Kisah Seorang Meninggal Dunia Setelah Mendengar Nasihat tentang Kebesaran Allah

Kisah Seorang Meninggal Dunia Setelah Mendengar Nasihat tentang Kebesaran Allah

Kisah Seorang Meninggal Dunia Setelah Mendengar Nasihat tentang Kebesaran Allah
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim diceritakan, suatu ketika Rasulullah Saw. Pernah ditanya seorang perempuan perihal ibunya yang meninggal dunia dalam keadaan masih menanggung puasa nadzar; apakah dia boleh mengqadha’ atas namanya.

Terkadang, meninggal dunia adalah hal yang paling ditakuti mayoritas orang. Karena dengan itu, mereka tak lagi bisa bersama dan menikmati kehidupan di dunia ini. Mereka harus berpisah dengan keluarga dan segala apa yang mereka miliki.

Namun, bagi para kalangan orang yang telah dekat dengan Tuhan, meninggal dunia justru adalah suatu cita-cita. Mengapa demikian? Karena dengan itu, mereka akan bertemu dengan Zat yang dicintainya. Bahkan, mereka meninggal dunia kadang disebabkan oleh hal yang—menurut kita (orang kebanyakan)—sepele.

Berikut ini adalah salah satu kisah dari salah  mereka yang penulis sarikan dari kitab al-‘Uyun al-Hikayat karya Ibnu Jauzi.

Alkisah, Abu Amir adalah seorang yang pandai berretorika. Ceramahnya mampu menghipnotis siapa saja yang mendengarnya. Sehingga wajar bila banyak orang mengidolakannya.

Suatu hari, ia bertandang ke Madinah. Ketika ia sedang berada dan duduk di masjid Nabawi, ada seorang anak kecil mendatanginya. Ia membaca sebuah surat. Abu Amir pun membacanya.

Sebagian isi surat itu adalah:

“… Wahai Abu Amir, aku adalah satu dari sekian banyak “sahabat”-mu. Aku mendengar kabar bahwa kamu datang di Madinah. Aku sangat merindukan untuk kembali bisa memiliki kesempatan untuk mengikuti lagi majelis pengajianmu. Kalimat-kalimatmu selalu bisa membuatku merasa damai, terlindungi, dan terberkati. Aku selalu berdoa kepada Allah, agar mendapatkan kehormatan bisa dikunjungi oleh seorang Abu Amir….”

Abu Amir mengiyakan permintaan itu. Sejurus kemudian, ia bersama sang anak pembawa surat itu pergi ke rumah pengirim surat itu.

Kini, Abu Amir telah berada di sebuah rumah yang sangat tak terawat. Di sana, ia melihat seorang lelaki tua (sebut saja Fulan) yang sedang sakit. Kondisinya begitu memprihatinkan. Kakinya pincang dan matanya buta (disebabkan banyak menangis).

(FYI, kondisi seperti ini biasa terjadi bagi kalangan tertentu, yakni para generasi salaf yang merasa begitu dekat dengan Tuhan. Penyakit mereka sebenarnya bukanlah penyakit fisik, melainkan semata penyakit karena selalu merindukan Allah, pen.)

Berada di hadapan Abu Amir, Fulan pun mengutarakan keinginannya agar diberi nasihat olehnya, “… Penyakit (hati) yang aku derita ini ini tidak bisa diobati oleh para penceramah dan dokter. Aku telah mendengar kemanjuran obatmu. Aku berharap engkau rela mengobatiku (yakni dengan memberikan nasihat-nasihat kehidupan, pen.)”

Abu Amir merasa takjub dengan apa yang ia dengar dan lihat itu. Ia pun berdiam sejenak dan beberapa saat kemudian mengucapkan kalimat-kalimat nasihat yang sangat indah. Salah satunya adalah sebagai berikut:

“… Tujukan pandangamu ke arah kerajaan langit dan fokuskan pendengaran makrifatmu ke seluruh penjuru alam, niscaya engkau akan melihat apa yang disiapkan Allah untuk para kekasihNya. Juga, hadapan pandanganmu ke arah api neraka yang berkobar-kobar, niscaya engkau akan melihat apa yang telah disiapkan Allah untuk para penghuninya…”

Nasihat Abu Amir benar-benar menghilagkan dahaga Fulan. Ia meminta Abu Amir agar memberinya nasihat yang lebih banyak lagi. Permintaan itu pun dikabulkan. Setelah beberapa waktu, Fulan pun jatuh dan meninggal dunia. Tak lama kemudian, ada seorang wanita (sebut saja Zaidah) yang keluar dari salah satu kamar di rumah tersebut. Ia adalah anak dari Fulan.

Di hadapan Abu Amir, Zaidah berita tentang ayahnya. Menurutnya, Fulan suatu ketika pernah menghadiri majelis pengajian yang diasuh oleh Abu Amir. Atas dasar itulah, wafat dengan sebab mendengarkan nasihat dari Abu Amir adalah cita-cita yang selalu didambakan Fulan.

Zaidah pun memeluk tubuh ayahnya. Derai tangis pun tak bisa dibendung. Namun, Zaidah tak hanya menangis. Dalam kondisi sedih itu, ia juga beristigfar dan berdoa untuk kebaikan sang ayah. Wallahu a’lam.

Sumber:

Al-Jauzî, Jamâluddîn Abi al-Farj bin. ’Uyûn al-Hikâyat. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2019.