Kenapa Intoleransi Justru Kerap Terjadi di Regulasi Negara?

Kenapa Intoleransi Justru Kerap Terjadi di Regulasi Negara?

Kenapa Intoleransi Justru Kerap Terjadi di Regulasi Negara?
Contoh salah satu sikap intoleransi. Gambar hanya ilustrasi terkait perisitwa intoleransi di Yogya beberapa waktu lalu. Pict by Toni Malakian

Kala restoran yang hanya menyediakan menu babi digeruduk oleh Satpol PP, Negara lewat walikota “hanya” menjelaskan bahwa Perda Ramadan di kota Banjarmasin ini telah lama disahkan. Walikota juga menegaskan bahwa selama ini tidak ada “Suara Perlawanan” atas perda ini sejak disahkan.

Kasus di atas terjadi sekitar dua tahun lalu, saat seorang warga sempat melakukan protes keras hingga beradu argumen dengan Satpol PP kala mendatangi warungnya. Di kota Banjarmasin, Perda Ramadan telah disahkan lebih satu dekade. Dalam perjalanannya, beberapa kali terjadi perdebatan hingga adu pendapat antara warga dan Satpol PP akibat Perda ini.

Menariknya, persoalan Perda Ramadan di kota Banjarmasin sebenarnya hanya secuil cerita “menyedihkan,” kala regulasi yang merupakan kepanjangan tangan dari Negara malah gagal melindungi hak warga negara, yakni menjamin warga negara untuk menjalankan ibadah sesuai ajaran agamanya masing-masing.

Dengan alasan serupa, beragam produk regulasi tersebut dibuat oleh Negara dengan beragam cerita dan sejarah yang melatarbelakanginya. Dengan kata lain, Negara telah menjamin hak warga beribadah dengan bebas sesuai dengan ajaran agamanya. Sayangnya, niat Negara ini tidak jarang malah dipenuhi dengan menghadirkan “Masalah” bagi kelompok atau agama lain.

Dalam catatan penelitian INFID, produk regulasi yang terindikasi intoleran di Indonesia cukup banyak. Perda Ramadan di kota Banjarmasin adalah salah satu contohnya. Intoleransi terselip dalam beragam produk hukum dan regulasi Negara ini hanya secuil cerita dari banyak pelanggaran atau penyingkiran hak orang lain lewat tangan Negara.

Dalam laporan INFID tahun 2021 tentang Intoleransi dan Diskriminasi dalam Beragama: Studi Kasus Peraturan Perundang-Undangan di Tingkat Nasional dan Daerah, disebutkan secara jelas bahwa intoleransi dan diskriminasi berbasis agama tidak akan tumbuh dan berkembang di suatu negara atau komunitas jika tidak ada lahan subur yang menopangnya. Lahan itulah yang oleh sebagian ahli disebut sebagai konservatisme.

Adapun definisi konservatisme agama ini tidak hanya mengarah pada sikap berpegang teguh pada ajaran agama atau pada ajaran, ortodoksi, dan tradisi yang dianggap sebagai paling benar. Namun, sikap beragama seperti ini juga dipengaruhi pandangan negatif pada modernisasi, pertumbuhan ekonomi yang timpang, politik sayap kanan yang keras, hingga kemunculan kelas menengah yang membuat konservatisme tidak lagi dalam definisi tunggal.

Kehadiran sikap berpegang teguh pada ajaran agama tentu tidak salah, namun kala sikap dan pandangan ini mulai memunculkan anggapan paling benar dan penghalangan atau tidak peduli atas kehadiran orang lain, maka persoalan terkait kehadiran kelompok lain mulai terganggu. Padahal, kita telah lama mengakui keberagaman sebagai bagian kehidupan dalam negara ini.

Sayangnya, laporan INFID tahun 2021 di atas juga menyebutkan berbagai produk hukum atau kebijakan yang bersifat intoleran dan diskriminatif, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, baik yang dilatarbelakangi oleh kepentingan politik sesaat maupun konservatisme beragama, telah digunakan secara langsung maupun tidak langsung untuk melegitimasi serangkaian perilaku intoleran di tanah air.

Jadi, Negara dalam beragam produk hukum hingga kebijakan turut memperburuk kondisi kebhinekaan, yang selama ini diasumsikan sebagai identitas kita, hingga hari ini. Ditambah, di saat bersamaan, warga tidak bisa berlaku banyak atas beragam regulasi yang melanggar hak-hak asasi manusia, dalam hal ini kehidupan yang layak.

Warga bukannya tidak melakukan perlawanan atas beragam produk regulasi intoleran ini. Gelombang penolakan warga seringkali terhalang dengan beragam pertimbangan, seperti hujatan sesama warga karena dianggap melanggar norma yang telah terbangun; pengkhianat atas agama sendiri; hingga stigma sesat dan lain-lain.

Perlawanan atas intoleransi yang menjalar lewat regulasi-regulasi yang diproduksi Negara semakin rumit, karena usaha tersebut juga sering terhalang proses gugatan yang rumit di berbagai lembaga Negara yang menyediakannya. Oleh sebab itu, perlawanan atas regulasi intoleransi ini masih “jauh dari harapan” akan keadilan atas seluruh warna kebhinekaan.

Kasus di Banjarmasin saja yang diceritakan di atas telah memperlihatkan bagaimana regulasi yang terselip narasi intoleransi di dalamnya, masih sulit digugat apalagi dihapuskan. Pengalaman di sana menggambarkan para pemegang mandat kekuasaan masih sering “gagal” berpihak pada keadilan. Sehingga rentan menjadi dalih akan aksi-aksi intoleran, baik oleh warga atau Negara, masih sering terjadi.

Keberpihakan pada narasi mayoritas di kalangan pemimpin daerah ditengarai posisi mereka yang tersandera lewat logika elektoral. Mereka biasanya sulit mengambil posisi berpihak pada kelompok minoritas yang hak-haknya sering “diambil paksa” oleh ragam regulasi tersebut. Walhasil, gugatan sering berakhir di “meja negosiasi” yang timpang.

Hak-hak minoritas bukan hanya dijaga, namun juga harus dipenuhi. Mereka memiliki hak yang sama dengan kelompok mayoritas dalam menjalankan ibadah atau ajaran agama mereka, termasuk kemunculan narasi agama mereka di ruang publik. Di mana hati nurani seorang anggota DPR RI yang mengugat penayangan film yang menampilkan narasi keagamaan yang berbeda dengan apa yang selama ini ada di agamanya. Jelas mengenaskan!

Fatahallahu alaina futuh al-arifin