dalam hal ini otoritas dan kelompok keagamaan, sangat menentukan keberhasilan kita menghadapi pandemi.

Saya juga menyebutkan di atas bahwa terdapat kegamangan atau inkonsistensi dalam sikap dan pandangan sebagian otoritas dan kelompok keagamaan. Ada otoritas dan kelompok keagamaan yang awalnya menolak patuh atas prokes, namun berpaling arah karena ada dorongan pragmatis, seperti pilihan logis di kalangan pengintilnya.

Jika di masa awal pandemi, faktor pandangan politik dan pilihan pragmatis atau dalam bahasa lain adalah sisa-sisa ketegangan politik elektoral atau narasi anti-Tionghoa, sangat berperan besar dalam mempengaruhi pandangan dan sikap dari otoritas dan kelompok keagamaan. Kita mungkin masih ingat pandangan seorang ustadz terkenal dengan wacana “tentara Allah” dan lain sebagainya.

Namun akhir-akhir ini, kita mulai merasakan apa yang disebut oleh para saintis sebagai Pandemic Fatigue. Kondisi tersebut merujuk pada kelelahan yang kita alami terhadap pandemi ketika telah lelah dengan ketidakpastian kapan sebuah pandemi akan berakhir. Sebagaimana dikutip di halodoc.com, pandemic fatigue dapat membuat banyak orang mulai tidak mematuhi protokol kesehatan guna mencegah penularan virus COVID-19.

Keadaan tersebut tentu turut mempengaruhi apa yang kita konsumsi dan sebarkan di media sosial. Jika sebelumnya misinformasi dan deinformasi yang kita alami di masa awal pandemi, sekarang kita semua dibuat gamang dan galau dalam menerima informasi yang beredar luas di linimasa media sosial kita akibat pengaruh dari pandemic fatigue.

***

Derita kita setelah dihantam oleh Corona semakin berat akibat perlawanan yang masih diganggu oleh beredarnya berbagai ujaran atau pernyataan sikap dari para kelompok agamawan yang masih bertolakbelakang dengan protokol sains. Sebab, sebagai orang awam, kita sebetulnya memiliki harapan agar dua entitas, sains dan agama, bisa menjadi pedoman menghadapi masa sulit ini.

Sekarang kita telah memasuki masa vaksinasi, maka tentu sangat diperlukan kekompakkan antara sains dan agama. Majalah Tempo saja sampai “repot-repot” membuat konten di akun media sosial mereka untuk mengkritik putusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait vaksin AstraZeneca. Dalam konten tersebut mereka mempertanyakan dengan kritis dan mencurigai terdapat permasalah atas fatwa tersebut. Kritik Tempo hanya salah satu dari pergulatan pendapat terkait Covid-19.

Berbagai konten bernarasi agama yang masih resistensi atas protokol kesehatan atau Covid-19 masih berkeliaran hingga sekarang. Kemarin saja, saya masih mendapatkan potongan ceramah yang disebar oleh Ustadz Zulkifli M. Ali yang menyebutkan bahwa jarak yang dibuat untuk memutus penyebaran Covid-19 adalah strategi penghancuran umat Islam.

Adapun potongan video tersebut yang diberi judul dengan “Fitnah Dajjal Shaf Sholat Berjarak,” tersebut malah mengusulkan kepada kita untuk mengabaikan protokol “jaga jarak”. Karena menurut mereka, menjaga jarak tersebut telah menghancurkan apa yang telah disunnahkan oleh Nabi.

Terlepas dari benar atau tidaknya, di tengah sebagian kita mulai merasakan Pandemic Fatigue, konsumsi terhadap konten seperti ini dapat menimbulkan masalah. Sebab, kelelahan yang kita alami tidak saja dapat membuat kita mempercayai, namun juga secara tidak sadar memproduksi atau sekedar menyebar apa yang selama ini kita tolak.

Kondisi tersebut tentu mewajibkan kita untuk terus waspada dalam mengonsumsi berbagai konten di tengah pandemi ini. Sebab, tidak sedikit akun yang masih menghantui kita untuk mengabaikan protokol kesehatan, termasuk mendedahkan narasi agama di dalamnya.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin