Syekh Muhammad Ali Thoha Ad-Durroh dalam tafsirnya menukil pendapat Ibnu Abbas yang menjelaskan bahwa salah satu kepribadian yang menonjol dari kisah Nabi Ayyub AS, di samping kesalehan sosialnya adalah konsistensinya dalam kesabaran dan pertaubatan pada Allah dalam berbagai kondisi.
Oleh karena itu ia diberi nama Ayyub. Gambaran dari seorang spiritualis penyuka taubat. (Syekh Muhammad Ali Toha Ad Durroh, Tafsir al-Quran al-Karim wa i’robuhu wa bayanuhu, Beirut: Dar Ibn Katheer).
Ayyub adalah salah satu Nabi, selain Nabi Sulaiman, yang memiliki harta kekayaan berlimpah ruah. Hiperbolisasi diksi tafsir yang dilakukan oleh Ali Thoha Ad Durroh menggambarkan betapa Ayyub adalah salah miliarder di masanya.
Dalam riwayat yang lain Ibnu Katsir merinci betapa aset yang dimiliki Nabi Ayyub memang teramat banyak. Baik aset bergerak maupun aset tak bergerak, seperti binatang tunggangan, ternak, kebun, tanah dan rumah. Ia juga memiliki istri dan keturunan yang baik.
Ayyub juga seorang penderma. Ad Durroh menjelaskan bahwa Ayyub punya semacam panti asuhan yang menampung anak yatim, orang miskin dan dalam beberapa riwayat juga menampung para Duda. Jadi ia tak hanya kaya raya, lebih dari itu ia adalah seseorang dengan kepedulian sosial yang tinggi.
Pendek kata, Ayyub adalah gambaran life goal sebenar-benarnya. Kaya raya, berkesalehan sosial, penderma dan memiliki keluarga yang lengkap nan bahagia.
Namun hal itu tak berlangsung lama. Gelombang ujian besar datang menimpa. Harta kekayaannya sedikit demi sedikit hilang. Hewan peliharaan mati. Kediamannya terbakar. Bahkan putranya satu per satu meninggal. Dengan sekejap ia collaps. Bangkrut. Semua asetnya hilang. Tak hanya itu Ia bahkan didiagnosa menderita lepra.
Ada penggalan penjelasan menarik dari Ibnu Katsir mengenai ujian penyakit lepra yang diderita oleh Nabi Ayyub. Penggalan mengenai bagaimana Nabi Ayyub menerapkan social distancing yang sepertinya relevan kita jadikan ibrah di masa-masa pandemi global akibat covid-19 saat ini.
Ia menjelaskan bahwasannya Ibnu Hatim meriwayatkan dari Abdullah bin Ubaid bin Umair, yang berkata bahwa Ayyub mempunyai dua orang saudara. Suatu hari keduanya menengok Nabi Ayyub, namun mereka berdua tak berani mendekat. Mereka mengambil jarak dari Nabi Ayyub. Hal tersebut dikarenakan selain baunya yang tak sedap keduanya juga takut tertular penyakitnya.
Salah seorang dari saudaranya berkata; andaikan Allah mengetahui bahwa Ayyub punya kebaikan, niscaya Dia tidak akan mengujinya dengan penyakit ini. Perkataan bernada sinis dari saudaranya tersebut sontak membuatnya begitu terpukul.
Ejekan itulah yang membuat Nabi Ayyub melakukan swakarantina. Ia dengan sukarela menjauh dari lingkungan dan keluarganya. Ia menanggung lepra seorang diri, dan hanya ditemani sang Istri yang bahkan istrinya pun pernah hendak meninggalkannya.
Kehilangan harta benda adalah ujian terberat, namun bagaimanapun beratnya ujian tersebut tak ada ujian yang lebih berat dibanding terpisah dan dijauhi oleh sanak keluarga. Lepra seperti membunuhnya dua kali. Ia menggerogoti seluruh tubunya. Ia pun menjauhkannya dari keluarganya.
Hanya bersabar dan berserah diri yang dilakukan oleh Nabi Ayyub di masa masa krisisnya. Atas ejekan yang dilakukan oleh kedua saudaranya tersebut ia pun berdoa sebagaimana diabadikan dalam al-Quran: “Dan ingatlah kisah Ayyub ketika dia menyeru Tuhannya, “sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit, dan Engkau adalah Tuhan yang Maha penyayang di antara semua penyayang.” (Al Anbiya’: 83).
Abdul Wahhab An Najjar menjelaskan ada dua pendapat mengenai kisah Nabi Ayyub di atas. Ada yang berpendapat bahwa kesabaran Nabi Ayyub atas kebangkrutan yang dideritanya itulah sebenarnya yang mengangkat derajatnya menjadi seorang Nabi. Karena menurutnya seorang Nabi adalah manusia suci yang tak mungkin diberi penyakit yang sedemikian hebat dan menghinakan.
Pendapat yang lain mengatakan bahwasannya itulah ujian bagi kenabiannya. Mengingat musibah tersebut datang kepadanya saat ia berusia 80 tahun. Sementara usia diangkatnya Nabi adalah 40 tahun.
Dari konfrontasi beberapa tafsir yang saya lakukan mengindikasikan bawa ujian tersebut adalah ujian terbesar kenabiannya. Sebagaimana Nabi-Nabi lain yang selalu lekat dengan ujian.
Nabi Ayyub diangkat menjadi Nabi setidaknya karena dua hal besar. Pertama, karena kedermawanannya atas aset yang ia miliki. Kedua, karena kesabarannya atas swakarantina yang ia lakukan secara sukarela dikarenakan ujian yang Allah -dalam beberapa riwayat, yang setan- timpakan atas semua aset yang dimilikinya tersebut.
Terlepas dari silang pendapat para mufassir mengenai kisah tersebut, Nabi Ayyub mewariskan pelajaran besar bagi kita terutama di masa ganasnya pandemi covid-19 yang mengglobal saat ini. Ia mengajarkan kebesaran hati dan kesadaran diri melakukan swakarantina.
Ibnu katsir menjelaskan dalam tafsirnya bahwa penyakit yang diderita oleh Nabi Ayyub bahkan menggerogoti seluruh tubuhnya kecuali hati dan lidahnya. Ia pun melakukan swakarantina dengan berbekal kedua organ tersebut yang ia gunakan untuk berzikir kepada Allah Ta’ala.
Sadar penyakitnya menular dan membahayakan orang lain. Ia memilih jalan sunyi. Mengisolasi diri agar tak mengganggu kenyamanan orang lain. Pilihan tersebut memang berat. Ia faham betul bahwa hidup laksana roda pedati. Kadang di atas. Sekali waktu ada di bawah. Ketika di bawah, ia tabah. Nabi Ayyub adalah simbol ketabahan anak manusia. (AN)
Wallahu a’lam.