Internet membuat kemampuan dalam melihat yang baik dan buruk (mumayyiz) menjadi begitu kabur. Bahkan, orang dewasa pun masih kesulitan dalam menilai kebenaran sebuah informasi.
Islam memiliki konsep menarik dalam melihat perkembangan anak, salah satunya ialah konsep mumayyiz. Konsep tersebut bermakna kondisi ketika seorang anak telah mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dalam pengetahuan umum Islam, anak dikategorikan mumayyiz ketika berusia sekitar 7 hingga 12 tahun. Namun, kini usia bukan lagi menjadi patokan dari kematangan berpikir seorang anak.
Inti dari mumayyiz ialah anak mampu membedakan yang baik dan yang buruk dalam kehidupannya. Bahkan, dalam kasus perceraian, si anak yang telah dianggap mumayyiz berhak untuk memilih akan tinggal bersama dengan ayahnya atau ibunya.
Itu artinya, mumayyiz merupakan sebuah kemampuan bagi seorang anak dalam memilah dan memilih segala sesuatu yang ditemui dalam kesehariannya.
Tampaknya, makna mumayyiz mengalami gugatan di era internet. Meski awalnya berlaku untuk anak-anak, sikap ini dapat diberlakukan juga bagi orang dewasa. Oleh sebab itu, makna mumayyiz di era ini perlulah ditinjau kembali.
Di Hadapan Internet, Orang Dewasa Bisa Kehilangan Sikap Mumayyiz
Belakangan ini, terjadi banyak kasus yang melibatkan anak-anak. Mulai dari perundungan anak yang kelewat batas, anak yang bunuh diri, hingga pembunuhan sesama anak. Pertanyaan besar yang ingin diajukan di sini: “Kok bisa sih anak kecil kepikiran untuk bunuh diri atau membunuh orang?” Padahal di era orang tua mereka, boro-boro seorang anak berpikir untuk mengakhiri hidupnya, paling jauh ingin kabur dari rumah.
Jawaban yang akan diberikan dalam merespon pertanyaan tersebut adalah pengaruh internet. Lewat informasinya yang turah, internet telah membawa pikiran seorang anak berkelana jauh meninggalkan kesehariannya.
Tanpa sensor, sang anak dapat mengonsumsi konten dewasa. Mulai dari konten seksualitas hingga kriminalitas seperti konsumsi narkoba hingga pembunuhan. Seperti quote populer, “anak-anak adalah peniru yang baik”. Kini, anak-anak tak mesti meniru orang-orang di sekitarnya, melainkan juga dapat meniru orang-orang di dunia maya.
Analisis konstruktivis memberitahu bahwa informasi apapun yang dikonsumsi oleh seseorang tak hanya dapat memengaruhi mereka. Lebih dari itu, informasi tersebut juga dapat membentuk cara mereka melihat dunia. Oleh sebab itu, kita tak perlu kaget jika ada seorang anak melakukan hal di luar kebiasaan tempatnya hidup. Karena, barangkali ia menirunya dari internet.
Sialnya, kekeliruan dalam menerima informasi yang turah itu tak hanya terjadi pada anak kecil melainkan juga pada generasi orang tua. Generasi ini malah belum tentu mampu bersikap dewasa di hadapan teknologi internet.
Kelompok yang secara usia telah dapat disebut sebagai mumayyiz ini justru gagal dalam menyaring informasi yang ditemuinya di internet. Mereka juga mudah sekali terjebak hoaks hingga penipuan. Lebih buruknya, mereka juga yang menyebarkannya hoaks itu.
Filter Atas Informasi di Internet
Internet adalah penyumbang terbesar informasi yang dikonsumsi oleh penggunanya. Oleh sebab itu, sikap mumayyiz dalam konteks ini terwujud dalam kemampuan seseorang dalam menyaring informasi yang ia dapatkan di internet. Sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Nadirsyah Hosen, “Saring sebelum sharing“.
Mumayyiz merupakan filter atas informasi yang menyebar di internet. Namun, seperti kasus yang disinggung di atas, usia bukanlah patokan bagi seorang anak dalam menilai informasi. Lantas, bagaimana sikap mumayyiz itu dapat diwujudkan?
Pertama, manfaatkanlah berbagai sumber informasi yang tersebar. Di satu sisi, kita memang dipusingkan dengan banyaknya informasi yang tersebar di internet. Namun, di sisi lain, semakin luas pengetahuan kita atas apa yang kita baca, tonton, dan dengarkan maka semakin bijak pula dalam membandingkan setiap informasinya. Yang baik tak akan menjadi baik tanpa adanya yang buruk, kan?
Maka dari itu, hindarilah kebiasaan menyimak hanya dari satu sisi. Itu akan menyebabkan pandangan kita jadi hanya terarah pada satu titik tertentu, layaknya tengah menggunakan kacamata kuda.
Dengan melihat dari berbagai sisi, kita dapat membedakan antara informasi yang benar dan yang keliru. Tak hanya dari muatannya melainkan juga dari kemasannya. Secara kemasan, misalnya, informasi yang salah lebih banyak memuat typo atau desain yang tak proporsional.
Cara kedua untuk dapat menumbuhkan sikap mumayyiz dalam diri kita ialah mempunyai pegangan kebenaran namun tak sampai maqom fanatik. Dengan memiliki pegangan kebenaran, kita akan terhindar dari pandangan relativisme dan tak mudah hanyut dalam keramaian.
Hoaks menyebar dalam kerumunan. Semakin hanyut hoaks, semakin kabur pula muatan informasi yang dibawanya. Oleh sebab itu, agar tak terjebak dalam arus ini, seseorang perlu memiliki pegangan kebenaran sekaligus dalam melihat dalam horison yang luas.
Dengan begitu, sikap mumayyiz yang berupa kemampuan memilah informasi akan terbentuk dengan baik di era tumpah-ruahnya informasi di era internet ini. [NH]