Pada masa kanak-kanak di pertengahan 1980an, saya mendengar orang-orang tua berbicara tentang sebuah penyakit yang sangat mengerikan. Mereka menyebutnya ta’on. Sebuah penyakit misterius yang mereka gambarkan sebagai sosok tanpa wujud dan datang kepada orang-orang di malam hari.
“Ingat, mereka akan datang kepada kalian pada malam hari. Kalau terdengar seseorang mengucapkan salam, malam-malam, jangan kalian jawab. Jika tidak, kalian akan mati esok harinya!” Begitu kata orang-orang tua kepada anak-anaknya.
Beranjak dewasa, saya mulai berpikir bahwa kengerian yang mereka bicarakan dulu mungkin adalah wabah, yang dalam Bahasa Arab disebut thā’ūn. Merujuk pada kamus dan hadis-hadis Nabi, wabah thā’ūn digambarkan sebagai penyakit yang menimpa manusia, merusak badan, dan bisa menular dari satu orang ke orang yang lain. Sebagian teks mengatakan, wabah seperti ini diturunkan oleh Allah kepada manusia sebagai ujian atau cobaan. Sebuah hadis lain mengatakan, “Jika kalian mendengar wabah itu menimpa sebuah negeri, maka janganlah kalian mendatanginya. Dan jika wabah itu menimpa (negeri) kalian, maka janganlah kalian keluar.”
Hingga saat ini saya tidak tahu betul wabah apa yang dimaksud orang-orang tua kami sebagai ta’on pada masa itu: mungkinkah ebola ataukah kolera? Yang masih jelas saya ingat adalah bagaimana cara mereka menghadapi dan menangkalnya.
Kita tahu, pada masa 1980an teknologi medis belumlah memadai dan pengetahuan warga terhadap wabah belumlah cukup. Orang-orang tua di kampung berkumpul pada malam hari untuk kemudian melakukan doa keliling. Mereka membawa obor dan membaca doa-doa mengitari kampung. Mereka memagari kampung kami dengan kekuatan doa, memohon kepada Yang Maha Kuasa keselamatan dan keterlepasan dari wabah.
Selain itu, mereka punya cara unik untuk menjaga keselamatan anak-anak dari wabah. Misalnya, dengan cara memakaikan gelang terbuat dari akar-akar rumput tertentu dan pohon pisang di lengan anak-anak kecil. Jangan tanya sejenis rumput apa, saya sudah lupa. Tapi masih jelas dalam ingatan saya, anak-anak kecil di kampung kami banyak memakai gelang itu dan dengan riang mencari akar-akar rumput itu bersama-sama. Bukan semata sebagai penangkal wabah, tapi juga sebagai bahan mainan. (Anak-anak memang tidak bisa diajak memahami kengerian. Mereka bahkan menjadikan wabah sebagai bahan canda dan permainanan).
Itulah kearifan lokal. Masyarakat tradisional memiliki cara sendiri menghadapi serangan wabah. Berdasar keyakinan dan pengetahuan pada masanya. Pertanyaannya: apakah cara seperti itu bisa digunakan untuk menangkal penyebaran virus corona?
Beberapa kampung di Madura berupaya menghidupkan kembali ritual doa ta’on di atas. Orang-orang berkumpul, berkeliling kampung, membawa obor dan membaca doa-doa pengusir ta’on. Tapi apa yang terjadi? Mereka dihimbau untuk membubarkan diri, tidak melakukan perkumpulan dalam jumlah banyak, mematuhi physical distancing, dan berdoa dari rumah masing-masing. Kenapa demikian? Karena teknologi medis modern menjelaskan bahwa penyebaran wabah corona terjadi sangat cepat, terutama melalui kerumunan massa dan pertemuan fisik.
Dulu, ketika musim kemarau panjang melanda, masyarakat Madura mengadakan pentas Okol sebagai ritual mendatangkan hujan. Okol adalah olahraga sejenis gulat. Biasanya, turnamen ini diadakan di lapangan terbuka dengan membuat arena semacam ring tinju di tengah-tengahnya. Kearifan lokal seperti ini sempat lama menghilang, hingga beberapa tahun belakangan muncul lagi ketika kemarau panjang melanda. Perbedaannya, jika dulu yang hadir adalah para penonton dan para petarung, kini hadir juga kameramen dan para pencari berita yang melihat okol sebagai bagian dari kekayaan wisata. Perbedaan waktu bisa mengubah dan memunculkan cara pandang yang berbeda.
Himbauan dan pendekatan medis modern, tentu saja, harus kita ikuti untuk menangkal penyebaran corona. Tapi cara-cara tradisional yang dilakukan beberapa orang sebagai sebuah pendekatan dan sebuah upaya menghadapi wabah tidak selamanya harus ditinggalkan. Akan sangat baik jika keduanya bisa dijalankan bersisian dan saling menguatkan.
Sekedar memberikan ilustrasi, misalnya, ketika himbaun untuk tidak melakukan salat berjamaah di masjid muncul, berbagai reaksi juga muncul. Pro dan kontra. Di satu sisi masyarakat diminta untuk melakukan physical distancing, di sisi lain salat berjamaah juga merupakan anjuran kebaikan dari agama. Bagaimana cara memadukannya? Sebagian masjid kemudian mengatur ulang shaf: menata jarak minimal satu meter antar jemaah, mengharuskan cuci tangan sebelum masuk, dan memeriksa suhu badan di pintu masuk. Dengan cara ini, orang tetap merasa aman pergi ke masjid, melaksanakan salat berjamaah, sekaligus tetap bisa mematuhi rambu-rambu medis modern.
Di Ambunten, Sumenep, sekelompok warga melakukan aktivitas minum jamu lebih sering untuk menangkal corona. Cara mereka untuk memperkuat imunitas tubuh. Di Wonogiri, sebagian orang melakukan upaya membentengi diri dari corona dengan cara membeli jimat. Mengokohkan keyakinan diri di tengah situasi sulit.
Saya yakin, masih ada lebih banyak lagi ragam pendekatan kearifan lokal yang dilakukan masyarakat sebagai upaya menangkal corona. Selama pendekatan itu bisa saling menguatkan dan mengokohkan, tidak ada buruknya untuk saling menghargai. Bukan mencibir dan merendahkan yang lain, menganggap pendekatan tertentu sebagai satu-satunya cara.
Baca juga Menyikapi Wabah, Pemimpin Bisa Belajar dari Budaya Kita