Dari Ustadz Somad & Yahya Waloni, Kenapa Wacana Hidup Bersama Agama Lain kok Dianggap Masalah?

Dari Ustadz Somad & Yahya Waloni, Kenapa Wacana Hidup Bersama Agama Lain kok Dianggap Masalah?

Wacana hidup bersama dengan pemeluk agama lain seolah mendapat tantangan oleh para selebritas-agamawan, kenapa itu terjadi?

Dari Ustadz Somad & Yahya Waloni, Kenapa Wacana Hidup Bersama Agama Lain kok Dianggap Masalah?

Ustadz Somad dengan beberapa pertanyaan dan Yahya Waloni dengan kontroversi beragamanya membuat kita bertanya, kenapa wacana hidup bersama agama lain seolah-olah berat dilakukan?Dalam esai kali ini saya akan mengulas wacana anti-hidup homogen di Indonesia yang disebarluaskan lewat narasi Agama. Kita semua mengetahui bahwa tatanan kehidupan yang heterogen di Indonesia memiliki sejarah panjang.

Jika dulu hidup heterogen diganggu oleh kekuatan politik dan militer, maka jika kita geser ke media sosial malah mendapati pemandangan yang berbeda. “Sulap” algoritma yang mengajak untuk bergaul dengan orang yang serupa dengan kita justru cukup laku. Sehingga narasi homogenitas telah merasuki kehidupan kita secara tidak kita sadari.

Bahkan, kita cukup sering berjumpa dengan tawaran wacana hidup eksklusif di linimasa media sosial kita. Wacana tersebut didedahkan para oknum otoritas Agama. Peran otoritas tersebut cukup vital dalam menentukan keberhasilan resepsi narasi tersebut di masyarakat. Hal ini disebabkan emosi keberagamaan yang mereka mengasong masih cukup ampuh menggerakan masyarakat untuk hidup homogen.

Adapun pesan atau wacana homogen di media sosial diantaranya didedahkan lewat narasi dakwah kebencian atau kecurigaan pada identitas liyan. Beberapa tahun terakhir ini kita tentu merasakan distribusi sangat massif atas wacana tersebut di publik Indonesia.

Namun sebelum lebih jauh, rasanya kita perlu mengulik pengalaman Pandji Pragiwaksono, seorang komika, yang pernah mendapati narasi kebencian di khutbah Jumat. Dari sana kita bisa melihat lebih luas bagaimana dinamika wacana kebencian atas identitaa yang lain tersebar lewat bantuan teknologi.

Kala itu Pandji mengikuti salat Jumat yang diisi dengan khutbah yang provokatif. Di mana sang Khatib menyebutkan bahwa, “di sekitar masjid ini ada orang-orang kafir yang akan dibakar dalam neraka”. Jelas saja Pandji menyayangkan perkataan tersebut bisa keluar dari seorang otoritas agama yang tidak sensitif lingkungan, karna ucapannya yang diperlantang TOA tersebut kemungkinan didengar oleh warga perumahan tersebut, yang mayoritas diisi oleh warga keturunan Tionghoa.

Ketika ujaran kebencian, sebagaimana pengalaman Pandji, muncul di ruang publik digital maka siapapun dapat mengonsumsinya, termasuk  mereka dari identitas yang berbeda. Terlebih saat ujaran tersebut telah diperlantang lewat TOA masjid, maka tentu bukan lagi milik pemeluk agama itu sendiri, namun telah menjadi wacana publik.

Sebaliknya, kebanyakan otoritas agama masih beralasan pada penyampaian ajaran tersebut di wadah yang privat, padahal hal yang jarang diperhatikan adalah konsekuensi atas pendedahannya di ruang publik. Perdebatan kemudian dilanjutkan soal ruang publik di ranah digital atau kebenaran ajaran agama masing-masing.

Namun untuk memperjelas di mana letak persoalan di pengalaman Pandji di atas, sebaiknya kita mengulik kembali pengalaman buruk di Pilkada DKI Jakarta kemarin. Saat itu politik identitas di Jakarta sedang mengalami gelombang pasang. Akibatnya, ketika polemik politik yang beririsan dengan kebencian terhadap identitas lain yang memakai narasi agama, kebanyakan otoritas malah mencuci tangan atas persoalan pelik tersebut.

Sayangnya, keadaan tersebut semakin pelik ketika pembahasan terkait agama atau kepercayaan sering diajarkan, baik di ceramah atau khutbah, dengan cara yang kurang elok, bahkan malah mengeraskan atau memanaskan polemik atau dendam yang sebelumnya hadir akibat berbagai ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik. Untuk lebih memahami persoalan ini lebih dalam, saya memberikan dua contoh pernyataan kurang pantas terkait agama lain yang disampaikan oleh otoritas agama, yaitu pernyataan ustadz Yahya Waloni tentang “Kursi Gereja” dan kasus “Salib” yang disampaikan Ustadz Abdus Samad.

Sebelumnya saya sangat menyayangkan saya menyayangkan pernyataan kedua otoritas tersebut. Hal ini juga membuktikan mereka tidak memiliki sensitivitas kesetaraan maka sudah seharusnya menghentikan tertawa tersebut karna hanya memupuk kebencian terhadap identitas liyan atas nama agama. Selain itu, kedua pernyataan itu disambut tawa lepas dari jemaah yang menyimaknya.

Kasus ustadz Yahya Waloni cukup menyita perhatian netizen, sebab pernyataannya sebenarnya cukup aneh. Permintaan ustadz Yahya Waloni untuk mengganti kursi yang dipakai karna dianggap bagian dari gereja. Jelas permintaan ustadz Yahya Waloni tersebut tidak bisa dianggap remeh, sebab dalam pernyataan seperti itu jelas menanamkan kecurigaan dan kebencian lewat keberadaan benda-benda yang dianggap milik agama lain.

Kedua, pernyataan UAS terkait Salib yang bermasalah terjadi pada salah satu ceramahnya di Pekanbaru. Dalam pernyataan tersebut UAS mengaitkan Salib dengan jin yang dianggap membahayakan bagi kaum muslim. UAS kemudian mengaitkan logo yang terpasang di mobil ambulan, yakni palang merah, termasuk yang berbahaya. Oleh sebab itu, UAS menyarankan kepada kita untuk menjauhi simbol-simbol tersebut.

Dari dua pernyataan kita bisa mengetahui bahwa relasi antar agama masih dijaga dengan menumbuhkan rasa saling curiga. Selain itu, otoritas agama kita juga masih kurang dalam memiliki sensitivitas atas potensi bahaya ekstrimisme atas nama agama. Sebab, gesekan antar kelompok yang terjadi sering disebabkan oleh provokasi yang dijejalkan terus menerus oleh para otoritas tersebut, walau dilakukan secara tidak sadar.

Dalam buku Poso, Dave McRae, akademisi asal Australia, menjelaskan bahwa salah satu penyebab terjadi konflik kekerasan terlama di Indonesia adalah segregasi tempat tinggal dan narasi penuh kecurigaan yang beredar di dua kelompok yang bertikai. Jadi, jika kita belajar dari tragedi tersebut, maka kondisi sosial kehidupan di tempat tinggal mono-identitas, ditambah persoalan media sosial tentu masyarakat kita berada dalam kerentanan untuk terjadi konflik horisontal.

Selain itu, setelah beberapa kali keruihan isu agama di media sosial kita diwarnai dengan retaknya relasi antar kelompok atau identitas lain di kehidupan nyata, tentu harus menjadikan kita perlu waspada atas potensi tersebut. Namun, jika kita berkaca pada kasus Pandji dan Pilkada DKI Jakarta maka para otoritas yang terlibat dalam pendedahan kecurigaan dan kebencian pada kelompok lain sangat cair.

Nama-nama yang tenar selama ini, seperti Habib Rizieq Shihab, Habib Bahar bin Smith, Ustadz Sugi Nur, hanya sedikit dari otoritas yang menyuarakan wacana tersebut. Masih banyak otoritas lain yang secara tidak sadar malah memupuk imaji negatif pada kelompok lain atau identitas yang liyan.

Namun, mayoritas kelompok otoritas kedua ini sebenarnya sangat sadar akan bahaya atas perilaku mereka. Sayangnya, mereka mungkin tidak melihat pengerasan identitas yang dipupuk lewat provokasi sebagai sebuah masalah. Sebab, tidak sedikit dari segregasi identitas yang mereka bangun tersebut “dipelihara” dengan terus menumbuhkan rasa saling curiga dan tidak percaya.

Walau sekarang di tengah esklasi politik belum terlalu panas, penyudutan terhadap identitas tertentu masih saja terjadi, walau dalam kadar yang turun naik. Di titik inilah, otoritas agama, terutama dari kalangan Islam reaksioner, mengambil kesempatan untuk mengipasi konflik horisontal demi mengambil keuntungan di sana.

 

Fatahallahu alaihi futuh al-arifin