Dalam Islam dikenal aliran teologis Qadariyah. Pandangan Qadariyah merupakan pandangan yang disematkan kepada Ma’bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimashqi. Pandangan keduanya menyatakan bahwa kuasanya manusia atas dirinya sendiri, manusia menciptakan perbuatannya sendiri.
Qadariyah adalah paham yang didasarkan atas konsep Qadar (kuasa). Kata ini sendiri disebutkan dalam banyak ayat al-Quran. Pandangan Ma’bad al-Juhani melihat konteks kata. jika manusia hidup untuk dirinya, maka ia kuasa atas perbuatannya. Dengan demikian istilah qadar secara etimologis oleh aliran ini disandarkan kepada manusia, sehingga manusia berdiri sendiri atas dirinya sendiri.
Bagi para penulis teologi Islam, qadariyah merupakan kelompok yang memahami keberadaan makhluk berdasarkan kepada free will. Orang bisa saja beriman atau tidak beriman, itu kembali kepada dirinya sendiri. pandangan teologis qadariyah soal keimanan di dasarkan atas firman Allah:
فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
“Maka bagi siapa yang berkehendak, dia bisa beriman, dan siapa yang berkehendak juga, dia bisa kafir”. (QS. Al-Kahf: 29)
Dalam pandangan Qadariyah ayat ini menunjukkan kebebasan manusia untuk beriman atau tidak. Bahwa perkara keimanan didasarkan atas kemauannya manusia. Artinya soal keimanan itu adalah pilihan pribadi.
Abu Zahrah menyatakan bahwa polemik perdebatan “kehendak manusia” dan “kehendak Allah” itu muncul di akhir pemerintahan Khulafa’ al-Rasyidin dan awal era Umayyah. Kecendrungan sebagian ahli teologi menyebut bahwa Qadariyah lahir karena faktor politis. Pandangan ini menyebut bahwa aliran Qadariyah merupakan penentang awal bagi pendiri dinasti Umayyah, Muawiyah bin Abi Sofyan.
Saat terjadi polemik legitimasi otoritas kekuasaan di masyarakat antara pro-kontra pemerintahan Umayyah, Muaawiyah menyatakan kalo ia tidak layak menjadi pemimpin umat Islam, maka biarlah kelak Allah yang memutuskan. “menyerahkan” urusan otoritas legitimasi pemimpin khalifah. Pandangan ini sarat akan pemahaman Murji’ah. Para ahli teologi Islam juga menyebut bahwa Muawiyah merupakan orang yang berpemahaman Murjiah.
Para pendiri aliran Qadariyah juga ditanggapi secara berbeda di kalangan ahli sejarah Islam. Di satu sisi, ada yang menilai pandangan teologis Ma’bad al-Juhani dan Jaham bin Shofwan secara ekstrim seperti menyebutnya berdakwah sebagai orang-orang nasrani. Ibnu ‘Asakir menyebut bahwa Ma’bad al-Juhani merupakan orang yang berpendapat seperti orang-orang nasrani (Yaqulu bi Qaul al-Nashara).
Di sisi lain, Abu Zahrah dalam Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah menyebut bahwa Ma’bad al-Juhani merupakan orang yang giat berdakwah kepada orang-orang syam, namun para pengikutnya lebih sering meresahkan masyarakat ketika itu.
Karena aliran ini kerap menimbulkan resah dalam masyarakat, ia tidak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, Qadariyah selanjutnya tidak berkembang di masa-masa kekhalifahan setelahnya. Ia tidak memiliki banyak pengikut setelahnya dan tenggelam ditelan zaman.