Rumi bersama puisinya adalah juru bicara Islam. Ia dikenal hampir di seluruh belahan bumi. Puisinya tak hanya soal keindahan dan permainan kata-kata, namun juga sarat dengan makna dan pengalaman spiritual. Boleh jadi Rumi adalah satu di antara sekian juru bicara Islam yang paling berpengaruh di dunia Barat. Kadang, malah, puisinya yang terhimpun dalam konun berjudul Matsnawi lebih dikenal dan bisa diterima dan menyentuh banyak hati ketimbang dakwah terbuka.
Karya-karya Rumi sampai saat ini masih terus dikaji dan diterjemahkan, pun di Indonesia. Saat ini, jika berbicara tentang Rumi di Indonesia kita tak bisa untuk tidak menyebut Nur Jabir dengan Rumi Institute atau Kuswaedi Syafii, penulis cum agamawan, yang menghibahkan diri untuk mendaras dengan serius karya-karya rumi lewat pesantren yang didirikan, PP. Maulana Rumi.
Selain dua nama di atas, nama yang tak boleh dilewatkan adalah Haidar Bagir, Filontropis yang juga bos dari Mizan Grup itu punya konsen yang dalam terhadap Rumi dan gagasan-gagasannya. Hal itu bisa dilihat dengan terbitnya buku yang berjudul Belajar Hidup dari Rumi (Mizan, 2015) dan Mereguk Cinta Rumi: Serpihan-Serpihan Puisi Pelembut Jiwa (Mizan, 2016). Pada Ramadhan tahun 2018 lalu, selama 30 hari penuh, Haidar mendaras puisi-puisi Rumi lewat akun media sosial Mizan Wacana dan Noura Publishing.
Awal tahun 2019 ini, Haidar kembali melahirkan buku berkaitan dengan Rumi dan puisi-puisinya, Dari Allah Menuju Allah: Belajar Tasawuf dari Rumi (selanjutnya disebut DAMA). Tak seperti dua buku terdahulunya tentang Rumi dan puisinya, dalam buku DAMA ini Haidar mensyarahi puisi-puisi Rumi dengan lebih panjang dan elaboratif. Ikhtiar yang dilakukan Haidar ini tentu membantu awam untuk menyelami samudera perenungan agama yang telah dijahit Rumi lewat puisi.
Puisi Rumi, menurut Haidar, tak pernah kering timbunan makna tasawuf. Meski, menurut Haidar, Rumi tak seperti Ibn Arabi yang menulis berjilid-jilid buku mengenai tawasuf falsafi. Lewat buku DAMA ini, Haidar ingin memperlihatkan pada kita bahwa Rumi adalah seorang salik yang tekun .
Dicipta Karena Cinta
Perjalanan buku ini dimulai dengan sebuah pertanyaan, yang hampir bisa dipastikan, pernah mampir di kepala kita semua. Mengapa Tuhan menciptakan manusia? Rumi menjawab pertanyaan ini dengan sebuah puisi yang indah:
Dulu Aku perbendaharaan rahasia kebaikan dan kedermawanan,
Kurindu perbendaharaan ini dikenali,
Maka kucipta cermin
Potongan puisi di atas, tak bisa dipungkiri, terilhami dari hadis Qudsi yang berbunyi: Dulu aku adalah perbendaharaan tersembunyi. Aku rindu untuk dikenali. Maka Kucipta ciptaan, agar aku dikenali (hal. 33). Berpegang dengan hadis Qudsi tersebut, para sufi meyakini bahwa penciptaan alam semesta, termasuk manusia, adalah karena kecintaan Tuhan pada makhluk dan kerinduan-Nya untuk diketahui oleh makhluk. Pada setiap makhluk yang diciptakan Tuhan tersemayam di dalamnya tiupan rahman (kasih sayang). Tuhan, meminjam istilah Ibn Arabi, adalah Nafas ar-Rahman yaitu napas-Nya Allah yang menjadi bahan penciptaan semesta (hal. 155). Mudahnya adalah manusia semua diciptakan karena cinta.
Manusia adalah cermin Tuhan begitu kata Rumi. Diksi cermin yang dipakai Rumi tak lepas dari pemahaman bahwa manusia sebagai madzhar (wadah) yang sempurna untuk tajalli (emanasi) Tuhan. Dalam satu hadis Qudsi, Allah berfirman: Alam semesta dan isinya tak mampu menampungku, yang bisa menampungku adalah hati mukmin. Meski manusia adalah tajalli Tuhan tapi manusia bukanlah Tuhan itu sendiri, ia hanya bisa menjadi bagian Tuhan. Semata-mata bahwa wujud manusia pinjaman dari wujud Tuhan.
Perjalanan (Ruhani) Menuju Tuhan
Betapapun hebatnya manusia, di relung hatinya yang paling dalam, akan tetap merindukan kekasih yang telah menciptakannya (Tuhan). Tak heran jika di atas pencapaian duniawi, jiwa (manusia) tetap mencari sesuatu yang bisa mengisi kekosongan dan kerinduan (yang kadang tak bisa dijelaskan kecuali yang merasakannya). Oleh karenanya, kemudian kita terus mencari sesuatu yang bisa mengisi kekosongan itu.
Dari mana aku datang, dan apa yang harus kulakukan?
Aku tak tahu.
Jiwaku berasal dari suatu tempat
di sana,
dan kuingin berakhir juga di sana
Pencarian jiwa pada sumbernya, Tuhan, adalah alamia hetiap jiwa akan secara alamiah mencari sumbernya, yakni Tuhan.
Kebahagiaan tertinggi jiwa adalah bisa kembali menyatu pada pemiliknya. Serupa nay (seruling) yang mengeluarkan suara yang menyayat dan mendayu-dayu adalah sebentuk kerinduannya karena tercerabut dari kumpulan bambu di mana ia berasal. Puisi tentang nay ini bahkan menjadi puisi pembuka dalam matsnawi. Para peneliti Rumi menyebut susunan Matsnawai tak ubahnya susunan kitab suci Al Quran. Jika Al Quran dimulai dengan bacalah, Matsnawai dumulai dengan dengarkanlah.
Benar belaka bahwa Kerinduan adalah modal utama manusia untuk melakukan perjalanan ( suluk ) menuju Tuhan. Tanpa kerinduan yang dalam mustahil bisa menjalani perjalanan ruhani yang panjang lagi berat ini. Bisa jadi, bila modal kerinduan tak tebal, maka perjalanan menuju ruhani Tuhan akan berhenti di tengah jalan.
Perjalanan manusia berawal dari cinta Tuhan dan ditiupkan dari padanya napas Tuhan. Dalam pengembaraan manusia di dunia ini, (jiwa) manusia itu merindu untuk bertemu kembali pada Tuhan. Perjalanan ‘pulang’ ini membutuhkan kerahiman dan pertolongan Tuhan. Sebab hanya dengan Rahim dan pertolonganNya-lah perjalanan ini bisa dilalui.
*Menjadikan Cinta Sebagai Juru Bicara Agama*
Di tengah-tengah makin menguatnya politik identitas dan puritanitas yang ada di Indonesia saat ini, DAMA yang dianggit oleh Haidar berhasil menampilkan wajah lain dari Islam. Bila selama ini Islam hanya didekati dengan pendekatan fiqih yang cenderung melihat sesuatu dengan kacamat hitam-putih, halal-haram, surga-neraka. Maka, buku DAMA ini mencoba menawarkan pendekatan tasawuf dalam menjalani agama.
Dengan tasawuf, Islam, yang oleh Ibn Arabi disebut sebagai agama cinta, menjadikan wajah Tuhan tak lagi seram, yang hanya dilihat sebagai penghukum atau pemberi, pemarah atau pembalas dendam. Tuhan, dalam tasawuf, adalah sumber cinta dan kerinduan manusia untuk menjalani hidup. Tuhan yang ingin dikenal sebagai Yang Pengasih, Penyayang, Maha Pengampun dan Maha Penutup Aib, da sebagai pemilik kebaikan dan kedermawanan.
Kita patut berterima kasih pada Haidar yang telah menghadirkan Rumi dengan puisinya di tengah-tengah kita saat ini, Di zaman pasca kebenaran, di mana dengan mudah seseorang atau kelompok mengorbankan agama untuk kepentingan sesaat. Melalui Rumi dan puisinya ini, kita sadar bahwa perlu kiranya mengangkat (kembali) cinta sebagai juru bicara (agama) Islam.