Sebentar lagi tiba bulan Ramadhan, sebuah bulan yang ditunggu-tunggu oleh kaum Muslim di negeri kita, termasuk kaum Muslim di kampung saya. Di kampung pemukiman penduduk transmigrasi Jawa di Sumatera itu, kedatangan bulan Ramadhan disambut dengan berbagai tradisi turun-temurun. Namun, karena saat ini pandemi Corona masih merajalela, berbagai ritus tersebut membutuhkan adaptasi dengan situasi dan kondisi.
Ibu saya mengabarkan bahwa kurang lebih sebulan yang lalu segala aktivitas kumpul-kumpul keagamaan seperti Yasinan, Limolasan, Sewelasan dan berbagai pengajian rutinan sudah diliburkan sementara sampai waktu yang belum ditentukan. Peliburan itu merupakan respon atas situasi pandemi Corona yang resonansi kekhawatirannya menggema sampai di kampung saya itu.
Kabar gembira itu tentu saja membuat saya lebih tenang, berarti bapak-ibu beserta para tetangga telah siap siaga dalam menghadapi pandemi Corona ini. Terlebih lagi, kisaran semingguan yang lalu saya mendapat kabar dari postingan Facebook kawan di rumah bahwa sudah mulai ada edaran dari pemerintah desa yang mewajibkan setiap rumah memiliki tempat cuci tangan dengan sabun.
Berbagai tindakan adaptif dari masyarakat di kampung tersebut merupakan sebuah angin segar. Sebab, di masa pandemi ini masih banyak dari sebagian kaum Muslim perkotaan yang rupanya malah menyepelekan virus Corona dan menjustifikasinya dengan dalil-dalil. Kontras dari sikap-sikap itu, kaum muslim di kampung yang tak jarang dicap jumud dan kolot itu, malah menampakkan dinamisasi dan adaptifnya dengan situasi pandemi ini.
Kabar gembira itu tak cukup di situ saja. Kesigapan dan adaptif terhadap situasi pandemi Corona ini dilanjutkan dalam tradisi prosesi menyambut datangnya bulan Ramadhan. Di kampung saya, menjelang datangnya bulan Ramadhan, memiliki tradisi Megengan. Ini sebuah tradisi Islam tradisionalis yang jika dilacak asal-usulnya dari Jawa, sebuah tempat simbah-simbah kami berasal sebelum transmigrasi.
Tradisi Megengan ini secara terminologis saya kurang tahu persis. Kosa-katanya berasal dari bahasa Jawa. Namun, jika boleh untuk coba-coba sekedar mencari asal-usul katanya, sepertinya berasal dari kata Ageng yang berarti “besar” atau “agung”. Bisa jadi yang dimaksudkan dengan tradisi Megengan adalah tradisi untuk mengagungkan datangnya bulan Ramadhan.
Untuk melaksanakan tradisi Megengan ini, biasanya sebuah keluarga mengundang sejumlah tetangga untuk datang ke rumah untuk mendoakan leluhur keluarga yang telah wafat. Tradisi ini mirip dengan Kenduri atau Selametan yang mungkin lebih familiar dipahami. Barangkali, sedikit yang menjadikan kekhasan Megengan adalah ia dilaksanakan pada saat menjelang bulan Ramadhan dan dilaksanakan pada sore hari, bukan malam.
Para tetangga yang hadir ke rumah tersbut diajak berdoa bersama. Pada momen kirim doa untuk leluhur itu adapun bacaannya adalah tahlil yang dipimpin oleh kiai yang ada di lingkungan kami dan para jama’ahnya mengikuti sang kiai. Kemudian, setelah pembacaan tahlil dan doa selesai, diakhiri dengan membagi-bagikan sebuah berkat (semacam nasi kotak khas Muslim Jawa).
Tradisi Megengan yang mengharuskan kumpul-kumpul ini menjadi serba sulit di masa pandemi yang haram hukumnya untuk berkerumun ini. Namun, rupanya kaum muslim di kampung telah sigap dan beradaptasi dengan kondisi pandemi ini.
Megengan kali ini tidak lagi mengundang tetangga untuk kumpul-kumpul doa bersama. Menurut cerita dari Ibu di rumah, ritual kumpul-kumpul untuk berdoa disiasati dengan doa mandiri sekeluarga saja. Siasat tersebut nampaknya tak jadi masalah, selama niatnya baik, pasti hasilnya tak jauh-jauh dari ketulusan niat tersebut. Lagi pula, lantunan doa barangkali akan menggema bersama dari tetangga setelah berkat diantarkan kepada mereka.
Adaptasi tradisi menyambut datangnya bulan Ramadhan tersebut mulanya dilakukan oleh satu dua keluarga dan kemudian menyebar ke seantero kampung. Semua warga kampung saling mereplikasi siasat tersebut. Meskipun di masa pandemi, tradisi tersebut tak boleh ditinggalkan. Sebab, makna untuk mengirimkan doa kepada leluhur itu besar maknanya bagi kaum Muslim di kampung.
Ada sebuah kepercayaan bahwa anak cucu yang masih hidup harus senantiasa tak melupakan leluhur dan salah satu caranya adalah dengan berkirim doa. Terdapat keyakinan kuat bahwa anak cucu merupakan sebuah amal Jariyah bagi orang tua yang sudah meninggal dunia. Sebab, anak cucu yang saleh bakal terus berkirim doa kepada mereka yang sudah kembali ke hariban Allah Swt.
Maka dari itu, tradisi Megengan bagi kaum Muslim di kampung wajib hukumnya, meski dalam suasana pandemi. Kemudian, karena karakter kaum Muslim di kampung saya yang kuat kultur pesantren Jawanya yang terbiasa luwes menjadikannya mudah adaptif dengan kondisi yang sedang terjadi.
Oleh karena itu, tradisi kirim leluhur itu disiasati dengan mekanisme yang meminimalisasi pertemuan dengan banyak orang. Selama substansinya dapat tercapai, apapun caranya tak menjadi soal. Wallahua’lam.
BACA JUGA Pandemi di Bulan Suci Atau Artikel-artikel Menarik Lainnya di Sini