Pulang dari rangkaian kegiatan ibadah haji di Tanah Suci, jamaah asal Indonesia biasanya akan langsung diberi embel-embel haji atau hajjah di depan namanya. Ada yang menggunakannya dengan bangga dan tak lupa untuk selalu menambahkan inisial “H.” atau “Hj.” saat menulis nama lengkapnya. Namun, nyatanya pemberian gelar haji ini hanya berlaku di Indonesia saja.
Tidak banyak yang tahu bahwa sejarah pemberian gelar haji ini masih ada kaitannya dengan masa penjajahan Belanda di Indonesia. Tren ini ternyata adalah warisan dari pemerintah kolonial Belanda kala masih menduduki Indonesia. Saat itu, gerakan peribadahan organisasi-organisasi Islam tengah jadi musuh besar pemerintah kolonial. Pasalnya, sepulang dari Tanah Suci, orang-orang akan cenderung membawa ajaran Islam serta mendirikan organisasi berlandaskan Islam di Tanah Air.
Beberapa contohnya adalah Muhammad Darwis yang mendirikan Muhammadiyah, Hasyim Asyari yang mendirikan Nahdlatul Ulama, Samanhudi yang mendirikan organisasi Sarekat Dagang Islam serta H.O.S Tjokroaminoto yang mendirikan Sarekat Islam. Muslim yang menunaikan ibadah haji akan pulang kembali dengan semangat nasionalisme dan patriotisme lebih tinggi serta membangun organisasi sebagai wadah berkumpulnya para pemuda Muslim untuk memperjuangkan kemerdekaan.
Di sinilah, Belanda mulai merasa terancam. Semakin banyak Muslim Indonesia pergi haji dan mendirikan organisasi Islam, maka akan makin tinggi pula rasa persatuan serta persaudaraan mereka. Hal ini tentu akan dapat memicu pemberontakan pada pemerintah kolonial dan mengguncang posisi Belanda di Indonesia. Belanda akhirnya mulai membatasi pergerakan organisasi Islam termasuk dakwah serta kepergian ke Tanah Suci.
Langkah yang ditempuh pemerintah kolonial termasuk mendirikan sebuah tempat karantina di Pulau Onrust serta Pulau Khayangan untuk para jamaah haji. Walau mereka berdalih tempat ini digunakan sebagai tempat penjagaan kesehatan, namun nyatanya ada banyak calon jamaah haji yang tidak kembali dari sana lantaran dianggap membahayakan. Langkah lain yang ditempuh pemerintah Belanda ialah terkait peraturan pemberian gelar haji.
Dalam Peraturan Pemerintah Belanda Staatsbald tahun 1903, orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji diharuskan untuk menambahkan gelar di depan namanya. Untuk laki-laki gelarnya adalah Haji dan untuk perempuan gelarnya adalah Hajjah. Tujuan dari pemberian gelar ini adalah mempermudah Belanda dalam mengawasi gerak-gerik Muslim yang dianggap membahayakan setelah pulang berhaji dan mencari orang-orang yang berpotensi memberontak untuk kemudian dipenjara atau bahkan dieksekusi.
Peraturan ini ditetapkan sejak 1903 hingga masa penjajahan Belanda berakhir. Namun setelah bangsa Indonesia merdeka, nyatanya masih banyak umat Muslim Indonesia yang menggunakan embel-embel haji di depan nama sepulangnya dari perjalanan ibadah ke Tanah Suci. Kebiasaan yang tertanam selama ratusan tahun ini tentu tidak mudah dihapuskan begitu saja. Hingga kini, sudah jadi semacam tradisi di mana mereka yang telah menunaikan rukun Islam kelima akan dipanggil dengan sebutan “Pak Haji” atau “Bu Hajjah”.
Para ulama pun berbeda pendapat terkait pemberian gelar haji ini. Ada yang mengatakannya dilarang, karena belum dikenal di zaman Rasulullah sehingga dikhawatirkan akan memicu riya. Lajnah Daimah dalam salah satu fatwanya mengatakan: “Panggilan Haji bagi yang sudah berhaji sebaiknya ditinggalkan. Karena melaksanakan kewajiban syariat, tidak perlu mendapatkan gelar, namun dia mendapat pahala dari Allah, bagi mereka yang amalnya diterima. dan wajib bagi setiap muslim untuk mengkondisikan jiwanya agar tidak bergantung dengan semacam ini, agar niatnya ikhlas untuk Allah.” (Fatwa Lajnah Daimah, 26/384).
Pendapat lain justru memperbolehkan gelar Haji maupun Hajjah. Alasannya antara lain adalah gelar diberikan karena keikhlasan ialah urusan pribadi tiap jamaah serta tidak akan diketahui orang lain. Selain itu, gelar merupakan bagian dari tradisi dalam pemberian penghormatan serta tidak ada dalil yang secara eksplisit melarangnya.
Imam an-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab memberi pandangannya sebagai berikut: “Boleh menyebut orang yang pernah berangkat haji dengan gelar Haji, meskipun hajinya sudah bertahun-tahun, atau bahkan setelah dia wafat. Dan hal ini tidak makruh. Sementara yang disebutkan dalam riwayat Baihaqi dari Al Qasim bin Abdurrahman, dari Ibnu Mas’ud, beliau mengatakan, ‘Janganlah kalian mengatakan ‘Saya Haji’ karena Haji adalah orang yang ihram.’ Riwayat ini mauquf dan sanadnya terputus.”
Memang tidak ada yang salah dengan panggilan Pak Haji maupun Bu Hajjah. Tidak ada larangan secara eksplisit dalam hadist maupun Al Quran terkait penambahan gelar setelah menunaikan ibadah haji ini. Namun, yang menjadikannya keliru adalah saat seseorang kemudian merasa tinggi hati atas gelar barunya. Tiap Muslim hendaknya mengingat tujuan dari ibadah haji adalah demi mencapai kemabruran dan ridho Illahi, bukan melulu soal gelar.
Wallahu A’lam.