Meme peluncuran film “Jejak Khilafah di Nusantara (JKDN)” beredar luas sejak dua minggu terakhir. Bahkan, trailer fim tersebut sudah ditonton lebih dari puluhan ribu yang diunggah oleh beberapa akun Youtube. Belum lagi jika kita menelusuri di layanan jejaring sosial Facebook dan Twitter, pasti angka tersebut menjadi melonjak jauh lebih tinggi. Tapi, benarkah ini sekadar film biasa? Apa motif di baliknya?
Kehadiran narasi khilafah lewat budaya pop sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Lihat saja, meme hingga kaus bernada isu khilafah bisa dengan mudah kita temui, entah di media sosial atau aplikasi jualan daring. Selain itu, ada banyak konten bernada sama yang berkeliaran di media sosial.
Namun, di awal Agustus kita disodori sebuah produk baru, yakni sebuah film. Akun Youtube “Khilafah Channel” sebagai pihak dianggap sebagai produsen film tersebut terbukti logo mereka muncul di poster daring film tersebut.
Peluncuran film dan cuplikan film tersebut sempat menyita perhatian sebagian besar warganet. Bagaimana tidak, Peter Carey, sejarawan asal Universitas Oxford, mengklaim bahwa namanya sempat dicatut oleh pembuat film tersebut. Walau tidak jelas bagaimana juntrungannya kehebohan tersebut, karena pembuat film tidak memberikan tanggapan yang jelas.
Persoalan klaim sepihak nama Peter Carey tersebut malah seperti membuat perhatian banyak pihak terarah kepada film tersebut. Jujur, kontroversi bisa saja menaikkan atensi orang terhadap objek. Hal ini diamini oleh Felix Siauw, kala itu bertindak sebagai moderator acara, yang menyebutkan bahwa kemungkinan separuh dari penonton siaran langsung acara tersebut adalah haters.
***
Jika kita bicara produk film di Indonesia berlatar dokumenter maka kita tidak bisa melepaskan sejarah kelam perfilman di Nusantara. Sebab, disebutkan bahwa film dokumenter perdana di Indonesia adalah produksi kolonial. Tercatat, pihak Belanda sebagai penjajah membikin lima film bergenre dokumenter sebagai rekaman kegiatan mereka selama di Indonesia.
Dilansir oleh eagleinstitute.id, pada masa kolonial banyak di produksi film-film dokumenter yang secara tujuannya di gunakan sebagai media propaganda. Dalam hal ini film dokumenter bisa bersifat sebagai media saluran informasi, tapi juga bisa memberikan pemahaman yang justru bersifat manipulatif terhadap fakta yang ada.
Artinya, film dokumenter dapat digunakan secara positif, namun juga terbuka untuk disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Beberapa film dokumenter malah dijadikan propaganda, seperti yang terjadi di perang dunia kedua.
Sekarang, film JKDN telah menjadi bagian dalam kehidupan kita. Sebagai film dokumenter berbasis sejarah Islam, JKDN tentu menampilkan banyak data terkait agama Islam di Nusantara, terkhusus cerita tentang kedatangan Islam di Nusantara. Dan hampir keseluruhan kisah yang ditampilkan adalah baiat atau politik hubungan kerajaan di Nusantara dengan kekhilafahan Islam di Timur Tengah.
Menariknya, warna yang ditampilkan hanyalah Islam datang sebagai pengayom (baca: penakluk), karena sepanjang wilayah Nusantara saat itu dianggap masih dalam wilayah “kufri” atau kekafiran. Namun afiliasi (baca: ketundukkan) para pemimpin atau raja Nusantara dalam wilayah kekhilafahan seluruhnya digambarkan dilakukan secara sukarela, entah dengan alasan ketertarikan atau keinginan menjadi bagian dari sebuah emperium besar.
Arkian, cerita dalam film dokumenter JKDN ini sangat elitis. Kisah-kisah yang ditampilkan seluruhnya bagaimana kalangan elit, termasuk elit agama, yang berhasil mengislamkan berbagai wilayah di Nusantara yang selalu dimulai dari cerita para Raja atau ulama.
***
Terkait keabsahan atau kesahihan data sejarah yang ditampilkan dalam film JKDN adalah jatah para sejarawan atau ahli sejarah untuk mengulasnya. Saya lebih tertarik apa yang terselip dari narasi sejarah politik elit di Nusantara ini. Sebuah pesan yang terlihat cukup gamblang dalam film tersebut, yaitu penaklukkan politis menjadi jalan utama penegakkan Islam di berbagai wilayah Nusantara dan harus ditegakkan kembali sekarang.
Di bagian akhir intro film The Rise of Ottoman tertulis “Satu kekaisaran bangkit, maka satu kekaisaran lain harus runtuh”. Mereka juga menganggap bahwa jejak-jejak kekhilafahan Islam di Nusantara yang selama ini dianggap ditutup-tutupi. Ketika jejak tersebut telah jelas kelihatan maka sudah seharusnya umat Islam di Indonesia sekarang, harus siap berbaiat pada khilafah nanti, karena kita (baca: Indonesia) telah memiliki DNA bagian dari khilafah Islam.
Maka, film Jejak Khilafah di Nusantara sepertinya menandai perjalanan bangsa ini harus dikembalikan ke settingan “kekhilafahan ala minhaji nubuwwah”, begitu imaji pembuat dan narasumber di film tersebut. Anggapan ini boleh saja menjadi diskursus di negeri ini, namun mereka melupakan bahwa bangsa kita juga memiliki sejarah lain yang juga turut mewarnai perjalanan bangsa Indonesia hingga seperti sekarang ini.
Bernarasi elit dan politis satu agama membuat kisah-kisah dalam JKDN seakan-akan mengesampingkan narasi lain. Padahal, negara kita telah mengakui telah berhutang jasa kemerdekaan pada seluruh elemen bangsa ini, bukan pada satu pihak belaka. Dan kita memiliki modal sosial yang lebih egaliter, yakni Pancasila.
Arkian, perjalanan bangsa ini jika dihitung dari pembacaan proklamasi di jalan Pengangsaan tersebut maka masih bisa dibilang sangat muda. Namun, bangsa ini tidak dibangun dalam semalam, apalagi hanya satu pihak yang berjuang. Seluruh penduduk berjuang untuk menjadi bangsa Indonesia yang terbentang dari ujung Barat hingga Timur.
Sudahlah, jangan sampai kita terjebak pada glorifikasi satu pihak atas kebangkitan bangsa ini. Dan menunjukkan bahwa kita, sebagai muslim di bumi ini, entah kenapa merasa inferior dalam narasi sejarah dan peradaban. Begitu.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin