Presiden Jokowi dalam acara dzikir bersama di halaman Istana Merdeka menyatakan bahwa persatuan, kerukunan dan persaudaraan adalah aset terbesar bangsa. Sekilas pernyataan itu hanya pernyataan normatif seorang pemimpin negara. Namun jika kita renungkan ada pesan yang mendalam dan kontekstual dalam pernyataan itu. Nyatanya, bangsa ini masih diuji dengan pertikaian dan konflik berlatar agama dan kesukuan, isu SARA menjadi bahan bakar dalam kontestasi politik, dan kelompok minoritas masih menjadi korban diskriminasi dan intolerasi. Yang terbaru dan cukup menyita perhatian adalah kasus Meliana.
Intoleransi tampaknya masih menjadi momok yang tak henti menghantui Indonesia. Hidup dalam keragaman suku dan agama tidak secara otomatis membuat seluruh masyarakat bergerak dan bertindak dengan perspektif kebhinekaan. Masih terdapat kelompok yang enggan berpikir terbuka dan melakukan diskriminasi terhadap kelompok lain. Maka tak jarang konflik sosial terjadi lantaran ketidakmampuan mengelola perbedaan ini.
Intoleransi menjadi kekhawatiran dan keresahan Alamsyah M. Dja’far, peneliti Wahid Foundation dan penulis buku (In) Toleransi! Memahami Kebencian & Kekerasan Atas Nama Agama. Ia mengurai permasalahan-permasalahan bangsa terkait relasi toleransi, diskriminasi, ekstrimisme dan relasi antar agama di buku terbarunya. Ia juga menjabarkan pandangan-pandangan Gus Dur menyangkut tema-tema di atas.
Pada tulisan bertajuk Ekstrimisme di Mata Gus Dur misalnya Alamsyah mencatat pendapat Gus Dur tentang mengapa ekstrimisme terjadi. Menurut Gus Dur, ektrimisme disebabkan dua hal: pemahaman Islam yang dangkal dan persepsi mengenai ketidakadilan dan tirani (negara-negara Barat). Perihal ketidakadilan ini termasuk juga perasaan terzalimi dan kalah bersaing dalam hal ekonomi dengan pengusaha Tionghoa. Pandangan Gus Dur tersebut dikemukakan dalam sebuah konferensi di Korea Selatan tahun 2002. Saat ini, 16 tahun berlalu setelah Gus Dur mengatakan itu, masih ada sekelompok muslim yang merasa ditindas oleh etnis tertentu.
Menghadapi ekstrimisme, Gus Dur menawarkan empat solusi: menguatkan demokrasi & HAM, menegakkan kedaulatan hukum, mengembangkan konsep kemajemukan bangsa dan memberikan pendidikan Islam dan sejarah Islam dengan benar. Membaca tawaran solusi tersebut kita melihat Gus Dur mendorong negara berperan aktif terutama dalam penegakan hukum dan HAM. Namun peran masyarakat juga tak kalah penting, dalam hal ini terutama peran lembaga pendidikan (Islam).
Selanjutnya, pada tulisan berjudul “Wajah Islam” Gus Dur kita diajak Alamsyah berjalan-jalan menelusuri jalan panjang pemikiran Gus Dur tentang Islam. Alamsyah menganggap Gus Dur sebagai manusia manusia multidimensi. Untuk melihat ke-multidimensi-an itu, menurut Alamnysah, kita bisa membaca dua buku Gus Dur: Islamku, Islam Anda dan Islam Kita serta Islam Kosmopolitan.
Apabila diperas, seluruh tulisan Gus Dur akan menghasilkan satu saripati: kemanusiaan. Inilah yang menjadi ruh dari sepak terjang Gus Dur sepanjang hidupnya. Ia telah menjadi seorang pembela kemanusian yang gigih.
Buku (In) Toleransi! Memahami Kebencian & Kekerasan Atas Nama Agama memang memuat beragam tema. Namun saya lebih suka menyebut buku itu sebagai catatan seorang santri Gus Dur . Seorang santri yang melihat dan mengomentari pelbagai problem bangsa, khususnya tentang keberagaman, narasi intoleransi dan kebencian yang belakangan ini menyeruak bak virus yang menggerogoti kita. Narasi keberpihakannya jelas dan gamblang. Menggemakan 9 Nilai Utama Gus Dur. Alur berpikirnya jernih mengalir. Berhasil mengolah warisan pemikiran sang Guru Bangsa. Kita berarap lebih banyak lagi buku semacam ini.
Judul : (In) Toleransi! Memahami Kebencian & Kekerasan Atas Nama Agama
Pengarang : Alamsyah M Dja’far
Penerbit : Elex Media Komputindo
Cetakan : Pertama, 2018
Tebal : 354 halaman
ISBN : 978-602-04-6224-0