Kata “maksiat” (ma’shiyah) selalu berkonotasi negatif, sehingga maksiat layak dilaknat dan diberantas. Memberantas dan memerangi kemaksiatan adalah suatu kebajikan yang besar pahalanya. Itu betul dan semua pasti sepakat. Tetapi, sebenarnya perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan maksiat?
Katakanlah, maksiat adalah tindakan-tindakan yang melanggar aturan agama, masih muncul pertanyaan: tindakan-tindakan yang melanggar agama itu seperti apa? Memulai pencaian jawaban dari pertanyaan ini, penting kita melihat bagaimana kata “ma’shiyah” hadir dalam al-Qur’an. Setidaknya, ini dapat membantu meraba-raba sosok “ma;shiyah” itu sendiri.
Dalam al-Qur’an, kata “ma’shiyyat” disebut dua kali. Yakni dalam al-Mujadilah (58): 8 dan 9. Di situ, kata “ma’shiyyah” disandingkan dengan kata “itsm” (dosa) dan “‘udwân” (permusuhan), sebaliknya dipertentangkan dengan kata “birr” (kebajikan) dan “taqwa“. Dalam al-Syu’arâ (26): 216, disebut kata “‘ashauka” (mendurhakai Rasulullah), sebagai oposisi dari kata “ittaba’a” (mengikuti Rasulullah) yang disitir pada ayat sebelumnya. “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah: ‘Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu lakukan’.” (QS 26: 216-217).
Dalam surah Nûh (71): 21, kata “durhaka” (‘ashâ) dipararelkan dengan perbuatan mengikuti kesesatan, juga dikaitkan dengan ulah “tipu daya”. “Nuh berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku, dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya kecuali kerugian belakan, dan mereka melakukan tipu daya yang amat besar‘.” (QS. 71: 21-22).
Begitu pula, dalam Ibrahim (14): 36, kata “ashâ” dilawankan dengan kata “ittaba’a“. Dan hampir seluruh ayat yang menghadirkan kata-kata ashâ, baik dalam bentuk kata kerja maupun dalam bentuk infinitif, pengertiannya selalu beroposisi dengan kata “ittaba’a“. “Maka barang siapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barang siapa mendurhakaiku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 14: 36).
Kiranya jelas, kata “ma’shiyah” digunakan lagi untuk menunjukkan pengertian “tidak patuh”, “menyeleweng”, “membangkang” dan semacamnya, kepada Allah dan.atau rasul-rasul-Nya. Lantas, apa bentuk-bentuk ketidakpatuhan dan pembangkangan terhadap Allah dan/atau rasul-rasul-Nya tersebut?
Ketika berbicara soal ketidakpatuhan, berarti kita berbicara soal tugas dan tanggung jawab. Tidak patuh kepada Allah itu bermakna mengabaikan tugas dan tanggung jawab yang tela dilimpahkan. Sementara, sejak awal diciptakannya manusia, Allah telah menetapkan manusia sebagai penjaga dan pewaris bumi (khalifah fi al-ardh).
Jadi, tugas dan tanggung jawab kita adalah memlihara keseimbangan bumi dalam makna seluas-luasnya. Artinya, bukan saja kita diamanati untuk selalu peka terhadap upaya-upaya penggerogotan keseimbangan ekologis, namun juga diwajibkan untuk mengatasi kesenjangan dan ketidakadilan dalam realitas masyarakat. Bahkan, tugas ini meniscayakan bahwa manusia harus selalu waspada terhadap segala gelagat yang mengarah pada kekacauan dan ketidakseimbangan.
Jika tidak waspada, bisa jadi tindakan yang semula diniatkan untuk meluruskan ketidakpatuhan justru berakibat pada ketidakpatuhan atau malah kesewenang-wenangan yang lebih besar lagi. Ini tentu sangat tidak kita harapkan.
Nah, dalam kehidupan di bumi tersebut, kata “ma’shiyyah” memiliki makna yang sangat jelas, yaitu tindakan-tindakan yang dapat mengakibatkan kerusakan dan kehancuran (al-fasâd-u fi ‘l-ardh). Tentu saja, bentuknya macam-macam.
Rasulullah pernah menyebutkan 7 kategori besar yang merusak (al-sab’u ‘l-mubîqât). Tapi ketika al-Dzahabi menghimpun ayat-ayat dan hadits-hadits yang berhubungan dengan tindakan dosa dalam al-Kabâir-nya, ia mencatat 70 dosa besar. Ini menandakan bahwa bentuk-bentuk maksiat bisa beragam dan berkembang seiring perkembangan sejarah. Sekarang tinggal sejauh mana kecermatan dan kejelian kita melihat bentuk-bentuk kemaksiatan.
Memang, dalam al-Qur’an dan al-hadits banyak diketemukan contoh-contoh yang menunjukkan hancurnya suatu kaum akibat perbuatan-perbuatan tertentu. Tetapi, kisah-kisah itu tidak selalu dapat dipadankan dengan realitas-realitas yang kini kita hadapi. Al-Qur’an dan hadits dapat disebut sebagai kompas penunjuk arah. Al-Qur’an dan al-Hadits menetapkan prinsip-prinsip dasar, tapi tidak membakukan satu tindakan praktis yang final. Sebab, manusia juga telah dikarunia akal yang dapat menjabarkan prinsip-prinsip tersebut ke dalam kehidupannya.
Dan seperti telah dikatakan tadi, maksiat itu memiliki banyak wujud, tergantung di mana ia beroperasi. Di wilayah politik misalnya, maksiat menjelma dalam bentuk pengekangan kebebasan berpikir, berkspresi, berserikat dan berkumpul, di samping juga meraga dalam praktik-praktik korupsi, rekayasa konstitusi, manipulasi simbol-simbol identitas untuk komoditas politik, dan sebagainya.
Di wilayah hukum, wajah maksiat tampak dalam praktik suap, diskriminasi hukum, perlindungan terhadap para bandit, penghilangan barang bukti, kesaksian palsu. Sedangkan di level ekonomi, sosok maksiat dapat dilihat dalam praktik-praktik monopoli, pemerasan tenaga kaum buruh, eksploitasi TKW, dan seterusnya. Dalam ranah sosial, kemaksiatan bisa berbentuk diskriminasi status sosial, agama, gender, stnis, dan bentuk-bentuk pengucilan lainnya.
Ringkasnyam maksiat itu selalu identik dengan ketidakseimbangan (sistem), ketidakadilan, kesewenang-wenangan. Semua itu merupakan buah dari “pembangkangan” (‘ashâ) dan “pengingkaran” manusia terhadap tugas dan tanggung jawabnya sebagai penjaga alam. Padahal, yang merasakan akibat dari kelalaian memenuhi tanggung jawab itu manusia-manusia juaga. Lihat saja, krisis dekadensi moral, kemiskinan, itu semua merupakan problema kemanusiaan.
Artinya di sini berlaku semacam hukum “dari manusia untuk manusia”. Tindakan apapun yang dilakukan oleh manusia, secara individual pun, selalu memiliki akses sosial. Karena bagaimanapun, tindakan seorang manusia selalu berada dalam rangkaian manusia-manusia lainnya, selalu berada dalam dunia semesat, tidak di luarnya. Dengan demikian, sangat tepat jika “ma’shiyah” dimengerti sebagai upaya menciptakan ketimpangan dan akhirnya kehancuran. Sehingga yang diperlukan di sini adalah keadilan (sosial) dan keseimbangan (alam). Dan tugas kita adalah mengupayakan bagaimana keadilan dan keseimbangan itu dapat berfungsi menggantikan kesewenang-wenangan dan ketimpangan.