Klasifikasi Tauhid ala Ibnu Taymiyyah dan Implikasinya bagi Kekerasan Berwajah Agama

Klasifikasi Tauhid ala Ibnu Taymiyyah dan Implikasinya bagi Kekerasan Berwajah Agama

Kekerasan berbasis agama kerap memakai konsep tawhid Ibnu Taimiyah

Klasifikasi Tauhid ala Ibnu Taymiyyah dan Implikasinya bagi Kekerasan Berwajah Agama

Mengesakan Allah merupakan pondasi paling dasar bagi dakwah para nabi di sepanjang sejarah. Tauhid menjadi ajaran utama para nabi dari berbagai agama dan Islam tidak lebih dari kelanjutan ajaran tauhid yang digaungkan para nabi ini.

Inti ajaran Islam terletak pada pengakuan bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan menolak segala sekutu yang dilekatkan kepada-Nya. Menariknya, di samping sering dijadikan sebagai basis legitimasi bagi pengkafiran sesame muslim oleh sekte Islam tertentu, tauhid dalam Islam cukup diucapkan melalui lisan saja.

Orang yang sudah mengucapkan syahadat akan mendapat perlindungan sepenuhnya dari Islam: Jiwanya tidak boleh dibunuh, hartanya tidak boleh dirampas dan seterusnya. Meski seorang tersebut hanya berpura-pura syahadat, yakni hanya mengucapkan melalui lisan dan tidak menegaskannya dalam hati,  ia tetap dikategorikan sebagai muslim.

Dalam suatu riwayat dari Abi Abdillah dikatakan bahwa: Islam itu pengakuan mengenai tidak ada Tuhan selain Allah…dengan pengakuan ini, darahnya tidak boleh dikucurkan dan ia berhak mendapat hak-hak nikah dan waris. Dengan pengakuan ini pula, ia tergolong sebagai jamaah muslim.

Sampai di sini, tauhid bisa dilihat sebagai sekedar hak untuk melanjutkan hidup dengan berbagai macam bentuk dan manifestasinya. Atas dasar ini, ketika ingin memahami tauhid, kita harus membasiskan diri pada konsep umum ini, yakni penjaminan hak untuk hidup.

Atas dasar ini, tentunya konsep tauhid yang digunakan oleh kelompok tertentu untuk mengeliminasi orang lain atau bahkan dijadikan basis bagi kekerasan sangatlah tidak mendasar. Bagi kalangan ekstremis, tauhid itu harus berbentuk tauhid ucapan dan tauhid amalan. Tauhid ucapan terejawantahkan dalam surat al-Ikhlas dan tauhid amalan terejawantahkan dalam surat al-Kafirun. Demikian mereka kutip pandangan ini dari Ibnu Taymiyyah.

Ibnu Taymiyyah, menurut pandangan yang disandarkan kepadanya, berpandangan bahwa tauhid itu tidak sekedar mengakui secara lisan. Tauhid harus memiliki manifestasi lahirnya dalam bentuk ibadah yang Ibnu Taymiyyah istilahkan dengan sebutan tauhid uluhiyyah. Tauhid uluhiyyah ini dapat disandingkan lagi dengan pengakuan bahwa Allah itu maha esa, maha pencipta dan maha mengatur yang dalam istilah Ibnu Taymiyyah disebut sebagai tauhid rububiyyah.

Berbasis pada pemahamannya terhadap ayat-ayat al-Quran, Ibnu Taymiyyah berpandangan bahwa tauhid yang merupakan standar pemisah antara mengesakan Tuhan atau tidak ialah tauhid dalam pengertian ibadah ini, yakni tauhid uluhiyyah. Bagi Ibnu Taymiyyah, orang-orang kafir Quraisy sebenarnya menegaskan tauhid rububiyyah ini tapi jelas tauhid yang hanya pada tataran rububiyyah ini keliru dalam pandangannya.

Atas dasar ini, pengikut Ibnu Taymiyyah yang menjadi leluhur wahabi, Muhammad bin Abdul Wahhab pernah mengatakan bahwa: “tauhid itu harus dengan hati dan lisan dan amalan. Jika salah satunya tidak terpenuhi, seseorang tidak layak disebut muslim”. Jelas pandangan seperti ini sangat mudah untuk dijadikan legitimasi mengkafirkan sesame muslim.

baca juga: meluruskan amar maruf nahi mungkar

Karena itu, para pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab yang tidak kritis dan tidak berpikir panjang ini akan segera menguji keyakinan umat Islam yang mereka temui lalu jika mereka menemukan kekeliruan dalam akidahnya, lantas umat Islam ini layak dibunuh karena mereka sebenarnya dalam pandangan oknum wahabi ialah non-muslim. Kita bisa melihat detil penjelasan ini dalam kitab ad-Durar as-Saniyyah. Kita dapat temukan dalam ad-Durar as-Saniyyah bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab mengkafirkan banyak praktek peribadatan yang dilakukan umat Islam. Dan atas dasar ini pula, kelak para penganut Wahabi (kita sebut saja oknum) menjadikan ajarannya  ini sebagai basis bagi penumpahan darah umat Islam.

Tentu sangat popular klasifikasi tauhid menjadi tauhid rububiyyah dan tauhid uluhiyyah di kalangan akidah salafiyyah yang mendapat inspirasinya dari Ibnu Taymiyyah. Bagi mereka tauhid rububiyyah ialah mengesakan Allah dalam af’al-Nya seperti menciptakan, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan dan seterusnya. Sedangkan tauhid uluhiyyah ialah mengesakan Allah dalam hal penyembahan seperti dalam shalat, puasa, haji, zakat, nazar, menyembelih hewan dan seterusnya.

Ibnu Taymiyyah dalam kitab al-Istiqamah mengatakan bahw:  “tauhid yang menjadi dasar bagi diutusnyanya para rasul dan diturunkannya kitab suci ialah tauhid yang menyerukan keyakinan bahwa hanya Allah saja yang disembah, dan ini namanya tauhid uluhiyyah. Tauhid uluhiyyah mengandung makna tauhid rububiyyyah, yakni bahwa Allah itu pemelihara alam semesta. Tauhid rububiyyah hanya sebatas pada kesaksian mengenai pemeliharaan Tuhan terhadap segala sesuatu. Tauhid jenis ini diyakini juga oleh kaum musyrik sebagaimana Allah berfirman: “Orang-orang musyrik itu percaya akan  Allah namun mereka menyekutukannya dengan selain-Nya.”

Ketika mengkritik pandangan kaum filosof, Ibnu Taymiyyah dalam kitab Minhaj as-Sunnah juga menyinggung pembagian tauhid ini: “Mereka telah keluar dari kebenaran yang menjadi titik temu antara mereka dan selain mereka. Mereka malah tenggelam dalam bidah-bidah serta mengeluarkan beberapa bagian dari konsep tauhid seperti tauhid uluhiyyah dan tauhid asma dan sifat. Tauhid yang mereka kenal hanyalah tauhid rububiyyah, yakni menyatakan bahwa Allah ialah pencipta sekaligus pemelihara segala sesuatu. Tauhid jenis ini sebenarnya diyakini juga oleh kaum musyrikin.”

Muhammad bin Abdul Wahhab dalam Majmu’ Rasail fi at-Tawhid wal Iman (h. 365-366) mengikuti pandangan Ibnu Taymiyyah ini secara lebih ekstrim lagi. Yang dimaksud ekstrim di sini ialah soal kebolehan membunuh dan memerangi orang-orang yang dianggap sebagai musyrik, yakni mereka yang tidak berpaham tauhid dalam pengertian uluhiyyah. Dalam kitabnya ini, Muhammad bin Abdul Wahhab menegaskan: “kaum kafir yang diperangi, dibunuh, dirampas hartanya dan dihalalkan istrinya ialah kaum kafir yang meyakini tauhid sekedar level rububiyyah ini…jadi tauhid jenis kedua lah yang membuat mereka kafir, halal darah dan hartanya, yaitu tauhid uluhiyyah.”

Sepertinya, klasifikasi tauhid yang menjadi dasar bagi kekerasan ini mulai menunjukkan tajinya dalam tulisan-tulisan Muhammad bin Abdul Wahhab yang membaca Ibnu Taymiyyah secara tidak menyeluruh. Mungkin beliau membaca hanya sekedar memuaskan hasrat ideologi tertentu yang menjadi concern di masanya, yakni banyaknya praktik glorifikasi terhadap tokoh-tokoh sahabat, wali, ulama dan lain-lain. Dan konon di masa itu, suku-suku Arab seperti suku Daus mulai ngalap berkah ke pohon-pohon dan bahkan sampai sering ziarah ke bekas Ka’bah al-Yamaniyyah atau Dzul Khilsah yang bangunanya masih tersisa banyak sejak dihancurkan di masa Nabi oleh Jarir bin Abdillah. Bangunan ini baru benar-benar dihancurkan di era dakwah Wahhabi sejak ekspedisi Raja Abdul Aziz  ke sana.

Kendati model tauhid ala Wahhabi ini sangat radikal, dalam arti  mensakralkan yang seharusnya disakralkan dan mendesakralisasi yang seharunya tidak disakralkan, suatu tauhid murni, namun pencampur baurannya dengan politik telah menjadikan konsep tauhid murni ini memakan banyak korban dari umat Islam sendiri. Ini sangat jauh implikasinya dari konsep tauhid yang sangat-sangat toleran dan menghargai kemanusiaan seperti yang telah disebut di atas.

Sekali lagi, dalam konsep tauhid ala Ibnu Taymiyyah ini tidak ada yang masalah, bahkan genealoginya bisa kita cari jejaknya dalam pandangan Ibnu Jarir at-Tabari dalam kitab Jami al-Bayan. Namun yang menjadi masalah ialah kenyataan bahwa klasifikasi ini mendapat wajah kerasnya di tangan Muhammad bin Abdul Wahhab yang berusaha memurnikan Jazirah Arab dari keyakinan-keyakin syirik dan oleh as-Syanqiti dalam Adwa al-Bayan kemudian klasifikasinya menjadi tiga: tauhid uluhiyyah, tauhid rububiyyah dan tauhid asma wa sifat. Tauhid dengan jenis ini dengan implikasi kekerasan politik tentu melahirkan kekerasan berwajah agama. Sesuatu yang sangat berbahaya.

Tapi meski tidak masalah dengan klasifikasi ini, ada catatan kritis di sana-sini. Kita akan perdalam ini dalam tulisan berikutnya: Kekeliruan Ibnu Taymiyyah dalam Memahami Tawhid Rububiyyah. Allahu A’lam.

 

*Analisis ini kerjasama Islami.co dan Maarif Institute*