Menjadi Penghulu yang Anti Grativikasi

Menjadi Penghulu yang Anti Grativikasi

Biaya nikah (PNBP) yang disetorkan ke Negara oleh catin, sebagiannya diprioritaskan untuk membayar ujrah atas jerih payah penghulu hingga tidak ada alasan lagi menerima pemberian atau bahkan melakukan pungli.

Menjadi Penghulu yang Anti Grativikasi
Foto akad nikah putri Khofifah Indar Parawansa

Selain ruang lingkup, tugas, tanggung jawab, dan wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, penghulu sebagai pegawai dan pejabat juga diharuskan menaati regulasi lain yang diberlakukan baginya. Termasuk masalah gratifikasi yang sering kali dialamatkan kepadanya usai melaksanakan tugas. Pertanyaannya kemudian, bagaimana fikih klasik menyorot masalah tersebut?

Merujuk pada Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 30 Tahun 2024 Tentang Pencatatan Pernikahan, penghulu memiliki tugas berkaitan dengan pelayanan nikah. Pelayanan nikah ini lebih detail mencakup pemeriksaan dokumen untuk memastikan ada atau tidaknya halangan untuk menikah serta pelaksanaan nikah itu sendiri. Pada peraturan ini juga dijelaskan bahwa penghulu yang diberi tugas tambahan sebagai Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) juga bertindak sebagai wali hakim dalam hal wali nasab tidak ada.

Pada praktiknya, tugas pemeriksaan yang diemban oleh penghulu sebelumnya mengharuskan pemahaman komprehensif terhadap fikih munakahat (pernikahan). Itulah mengapa PMA Nomor 16 Tahun 2021 Tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Penghulu mengharuskan pemahaman dasar-dasar hukum pernikahan bagi penghulu karena beberapa kasus di lapangan bahkan menuntut untuk ‘berijtihad’.

Posisi penting ini, merujuk pada redaksi yang digunakan dalam fikih klasik yang kemudian terimplementasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, menempatkan penghulu sebagai qadli atau hakim yang sah dalam ruang lingkup, tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya sebagaimana diatur oleh negara. Karena sebagai qadli atau hakim, hukum-hukum yang diberlakukan baginya pun harus ditaati, termasuk gratifikasi.

Syekh Zain al-Din al-Malibariy dalam Fath al-Mu‘in menjelaskan,

وَحَرُمَ قَبُوْلُهُ أي القَاضِي هَدِيَّةَ مَنْ لَا عَادَةَ لَهُ بِهَا قَبْلَ وِلَايَةٍ أَوْ كَانَ لَهُ عَادَةٌ بِهَا لَكِنَّهُ زَادَ فِيْ القَدْرِ أَو الوَصْفِ إِنْ كَانَ فِي مَحَلِّهِ أي مَحَلِّ وِلَايَتِهِ. وَهَدِيّةَ مَنْ لَهُ خُصُوْمَةٌ عِنْدَهُ أَوْ مَنْ أَحَسَّ مِنْهُ بِأَنَّهُ سَيُخَاصِمُ وَإِنْ اعْتَادَهَا قَبْلَ وِلَايَتِهِ لِأَنهَّاَ فِي الأَخِيْرَةِ تَدْعُو إِلَى الْمَيْلِ إِلَيْهِ وَفِي الأُوْلَى سَبَبُهَا الوِلَايَةُ

Inti dari penjelasan Syekh Zain al-Din dalam konteks penghulu adalah bahwa penghulu dilarang (haram) menerima pemberian (hadiyyah) dari masyarakat yang menerima layanan darinya. Larangan ini didasarkan adanya perbedaan perlakuan yang diberikan atau bahkan bias keputusan hukum yang dihasilkan manakala ia menerima pemberian tersebut.

Lebih lanjut, Syekh Zain al-Din juga menjelaskan,

وَحَيْثُ حَرُمَ القَبُوْلُ أَوْ الأَخْذُ لَمْ يَمْلِكْ مَا أَخَذَهُ فَيَرُدُّهُ لِمَالِكِهِ إِنْ وَجَدَ وَإِلَّا فَلِبَيْتِ الْمَالِ

“Sekiranya dilarang (haram) menerima atau mengambil pemberian, maka qadli tadi tidak memiliki hak kepemilikan atas pemberian tersebut sehingga ia harus mengembalikan kepada pemiliknya jika ada atau menyerahkan ke kas negara”.

Penjelasan Syekh Zain al-Din ini telah dikontekstualkan oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) di antaranya melalui Peraturan KPK Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pelaporan Gratifikasi yang mencakup penjelasan definisi dan ragam gratifikasi serta pihak-pihak yang dikenai peraturan pelaporan gratifikasi tersebut.

Selain pemeriksaan yang bersifat ‘ijtihadi’, tugas tambahan bagi penghulu sebagai wali hakim bagi kepala KUA termasuk disorot oleh fikih klasik. Hal ini seiring dengan adanya potensi pemerasan atau pungutan liar (pungli) oleh oknum penghulu kepada masyarakat selaku penerima layanan. Potensi pungli ini jika menilik PMA Nomor 30 Tahun 2024 sebelumnya sangat mungkin terjadi apabila didasari dengan pemahaman yang serampangan.

Pasal 16 dari PMA Nomor 30 ini menyatakan bahwa, “(1) Akad nikah dilaksanakan di KUA pada hari dan jam kerja. (2) Atas permintaan Catin dan persetujuan Kepala KUA/PPN, akad nikah dapat dilaksanakan di luar KUA atau di luar hari dan jam kerja”. Angka 2 dari pasal 16 ini sangat mungkin dijadikan bargaining (tawar-menawar) bagi oknum penghulu untuk melakukan pungli terhadap masyarakat yang menghendaki layanan pelaksanaan nikah pada di luar KUA dan atau di hari libur kerja.

Padahal, menurut pemahaman penulis, angka 2 dari pasal 16 ini lahir sebagai bentuk perhatian dan kepedulian Negara terhadap profesi penghulu serta menghindari dari adanya eksploitasi mengingat potensi ketiadaan libur bagi penghulu bahkan pada hari-hari yang ditetapkan sebagai hari libur. Oleh karenanya, penghulu dengan berdasar angka 2 dari pasal 16 berhak menolak layanan pelaksanaan nikah di hari libur kerja.

Terhadap kasus pemerasan ini, salah satu penjelasan fikih yang dapat ditemui adalah dhawuh Syekh Zain al-Din al-Malibariy dalam Fath al-Mu‘in-nya,

ثُمَّ إِنْ لَمْ يُوْجَدْ وَلِيٌّ مِمَّنْ مَرَّ فَيُزَوِّجُهَا مُحَكَّمٌ عَدْلٌ حُرٌّ وَلَّتْهُ مَعَ خَاطِبِهَا أَمْرَهَا لِيُزَوِّجُهَا مِنْهُ وَإْنْ لَمْ يَكُنْ مُجْتَهِدًا إِذَا لَمْ يَكُنْ ثَمَّ قَاٍض وَلَوْ غَيْرَ أَهْلٍ وَإِلَّا فَيُشْتَرَطُ كَوْنُ المُحَكَّمِ مُجْتَهِدًا. قَالَ شَيْخُنَا: نَعَمْ إِنْ كَانَ الحَاكِمُ لَا يُزَوِّجُ إِلَّا بِدَرَاهِمَ كَمَا حَدَثَ الآنَ فَيُتَّجَهُ أَنَّ لَهَا أَنْ تُوَلِّيَ عَدْلًا مَعَ وُجُوْدِهِ وَإِنْ سَلَّمْنَا أَنَّهُ لَا يَنْعَزِلُ بِذلِكَ بِأَنْ عَلِمَ مُوَلِّيْهِ ذلِكَ مِنْهُ حَالَ التَّوْلِيَةِ انتهى.

Kronologi dari dhawuh Syekh Zain al-Din ini bermula dari ketiadaan wali bagi calon pengantin (catin) wanita, baik itu dari wali nasab dan wali hakim, sehingga ia diperbolehkan mengangkat wali muhakkam. Namun demikian, ada satu contoh kasus di mana catin wanita boleh mengangkat wali muhakkam padahal masih dijumpai wali hakim, yakni ketika wali hakim yang ada melakukan pungli dalam pelaksanaan tugasnya.

Dalam konteks keindonesiaan, praktik wali muhakkam tentu tidak dibenarkan dengan alasan apa pun. Hal ini karena ketersediaan wali hakim yang dijabat oleh kepala KUA dan atau penghulu di setiap kecamatan. Maka apa jadinya jika catin wanita mengangkat wali muhakkam karena pejabat yang ditunjuk melaksanakan tugas wali hakim melakukan pungli dengan berdasar penjelasan Syekh Zain al-Din sebelumnya? Tentu akan terjadi chaos.

Oleh karenanya, dhawuh Syekh Zain al-Din terkait pengangkatan wali muhakkam harus dipahami oleh para penghulu sebagai warning atas larangan melakukan pungli dengan dalih apa pun. Apalagi dengan menyalahartikan angka 2 dari pasal 16 PMA Nomor 30 Tahun 2024 sebelumnya.

Kesejahteraan penghulu sebagai petugas layanan nikah telah menjadi perhatian Negara. Buktinya sebagaimana tertuang dalam Lampiran Keputusan Menteri Agama Nomor 678 Tahun 2024 Tentang Pedoman Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Atas Layanan Nikah Atau Rujuk. Bahwa biaya nikah (PNBP) yang disetorkan ke Negara oleh catin, sebagiannya diprioritaskan untuk membayar ujrah atas jerih payah penghulu hingga tidak ada alasan lagi menerima pemberian atau bahkan melakukan pungli. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []