
Seringkali kita melihat agama hanya melulu pada aspek kesakralannya, padahal melihat agama pada sisi-sisi keseharian dan kemanusiawiannya tak kalah menariknya. Umumnya manusia, kebanyakan pemeluk agama adalah “orang-orang biasa” yang bergulat dengan kesibukan mencari sesuap nasi dan kesulitan-kesulitan hidup lainnya.
Perilaku keagamaan mereka daripada dilihat dari sisi sakralitasnya, malah sebetulnya lebih menarik dilihat dari sisi perilaku kesehariannya yang tak luput dari keterbatasannya sebagai manusia.
Seperti pada bulan Ramadhan kali ini, perilaku beragama mereka juga menampakkan sisi-sisi kemanusiawiannya yang kerap memperlihatkan sedikit kelebihan dan banyak kekurangannya. Tidaklah asing di sekitar kita, banyak orang tampak bersusah payah dalam menahan lapar dan dahaga sampai azan magrib tiba.
Mereka bukanlah resi ataupun pandita yang mampu bertirakat hingga berhari-hari untuk bertapa di tempat yang keramat.
Salah satu perilaku umat muslim pada bulan puasa yang saya amati adalah perilaku salat tarawih yang super kilat yang kerap muncul di media sosial. Di video-video itu menampilkan praktik salat tarawih yang sangat cepat.
Terlihat seperti orang-orang yang sedang berolah raga dengan jungkat-jungkit. Cara imam tarawihnya dalam membaca surat alfatihah dan surat setelahnya seperti sedang berpacu dengan waktu.
Praktik salat tarawih yang kilat tersebut cukup relate dengan saya. Di kampung saya, sebagian ritual salat tarawih ada yang mempraktikan dengan cara cepat, meskipun tidak sekilat seperti yang banyak tampak pada video tarawih yang super kilat tersebut.
Barangkali, kalau hendak dibandingkan, tarawih di video yang kerap viral di medsos itu kecepatan level MotoGP, sedangkan salat tarawih di tempat saya level kecepatan Motor Ninja 150 R.
Saya sebagai lulusan fakultas Psikologi, fenomena tarawih cepat kerap menstimulai pikiran saya, “gejala psikologis apa sebetulnya dalam perilaku tarawih serba kilat ini?”. Psikologi yang kerap berurusan dengan perilaku yang secara kuantitatif umum dan banyak dilakukan oleh mayoritas orang, maka saya menduga ini adalah sebuah perilaku atau budaya yang sebetulnya mirip dengan perilaku lain tapi serupa.
Perilaku yang “apa-apa” harus cepat adalah budaya yang beberapa dekade belakangan sedang berkembang dengan masif. Salah satu jejak awal yang sangat tampak adalah budaya Mc Donalisasi atau budaya makanan cepat saji.
Budaya restoran yang serba cepat ala restoran fast food Barat mendisrupsi banyak cara penyajian rumah makan lokal yang serba harus menunggu yang tak jarang cukup lama. Di resto fast food bahkan kita bisa memesan makanan dengan cara drive thru tanpa turun dari kendaraan kita.
Berbeda dengan cara penyajian restoran lokal yang kita harus agak sabar menunggu.
Sepertinya budaya fast food turut menstimulasi sebuah perilaku umum bahwa “jika bisa cepat kenapa harus lambat.”
Perilaku seperti ini belakangan sudah menjadi kecenderungan umum masyarakat, apalagi disrupsi teknologi juga mendorong hal ini menjadi budaya populer. Saat ini, kita sudah bisa belanja secara online dan tidak perlu berdesakan datang ke toko. Kita cukup rebahan di rumah dan paket belanjaan kita datang sendiri.
Apakah dengan semaraknya budaya serba cepat ini juga mendisrupsi moralitas kita yang kemudian dapat dianggap merontokkan moral tradisioanl kita seperti ketahanan emosi dan kesabaran? Pada level tertentu mungkin saja dapat dilihat demikian. Belakangan banyak juga kejadian-kejadian dimana masyarakat pada masa kini tampak kurang mampu meregulasi emosinya dengan baik.
Jonathan Haidt, ilmuwan Psikologi sosial dari Universitas New York kerap mendakwahkan di platform X bahwa media sosial berdampak buruk pada generasi muda di dunia.
Media sosial secara hegemonik memanipulasi standar tubuh dan kecantikan yang terlalu tinggi dan berdampak pada persoalan generasi muda. Haidt menyebut generasi ini sebagai the anxious generation, generasi yang cemas.
Kembali kepada perlaku salat tarawih yang serba cepat, pada segi-segi tertentu memang menampakkan sebuah budaya baru bahwa banyak umat Islam masa kini yang tidak terlalu tertarik dengan kedalaman dalam beragama. Hal ini barangkali juga selaras dengan fakta lain bahwa banyak umat muslim yang terjebak kepada budaya kesalehan sosial permukaan. Dua hal ini barangkali memiliki kesamaan dalam hal tiadanya kedalaman dalam beragama.
Namun, perkembangan seperti ini juga kita tidak seyogyanya divonis sebagi sebuah kemunduran peradaban umat muslim, namun kita juga harus memahami sebagai sebuah keniscayaan dunia modern.
Perkembangan teknologi bagaimana pun selalu memengaruhi perilaku masyarakat. Sejarah juga telah membuktikan bahwa budaya adalah produk masyarakat, ketika ada teknologi baru, maka budaya masyarakat juga berubah.
Pada sisi yang positif, budaya serba cepat ini juga bisa dimaknai sebagai upaya efisiensi waktu. Jika kita memiliki banyak aktivitas dan pekerjaan, maka kita juga membutuhkan waktu rehat yang cukup dan waktu untuk bercengkrama dengan keluarga. Bukankah beribadah secara berlebihan dan tidak memperhatikan kapasitas tubuh justru bakal terjerumus kepada kesia-siaan?
Budaya serba cepat juga dapat dilihat sebagai upaya untuk menggapai kebahagiaan. Kebahagiaan perlu dipahami secara luas, tidak hanya bahagia karena banyak uang. Namun, bahagia karena memiliki waktu yang proporsional untuk ibadah dan waktu istirahat juga dapat dipahami sebagai kebahagiaan substantif.
Oleh karena itu, kita tidak perlu melihat budaya serba cepat ini melelu secara negatif saja. Hal ini bisa dilihat sebagai pernak pernik bulan Ramadhan.