Islam dan Internet (I): Sejarah Sosial Ruang Publik Islam Baru

Islam dan Internet (I): Sejarah Sosial Ruang Publik Islam Baru

Islam dan Internet (I): Sejarah Sosial Ruang Publik Islam Baru

Pembahasan ini diawali dari penjelasan perihal bagaimana keterkaitan antara agama dan internet. Seberapa jauh institusi agama sanggup berjalan selaras dengan kemajuan teknologi?

Dalam sebuah buku di tahun 1999, Gary Bunt pernah membahas mengenai iMuslim dan identitas kolektif lingkungan maya Islam (Cyber Islamic Environment) serta Eickelmen mengenai hubungan tiap-tiap individu di ruang publik maya Islam menjadi sumber acuan utama dalam pemaparan mengenai adopsi teknologi bagi umat Islam.

Setelah itu, beralih ke pembahasan mengenai kontestasi Islam di dunia maya dari berbagai sumber. Menurut Gary Bunt dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul [email protected]: ‘British Muslim’ Identities in Cyberspace kontestasi atau perdebatan ini terjadi di sekitar awal tahun 1990-an. Pada tahun tersebut terdapat signifikansi peran cyberspace sebagai wadah ekspresi baru yang membantu pembentukan ulang (rebranding) identitas individu atau organisasi keagamaan di dunia maya.

Lain dengan Bunt yang positive vibes terhadap persinggungan antara internet dan agama, Eickelmen yang dikutip oleh el-Nawawy (2010) dalam “Collective Identity in the Virtual Islamic public Sphere: Contemporary Discourses in Two Islamic Websites,” menyebut pertemuan antara agama dan media baru (new media) berkembang menjadi ruang kontestasi baru perdebatan mengenai agama. Internet mengakomodir wacana keagamaan yang kemudian banyak diperbincangkan, bahkan diperdebatkan oleh masyarakat digital.

Pada tahun 2004, Pew Internet & America Life Project berkerjasama dengan Center for Research on Media, Religion and Culture mengeluarkan sebuah publikasi dengan judul “Faith Online”. Temuan dalam publikasi tersebut menyebutkan bahwa 64% responden menggunakan internet untuk tujuan keagamaan.

Perkembangan internet tak hanya mengakibatkan perubahan di pihak konsumen agama saja (umat), tetapi juga dari para produsen atau distributor agama itu sendiri (gereja, ulama, kelompok agama, dll).” Hal ini tercatat dalam sebuah pidato Paus John Paul II yang berjudul“The Church Must Learn to Cope with Computer Culture” yang disampaikan pada “World Communication Day” tahun 1989.

Jenis pembingkaian yang seperti itu tidak terlepas dari dampak globalisasi, modernisasi dan kapitalisasi yang menghegemoni ruang kehidupan. Internet menjadi new ways  dalam adopsi ilmu agama, dalam kegiatan ritualistik sehari-hari.

Pada saatnya, ajaran agama kemudian membanjiri setiap ruang di internet. Pengajaran agama secara tradisional yang, ditransmisikan dengan cara konvensional—murid mendatangi gurunya di majlis-majlis ilmu (bandongan/sorogan), kini kurang familiar. Kelak, pola transmisi pengetahuan tidak bisa tidak melibatkan unsur-unsur teknologi.

Nadirsyah (2008) menyebut proses pencarian hukum atau ajaran Islam di internet sebagai “fatwa shopping”, sehingga dari pencarian itu yang menjadi panutan adalah “kiai google”. Ini tentu menandai gejolak permasalahan yang dihadapi pesantren masa kini. Otoritas keagamaan pesantren sedikit banyak akan terusik melalui eksistensi “kiai google”.

Secara sosiologis, dari pengaruh interaksi dialog multi-face di internet tersebut, muncul apa yang diistilahkan oleh Dale F Eickman dan Jon W Anderson (2003) sebagai ruang publik Muslim (Muslim public sphere) yang menggambarkan bagaimana seorang Muslim, intelektual di negara-negara beragama Islam berusaha membangun pemahaman tentang Islam melintasi batas geografis dan kultural dengan pemanfaatan teknologi media baru (new media) dengan digitalisasi dan/atau visualisasi ajaran sebagai itikad dakwahnya.

Kerangka ini, dicontohkan melalui penemuan Gary R. Bunt dalam salah satu penelitiannya yang berjudul “[email protected]: ‘British Muslim Identities in Cyberspace”. Bunt mencari persemaian antara Islam dan internet dengan mencermati gerakan Muslim Council Britain (MCB) melalui website mereka. Internet dikelola untuk mempromosikan sekaligus membentuk identitas agama di website mereka.

Perlu diketahui, pada dasarnya di kultur maya, identitas yang mereka tawarkan sama sekali tidak berbeda dengan identitas mereka di dunia nyata. Internet hanya alat atau katalisator eksistensi identitas mereka di dunia maya.

Ekspresi keberagamaan diinformasikan dengan memosting kegiatan, kisah, gagasan, dan fatwa agama. Seperti yang lebih dulu dilakukan oleh kelompok Muslim di Britania melalui websitenya menaungi organisasi/komunitas agama di Britania, antara lain: UK Islamic, Young Muslims, World Assembly of Muslim Youth, Somali Women’s Group, Liverpool, South London Mosque & Islamic Centre, Southwark Muslim Women’s Association, Quwatul Islam Mosque, dan masih banyak lagi.

Sementara itu, di Indonesia umur tertua website keislaman dipegang oleh Eramuslim.com yang didirikan sejak tahun 2000, tepatnya 1 Agustus 2000. Kemudian dilanjutkan NU Online pada 11 Juli 2003. Perkembangan pertumbuhan situs keislaman ini terus bertambah, puncak-puncaknya di era tahun 2013 sampai sekarang.

Riset terbaru Alvara menyebutkan peralihan simpul website keislaman sangat pesat, dominasi otoritas keagamaan mulai bergeser dari yang berbasis salafi-wahabi bergeser ke ahlusunnah wal jamaah an-nahdliyah. Hal ini ditandai dengan bertenggernya tiga portal Islam aswaja dengan Islami.co sebagai pemuncak klasemen.

Internet mereposisi budaya literasi laring, dan digitalisasi merekonstruksi pengalaman manusia berliterasi di dunia nyata. Penyebutan ‘fatwa shopping’ sebagai term yang kini banyak digandrungi masyarakat digital, menunjukkan keringnya peran dan signifikansi otoritas agama terhadap amaliah peribadatan umat.

Dalih efektifitas dan kemudahan, membuat digitalisasi kini cenderung lebih digandrungi. Seperti kitab suci agama-agama yang dulunya diterima dalam bentuk cetak, tempo hari bisa dipakai dan dibawa dengan mudahnya dalam rupa digital di dalam gawai kita: “Alquran Digital”.

Perubahan yang memiliki dua sisi baik dan buruknya ini, tidak terlepas dari pengaruh pemahaman mengenai nilai-nilai efektifitas yang, dianggap sesuai dengan agama Islam yang dinamis terhadap lokalitas (sahih li kulli zaman wa makan).