Pendiri aliran ini adalah Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi. Ia lahir di Samarkand pada pertengahan kedua abad ke-9 M. Abu Manshur meninggal pada 944 M. Abu Zahrah, Ahmad Ahmin, dan Harun Nasution menyatakan bahwa pemahaman teologi mazhab ini banyak kesamaan dan terpengaruh oleh pandangan teologis Abu Hanifah, sang pendiri Mazhab hanafiyah dalam fikih.
Mafhum, Al-Maturidiyah sendiri dikenal dengan salah satu aliran dalam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Beberapa literatur menjelaskan mazhab teologis ini tidak sebanyak dengan aliran al-Asyariyah. Di antara literatur yang memaparkan aliran ini di antaranya al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal, Ibnu Hazm, dan Abdul Qahir al-Baghdadi.
Di antara karya mazhab al-Maturidiyah adalah Kitab al-Tawhid, dan Kitab Ta’wil al-Qur’an. Ada juga beberapa naskah yang disandarkan kepada Abu Manshur, seperti Risalah fi al-Aqaid dan Syarh al-Fiqh al-Akbar. Buku kedua merupakan bukti kedekatan pandangan teologis al-Maturid dengan Abu Hanifah, hal ini dikarenakan karya al-Fiqh al-Akbar merupakn kitab teologi Abu Hanifah. Selain kitab di atas, ada juga kitab-kitab yang memuat pemikiran teologis al-Maturidi yang ditulis oleh murid-muridnya seperti Usul al-Din karya al-Bazdawi.
Pemikiran teologis Abu Hanifah -yang memengaruhi Abul Hasan- banyak dipuji oleh para peneliti, pengkaji teologi Islam. Kelebihan itu berada di posisi proporsionalitas penggunaan akal dan wahyu (nash-nash). Jika pandangan ahli hadis dalam urusan ketuhanan, -meski tidak semuanya, sangat tekstualis, maka pemikiran teologis al-Maturidi berani melampaui tekstualism teologis yang disediakan Nash-nash dengan pandangan nalar dengan penggunaan rasio, nalar untuk menjangkau hakikat pengetahuan ketuhanan.
Bisa kita katakan dimensi logika teologi metafisika Islam klasik, entah itu al-Asyariyah, al-Maturidiyah, adalah menggunakan logika metafisik qiyas al-Ghaib ‘ala al-Syahid (menganalogikan keghaiban dengan kehadiran, apa yang tampak).
Pandangan al-Maturidiyah banyak memiliki kesamaan dengan al-Asy’ariyah dalam persoalan sifat-dzat Tuhan. Hematnya, Tuhan memiliki sifat-sifat, akan tetapi sifat bukan Dzat. Menurutnya Tuhan mengetahui bukan dengan Esensi-Nya, akan tetapi dengan pengetahuan-Nya. Begitupun dengan sifat ‘qudrat’, Kuasa karena sifatnya, bukan Dzat-Nya. Pandangan semacam ini berangkat dari penolakan dualism sifat-Dzat.
Menurut Harun Nasution, dalam problem af’al al-nas (perbuatan manusia), pandangan al-Maturidi seirama dengan Mu’tazilah. Bahwa manusia mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Pandangan semacam ini mempunyai paham qadariyah bukan sebagai kasb ala al-Asyari. Cukup banyak kesamaan antara al-Maturidi dengan Mu’tazilah, akan tetapi tidak semua hal. Seperti dalam persoalan makhluk-nya Al-Quran. Sependapat dengan al-Asyari, bahwa al-Quran itu dari sananya Qadim, ia bukan makhluk.
Dalam persoalan ini, banyak terjadi mihnah yang menyebabkan ulama seperti Ahmad bin Hambal mendekam dipenjara karena perkatannya menolak bahwa al-Quran itu makluk. Sementara al-Syafi’i -dengan model berfikir eklektisime- berpendapat bahwa al-Quran itu qadim, karena ia sudah dari sananya dan tidak berubah, akan tetapi jika sudah ditulis di atas mushaf, dicetak, dan mampu dibaca, maka ia telah menjadi makhluk.
Dari beberapa perdebatan klasik, soal perilaku dosa besar, apakah ia mukmin atau kafir? Al-Maturidi berpendapat bahwa hanya Allah lah yang menentukan kelak di akhirat bagi para perilaku dosa besar. Tidak ada urusan manusia untuk menghukumi seorang mukmin, kafir dalam problem ini.
Seperti halnya aliran-aliran lain dalam Islam, al-Maturidiyah juga memiliki beberapa faksi di dalam tubuhnya. Pertama, yaitu golongan Samarkand yaitu pengikut dari Abu Manshur al-Maturidi sendiri. kedua, yaitu golongan Bukhara di mana mereka dominannya adalah pengikut al-Bazdawi. Kecendrungan pemahaman teologis keduanya berbeda. Yang pertama lebih cendrung kepada pandangan Mu’tazilah, meski tidak semunya. Begitupun dengan yang kedua, golongan ini memiliki kecendrungan kepada kelompok al-Asyari.
Aliran al-Maturidi yang tumbuh di Bukhara dipelopori oleh Abu al-Yusr al-Muhamamd al-Bazdawi (493 H). nenek al-Bazdawi merupakan murid dari al-Maturidi sehingga al-Bazdawi banyak belajar pemahaman al-Maturidi dari kedua orang tuanya. Al-Bazdawi sendiri memiliki seorang murid bernama Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (537 H), penulis kitab al-‘Aqaid al-Nasafiah.
Dalam beberapa penjelasan di atas, jelas bahwa al-Maturidi sangat banyak dipengaruhi dari berbagai pemahaman teologis dari mazhab yang berbeda. Entah itu dari Abu Hanifah dan para pengikutnya, atau dari Mu’tazilah dan al-Asyari yang memang banyak memiliki kesamaan pemahaman dengan aliran ini.