Pandemi Covid-19 memiliki dampak yang sangat besar dalam berbagai aspek sosial kemasyarakatan. Aspek sosial ini bukan hanya dalam lingkup ekonomi, politik, melaikan juga dalam beragama, khsusnya dalam dunia fikih. Fikih menjadi pondasi penting yang mendasari berbagai praktik ubudiyah yang dilakukan umat Islam.
Banyak problem dalam fikih bermunculan pada masa pandemi ini. Beberapa di antaranya adalah himbauan tidak diadakannya sholat jum’at, himbauan untuk melaksanakan tarawih di masjid, majlis-majlis pengajian ditiadakan, prosesi pemakaman yang sangat terbatas, dan masih banyak lainnya yang itu semua berusaha memegang prinsip “di rumah saja”.
Penulis juga sempat bersinggungan dengan beberapa pandangan dalam menyikapi kejadian-kejadian ini. Ada yang berpendapat bahwa praktik ubudiyah yang melibatkan masyarakat umum harus tetap ada, karena agama menjadi tolok ukur nomor satu, toh juga pandemi ini merupakan ciptaan Allah.
Semenara itu, pendapat lain sepakat dengan berbagai himbauan mengenai peniadaan kegiatan ubudiyah yang memiliki jangkauan masyarakat banyak. Dan pendapat lainnya lagi berusaha membuat jalan tengah dengan cara tetap menjalankannya, namun dengan berbagai rangkaian ketat prosedural kesehatan. Hal ini lalu memunculkan kebingungan, terkhusus bagaimana baiknya fikih dalam melihat hal ini?
Menarik untuk melihat kembali sosok KH. MA. Sahal Mahfudh yang mengusung nuansa fikih sosial sebagai titik tumpu. Fikih sosial merupakan usaha dalam melihat fikih sebagai suatu etika sosial.
Pembahasan seputar fikih erat kaitannya dengan syariat. Dalam Islam, syariat mengatur hubungan antara manusia dengan Allah sehingga menjadikan hal yang dilakukannya dinilai ibadah. Syariat ini berlaku baik dari sisi sosial antara sesama manusia maupun dalam aspek individual.
Seorang hamba dalam menjalankan syariat memiliki tujuan untuk meraih kesejahteraan di dunia dan akhirat. Kesejahteraan dunia-akhirat dapat dicapai dengan melaksanakan syari’at yang merupakan manifestasi dari akidah islamiah.
Syariat islam memiliki lima tujuan prinsip yang diutamakan (maqashidus syari’ah), yakni memelihara agama, akal, jiwa, nasab (keturunan) dan harta benda. Komponen-komponen tersebut secara bulat dan terpadu menata bidang-bidang pokok dari kehidupan manusia untuk mencapai kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat.
Syariat Islam menjadi formasi yang mengatur seorang hamba dalam melaksanakan ibadah. Suatu amaliah dapat dikategorisasikan dalam ibadah sangat bergantung dengan niatnya, karena niat menjadi salah satu rukun dalam beribadah. Baik amaliah tersebut dalam unsur praktik sosial maupun lainnya. Dengan demikian ibadah memiliki cakupan yang lebih luas dan mendasar bagi setiap aspek kehidupan.
Dalam konteks sosial yang ada, ajaran syariat yang tertuang dalam fikih sering terlihat lebih formalistik dan tidak praksis dalam kehidupan keseharian. Asumsi formalistik fikih menjadi masalah yang laten. Fikih bagi sebagian muslim dianggap sebagai norma dogmatis yang tidak dapat diganggu gugat, dan lupa dengan berbagai konteks yang membentuknya.
Lalu, di sinilah menjadi penting bagi fikih untuk melihat konteks yang ada sebagai cara untuk meraih lima maqashidus syariah tersebut dengan tujuan agar tercipta mashlahah ‘ammah (kemaslahatan umum), khususnya di tengah konteks wabah corona yang sedang menerjang ini. Diperlukan sudut pandang baru dan kesadaran masyarakat muslim dalam mengejawantahkan fikih ibadah, sehingga dapat tercapai lima tujuan syariat tersebut dengan harapan seorang hamba dapat meraih kesejahteraan di dunia maupun akhirat.
Selain tujuan dan dasar yang menjadi pijakan, ada satu komponen lain yang penting untuk dibahas, yakni mujtahid, dalam pengertian orang yang melakukan ijtihad. Di kalangan ahli fikih ada dua macam jenjang ijtihad yakni ijtihad muthlaq dan ijtihad muqayyad atau muntasib.
Ijtihad muthlaq adalah ijtihad yang dilakukan oleh ulama dalam bidang fikih dengan menggunakan metode baru dan hasil pemikiran orisinil. Ijtihad ini merupakan tingkatan para peletak mazhab. Sedangkan jenjang yang kedua adalah ijtihad muqayyad atau muntasib, ialah ijtihad yang terbatas pada upaya penggalian hukum dengan menggunakan metode hasil dari ulama lain. Contohnya dalam mazhab Syafi’i adalah an-Nawawi, ar-Rafi’i, atau imam haramain.
Dalam tataran syari’at, mujtahid memerlukan pemahaman akan konteks yang sedang dihadapi (muqtadhol hal). Walaupun tidak ditekankan secara formal, namun perlu digarisbawahi bahwa seorang mujtahid seharusnya peduli dengan kemaslahatan umat. Hal ini tersirat dalam kaidah fikih mazhab syafi’i mengenai penggalian hukum, seperti dar’ul mafasid ‘ala jalbil mashalih yang bermakna mencegah kerusakan harus diupayakan terlebih dahulu daripada mengambil manfaat. Atau kaidah lain al-mashlahah al-muhaqqaqah muqaddamun ‘ala al-mashlahah al-mutawahhamah yang berarti kemaslahatan yang lebih jelas harus lebih dahulukan daripada kemaslahatan yang belum jelas.
Melihat uraian tersebut, sekali lagi penulis menegaskan bahwa fikih merupakan suatu hal yang tidak lepas dari pertimbangan konteks yang sedang terjadi. Konteks yang mempengaruhi ini bisa meliputi tempat, keadaan, waktu, dimana hukum fikih muncul. Oleh karena itu, hendaknya umat muslim menyikapi dalam perbedaan pendapat dalam fikih sebagai suatu hal yang biasa, khususnya di tengah kondisi pandemi yang berbeda-beda di masing-masing tempat dan waktunya.