Memotret Ikan Bilih dan Masyarakat Danau Singkarak dari Dekat Sekali

Memotret Ikan Bilih dan Masyarakat Danau Singkarak dari Dekat Sekali

Hubungan antara ikan bilih dan masyarakat Danau Singkarak adalah relasi kultural, dan bahkan eksistensial.

Memotret Ikan Bilih dan Masyarakat Danau Singkarak dari Dekat Sekali

Saya selalu punya kesan tersendiri dengan hasil penelitian yang diolah dalam bentuk cerita. Sebab saya termasuk orang yang berkeyakinan bahwa cerita akan selalu diterima oleh seluruh elemen masyarakat dan, melalui cerita, seorang peneliti bisa membungkus temuan-temuan investigasinya yang kompleks menjadi relatif sederhana, ringkas, bahkan kerap kali lebih enak dibaca ketimbang disajikan dalam format paper jurnal dan semacamnya. 

Demikian pula harapan saya ketika memperoleh buku berjudul Ikan Bilih, Danau Singkarak, dan Masyarakat di pinggirannya, hasil etnofotografi seorang akademisi muda asal Pekanbaru, Risky Wahyudi.

Secara garis besar, buku Ikan Bilih ini menawarkan cerita mengenai relasi kultural antara ikan bilih dan masyarakat sekitar Danau Singkarak, Sumatera Barat. Terbagi dalam 8 bab, buku ini terbit dalam bentuk yang tipis, hanya sekitar 90-an halaman, dan itu pun karena ukuran font-nya yang dibuat besar dan disertai sisipan foto-foto selama penulisnya melakukan etnofotografi. Masing-masing bab dalam buku ini juga terbilang pendek, sehingga tidak akan butuh waktu lama untuk membacanya hingga tandas. 

Melalui narasi yang dibangun selayaknya laporan feature, Risky cukup berhasil menghadirkan kisah bagaimana masyarakat Danau Singkarak hidup sebagai penangkap ikan. Ia menyusun perjalanannya, mulai dari perkenalan dengan sosok pemuda yang akan menjadi pemandunya selama berada di Singkarak hingga beberapa warga lokal yang memberinya pengetahuan seputar ikan bilih, mulai dari ekosistem, nilai-nilai, bahkan sampai alasan mengapa ikan tersebut menjadi bagian dari kearifan lokal masyarakat yang tinggal di sekitarnya. 

Saya kira butuh usaha yang cukup keras bagi Risky untuk menghadirkan makna dari relasi antara masyarakat dengan lingkungannya. Tentu saja hal ini karena ia merupakan peneliti, yang datang dari luar masyarakat daerah yang ia teliti. 

Hanya dengan ketekunan, ketelitian, serta kepekaan seorang peneliti, ia bisa menggali relasi yang sepintas tampak biasa dan mungkin sederhana. Seperti hubungan antara masyarakat Singkarak dengan ikan bilih. Jika kita hanya melihatnya tanpa kedalaman, yang kita temukan hanya hubungan antara warga lokal dan ikan yang mereka jadikan komoditas atau konsumsi. Tetapi, dalam buku tersebut, Risky agaknya berhasil melihatnya lebih jauh. Bahwa hubungan antara ikan bilih dan masyarakat Danau Singkarak adalah relasi kultural, dan bahkan eksistensial.

Perkara eksistensial dan kultural ini bisa dilihat, khususnya, dari kisah-kisah yang Risky tulis mengenai pengalaman warga pinggiran Singkarak. Misalnya, seperti sosok Da Man, yang oleh Risky, diceritakan sebagai sosok paling cakap dalam urusan melempar jala. 

Da Man sendiri belajar melempar jala secara otodidak karena ia mengidentifikasi diri sebagai anak danau yang memang harus menguasai keterampilan tersebut. Risky memaknai pengalaman Da Man sebagai bentuk rasa kedekatannya terhadap alam Danau Singkarak. Artinya, penguasaan teknik melempar jala itu sendiri merupakan konsekuensi atas sosok Da Man yang mengidentifikasi diri sebagai bagian dari ‘ekosistem’ danau tersebut, baik secara eksistensial maupun kultural. 

Saking pentingnya menjala, Da Man sampai berpendapat, “rugi sekali apabila anak laki-laki sekitar Danau Singkarak tidak menguasai kecakapan teknik itu.” Karena, sekali lagi, kegiatan menangkap ikan ini adalah perkara kultural dan eksistensial bagi masyarakat sekitar danau tersebut. Bahkan menurut catatan Risky, hampir semua masyarkat sekitar Danau Singkarak, baik tua maupun muda, menjadikan kegiatan menangkap ikan bilih sebagai gaya hidup. 

Dalam sektor ekonomi, ikan bilik juga memiliki pengaruh signifikan, sebab ia menjadi salah satu kekayaan alam Danau Singkarak. Namun terdapat peraturan adat yang membuat masyarakat tidak bisa dengan serakah menangkap ikan tersebut. Sehingga, kelestarian ikan bilik relatif terjaga. Kegiatan menangkap ikan juga harus dilakukan dengan mengedepankan kerukunan dan kerja sama di antara para nelayan. Temuan ini Risky pada refleksi tentang situasi modernitas hari ini.

Ketika kita bicara mengenai modernitas, utamanya menyangkut nalar kapitalisme, paling tidak ada dua perkara yang problematik: eksploitasi alam dan upaya memupuk kekayaan pribadi. Nalar kapitalisme kerap kali menunjukkan bahwa alam patut dieksploitasi sedemikian rupa demi kelangsungan hidup manusia. Persoalan kelestarian menjadi yang nomor sekian dan keuntungan menjadi yang utama. Nalar kapitalisme juga menuntun manusia pada keserakahan, memupuk kekayaan pribadi, tanpa memikirkan kepentingan secara komunal. 

Dengan demikian, masyarakat sekitar Danau Singkarak, sebagaimana dalam riset Risky ini, menunjukkan bahwa kearifan lokal mereka adalah anti-tesis dari modernitas dan, secara spesifik, nalar kapitalisme. Peraturan adat mereka, setidaknya, merefleksikan nilai yang mencegah manusia dari menjadi serakah, sehingga mereka selalu mementingkan kemaslahatan bersama, alih-alih keuntungan pribadi. Saya pikir, upaya mengabstraksi nilai dari kearifan lokal semacam ini sangat penting untuk memberi kita, masyarakat modern, refleksi tentang bagaimana usaha menjadi manusia yang ideal. Begitulah spirit utama buku ini, bagi saya.

Namun, saya cukup menyayangkan beberapa aspek di dalamnya yang belum tergarap dengan baik. Misalnya, soal deskripsi. Dalam setiap riset yang menggunakan strategi etnografi, ketebalan deskripsi menunjukkan kekayaan data sekaligus kekayaan makna dari sang peneliti. Saya belum mendapati ketebalan deskripsi ini dari tulisan Risky. Cerita-cerita yang ia susun berjalan dengan cukup kaku dan interpretasinya atas cerita-cerita itu pun adakalanya terkesan memaksa. Ada beberapa hal juga yang bisa dieksplor lebih dalam, seperti apa saja pelanggaran yang membuat seorang nelayan memperoleh pengucilan sosial dan berikut pertimbangan-pertimbangannya. Tapi sayang aspek ini kurang tergarap dengan mendalam, sehingga pembaca hanya mendapat informasi yang bersifat permukaan saja.

Terlepas dari berbagai kekurangannya, saya tetap mengapresiasi keberhasilan Risky untuk menuangkan substansi kultural masyarakat sekitar Danau Singkarak dan kaitannya dengan ikan bilih. Saya pikir, riset-riset semacam ini sangatlah penting karena ia membuat saya, atau masyarakat urban modern lainnya, bisa merenungkan hal-hal yang barangkali mulai hilang dalam kehidupan kita: kedekatan antara alam dengan manusia.

Data Buku:

Judul : Ikan Bilih, Danau Singkarak, dan Masyarakat Pinggirannya
Penulis : Risky Wahyudi
Penerbit : Jejak Pustaka
Cetakan Pertama: November 2023