Benar bahwa tajamnya pedang tak setajam lidah. Jika pedang melukai tubuh masih ada harapan sembuh. Namun jika lidah melukai hati, kemanakah obat hendak dicari? Jika pedang yang melukai, mudah luka diobati. Namun kalau lidah yang melukai, maka bisa hancur satu negeri.
Ungkapan-ungkapan di atas atau yang senada, sepertinya cocok untuk menggambarkan “fenomena fiksi”. Term “fiksi” tiba-tiba mendadak ngartis dan sangat familiar di telinga kita.
Baru-baru ini jagad maya dihebokan dengan statemen Rocky Gerung yang menyatakan bahwa; Kitab suci adalah fiksi. Statemen yang cukup singkat, padat, dan sangat menyayat telinga setiap orang beragama.
Meskipun statemen tersebut tidak menunjuk langsung pada kitab suci agama tertentu, tetapi jelas kalau statemen tersebut sangat kontroversial. Dengan dalih apapun, statemen tersebut telah menusuk bagian yang sangat sensitif bagi setiap agama yang ada. Ungkapan tersebut jelas melukai hati setiap insan beragama. Terlebih di saat umat beragama di Indonesia sedang dalam ujian serius menghadapi persoalan ‘sensitifitas beragama’.
Rasulullah SAW dalam banyak hadis menegaskan agar seseorang menjaga mulut (lisan) dari perkataan-perkataan yang tidak baik. Hadis-hadis tersebut beberapa di antara yaitu;
Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik, atau (kalau tidak dapat berkata yang baik) hendaklah ia diam saja”. (Muttafaq ‘Alaih).
“Cegahlah mulut kalian dari ucapan yang menyakitkan kaum muslimin” (HR. Ath-Tahabrani).
Statemen Rocky Gerung tersebut, hemat penulis hanya berdasar pada sensasi dan imajinasi pengucapnya belaka. Ungkapan tersebut jauh dari kata benar dan bijak. Ungkapan bahwa kitab suci adalah fiksi, sangat berbahaya bagi akidah/keyakinan seorang mukmin.
Bagaimana tidak? Jika kitab suci (Al-Quran) yang notabenenya adalah firman Tuhan (Kalamullah) adalah fiksi, berarti Tuhan bisa jadi fiksi. Seorang mukmin mengimani bahwa Al-Quran adalah kalamullah (firman Allah) yang qodim. Al-Quran adalah kalamullah yang tidak mungkin dipisahkan dari Dzat-Nya, sesuatu yang bersumber dari Dzat-Nya maka bersifat qodim. (lihat Qathru Al-Ghaits, halaman 15).
Sebagai seorang mukmin wajib berkeyakinan bahwa kalamullah itu disucikan dari sifat huduts (baru). Menurut pandangan Ahlussunnah, Al-Quran yang berarti kalam nafsi itu bukan makhluk. Adapun Al-Quran yang berarti lafadz yang kita baca itu makhluk. Walaupun yang kita maksud dengan Al-Quran adalah lafadz yang kita baca, di luar kepentingan pembelajaran, tidak boleh kita mengatakan, “Al-Quran itu makhluk karena dapat menimbulkan kesalahpahaman.” (Jauharatu Al-Tauhid, halaman 40-41).
Statemen “Kitab suci adalah fiksi” merupakan sebuah ungkapan yang dapat menghilangkan kesakralan kitab suci yang diimani dan dipedomani pemeluknya. Ungkapan semacam ini, seharusnya tidak terucap, terlebih oleh orang terpelajar. Alih-alih untuk mendinginkan dan menjaga kondusifitas umat beragama sebagai tugas insan akademik, Rocky Gerung justru memperlebar jurang konflik horizontal antar umat beragama.
Kondisi yang demikian ini, tentu menjadi ancaman serius bagi kesatuan bangsa Indonesia yang majemuk. Pada saat tugas berat komponen bangsa menyemai kebhinnekaan yang kian hari semakin pudar, justru pada saat yang bersamaan Rocky Gerung menambah beban berat bangsa ini dengan statemen konyolnya yang berpotensi besar memicu keretakan hubungan horizontal.
Meskipun demikian, kejadian semacam ini tidak menutup kemungkinan akan terulang kembali di kemudian hari. Oleh karenanya perlu tindakan antisipasi agar hal-hal serupa dapat diminimalisasi ke depannya. Perlunya semua komponen bangsa menggunakan berbagai pendekatan untuk menanggapi satu persoalan agar tidak terjebak hanya pada pendekatan hukum semata.
Wallahu A’lam