Libur membuat banyak orang tua bingung. Sebab biasanya mereka memasrahkan segalanya pada sekolah. Pasrah bongkokan, termasuk pelajaran agama. Namun untuk beberapa waktu ke depan, mereka harus bersama sang anak selama 24 jam sehari. Enak toh? Sebenarnya tak ada yang salah dengan mengirim anak ke sekolah. Yang perlu menjadi kesadaran bersama adalah, sekolah tidak diisi oleh malaikat yang serba bisa. Ada sisi-sisi di mana sekolah, sebenarnya tak mampu mengakomodir keinginan siswa dan orang tua.
Selalu ada kisah-kesah para orang tua yang disampaikan pada pihak sekolah. Kadang tak cukup dibicarakan empat mata. Jika kasusnya sudah parah, orang tua tak sungkan mengajak media massa. Sekolah hampir selalu menjadi pihak yang tersalahkan. Tak mau terus disalahkan, akhirnya sekolah memaksakan diri untuk memberikan segalanya pada anak; intelektual, moral, agama hingga janji masa depan.
Pada praktiknya, untuk melaksakan tugas agung itu, yang terjadi adalah membuat relasi yang timpang dengan cara pembungkaman pada satu pihak. Misalnya saja, untuk membuat tugas membuat murid berakhlaqul karimah, semua siswi yang Muslim diwajibkan untuk berjilbab. Tidak soal jika aturan itu terjadi di sekolah agama atau dengan otonomi khusus. Seringkali ditemukan, kasus ini terjadi di sekolah umum.
Sebagai guru yang sering berinteraksi dengan banyak jenis orang tua, saya beberapa kali mendapatkan cerita tentang praktek pemaksaan paham oleh pihak sekolah. Sekolah tempat saya bekerja sendiri tak memakai mata pelajaran, termasuk agama, sehingga saya dapat cerita ini dari orang tua atau anak yang dirinya atau sanaknya bersekolah di sekolah umum.
Ada cerita dimana salah satu alumni sekolah kami melanjutkan sekolahnya di sekolah formal. Sekolahnya memang tak mewajibkan memakai jilbab, tapi pihak sekolah beralasan kalau dalam pelajaran PAI, wajib hukumnya memakai jilbab. Ia yang tak mau repot, juga tak mau menjadi mahluk asing di kelas, akhirnya mengenakannya saban hari di sekolah, meski ketika pulang ia langsung mencopot jilbabnya. Ia memakai jilbab lebih pada takut dengan sanksi, baik formal maupun sosial. Mewajibkan penggunan jilbab di sekolah adalah anjuran paling halus yang dimiliki oleh kebanyakan sistem sekolah negeri yang saya tahu.
Dalam cerita yang lain, Ada anak teman saya yang harus pindah sekolah karena dipaksa memakai jilbab. Kepala sekolahnya berargumen bahwa jilbab adalah indikator kesalehan. Jika kita lihat berita, ada juga yang sampai melakukan aksi teror kepada siswa yang tidak mengenakan jilbab agar mengenakan jilbab.
Aturan memakai jilbab di Indonesia memang kerap berubah. Selalu berkaitan dengan situasi politik negara. Dulu pada zaman Orde Baru, ada pelarangan memakai jilbab yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui SK 052 pada tahun 1982 yang mengatur bentuk dan penggunaan seragam sekolah di sekolah negeri. SK ini memicu pelarangan pengenaan jilbab di kalangan pelajar sekolah negeri. Bagi yang melanggar, ancamannya adalah dikeluarkan. Sekarang ada pewajiban memakai jilbab. Bagi saya, keduanya sama bahayanya. Yang satu dianggap sekularisasi, yang satu dianggap islamisasi. Mereka dipertemukan oleh satu benang merah: intervensi wilayah privat dalam ruang publik.
Dalam kasus yang lain, gara-gara ada pelajaran agama di sekolah negeri ini, banyak anak-anak penganut agama lokal, tidak mendapatkan haknya untuk mengakses Pendidikan kepercayaan. Salah-salah, mereka malah harus ikut pendidikan/pendoktrinan agama Islam sebagai agama yang dianut mayoritas murid. Di tambah lagi, dengan dibeda-bedakannya pelajaran berdasarkan agama, semakin memperjelas saja mana yang jumlah penganutnya banyak dan mana yang jumlahnya sedikit. Kalau di jawa ya Islam, kalau di Bali ya Hindu, kalau di Indonesia Timur ya Kristen. Bisa berbeda tiap daerahnya. Perbedaan jumlah berdasar populasi mayoritas-minoritas ini secara tidak langsung mempengaruhi psikologi anak.
Ada cerita menarik dari salah satu murid saya yang dahulu mengenyam pendidikan SMP Negeri di Bali. Dia seorang perempuan dan aktif sekali berorganisasi. Ketika ada pemilihan ketua OSIS, Ia maju dan terpilih. Namun, oleh pihak sekolahan, kemenangannya ini dianulir. Seperti yang anda duga, murid saya ini beragama Islam, sedang mayoritas siswa-siswi, guru dan staff di sekolah tersebut beragama Hindu. Jadi, sebenarnya yang bisa melakukan diskriminasi itu tidak cuma Islam, agama lain pun bisa. Tergantung siapa yang merasa dirinya mayoritas.
Kalau kita tilik sejarah, diskusi tentang penting tidaknya pelajajaran Agama di Sekolah umum ternyata sudah menjadi perbincangan, bahkan ketika negara ini baru berdiri. Ki Hadjar Dewantara, Dalam Kongres Taman Siswa pada Oktober 1949, sebagaimana didokumentasikan dalam buku Pendidikan, mengatakan bahwa dirinya tidak sepakat memasukkan Agama dalam pengajaran di Sekolah. Dengan tegas ia mengatakan bahwa “Mulai dulu hingga saat berlangsungnya kongres kita ini, sudah nyata soal pengajaran agama di dalam sekolah itu terbuki adalah suatu soal yang tidak perlu dipersatukan”.
Urusan agama atau kebatinan menjadi urusan dan kepentingan keluarga, sebagaimana tulis Ki Hadjar dalam Pendidikan, bahwa “kepentingan keluarga sebagai pusat pendidikan tidak hanya disebabkan karena adanya kesempatan yang sebaik-baiknya untuk mengadakan pendidikan individual dan sosial, akan tetapi juga karena bapak ibu dapat menanam segala benih kebatinan yang sesuai dengan kebatinannya sendiri, didalam jiwanya anak.”
Baca juga: Ki Hadjar Dewantara: Kecil, Berperut Buncit, namun Berwawasan Luas
Saya kira pendapat ini masih relevan dengan keadaan sekarang, melihat bahwa kondisi sekolah kita yang belum bisa memfasilitasi keimanan si anak. Untuk yang sesama agama Islam saja, hampir tidak ada sekolah yang mampu menyedikan guru Pendidikan agama Islam yang sesuai dengan aliran Islam si anak. Apakah ada guru Pendidikan Agama sekolah yang menyediakan guru beraliran Syiah atau Ahmadiyah? Lha wong yang NU saja kadang dipaksa menerima ajaran dari gurunya yang Wahabi. Perlu disadari bahwa latar belakang keimanan murid bisa jadi berbeda-beda.
Lebih mendingan jika pelajaran agama lebih ditekankan pada kepada nilai-nilainya, bukan pada bentuk formalnya. Dalam bahasa Y.B. Mangunwijaya, hal ini disebut dengan Religiositas. Religiositas ini, Menurut Y.B. Mangunwijaya dalam bukunya Menumbuhkan Sikap Religius Anak-Anak, “lebih melihat aspek yang “di dalam lubuk hati”, sikap personal, dan kedalaman si pribadi manusia. Dan karena itu, pada dasarnya religiositas lebih dalam dari agama yang tampak, formal dan resmi”.
Sehingga, jika kita mau mengambil tindakan tegas, sudahi saja pelajaran agama dari kurikulum sekolah. Urusan bekal-membekali teori dan praktik beragama, biarlah orang tua yang menentukan. Jika bisa diajari sendiri, bagus. Jika merasa tidak sanggup, biarlah menghubungi Madrasah Diniyah/Sekolah Minggu terdekat. Dengan begitu, ontran-ontran posisi madrasah diniyah dalam percaturan Pendidikan Indonesia tak akan lagi semrawut. Masing-masing mendapatkan porsinya yang pas. Ini untuk sekolah umum negeri lho, bukan sekolah agama negeri apalagi yang swasta dan didirikan untuk tujuan tertentu seperti pesantren atau seminari. [rf]