Namanya Khalid bin Sa’id. Ia termasuk generasi awal pemeluk Islam (as-sabiqun al-awwalun), dan sebagaimana mayoritas mereka, deraan teror dan intimidasi, bahkan persekusi dan siksaan, diterima olehnya. Ia dipukuli oleh ayahnya, Sai’d bin ‘Ash bin Wail, tetapi keteguhan imannya kepada Allah Ta’ala dan Kanjeng Nabi SAW tak tergoyahkan. Ia diusir dari rumah oleh ayahnya, tak lagi diakuinya sebagai anak dan keluarga….
Khalid bin Sa’id –yang masih berkerabat dekat dengan Amr bin ‘Ash bin Wail—ikut hijrah ke Habasyah. Sebuah hijrah awal yang diperintahkan Kanjeng Nabi SAWkepada banyak pemeluk Islam awal demi menghindarkan siksaan dan aniaya kaum musyrik Quraisy.
Kala masih di Habasyah, ia pernah menjadi wali bagi Ummu Habibah (Ramlah binti Abu Sufyan) saat dinikahi oleh Kanjeng Nabi SAW–tanpa kehadiran Beliau SAW langsung di Habasyah. Adapun wakil dari Kanjeng Nabi SAW, sekaligus yang melamarkan, adalah Amr bin Umayyah. Barulah pasca perang Khaibar, Khalid bin Sa’id bergabung dengan Kanjeng Nabi SAW di Madinah–bersama orang-orang muslim lainnya yang juga berhijrah bertahun-tahun ke Habasyah, termasuk Ja’far bin Abi Thalib.
Sepeninggal Kanjeng Nabi SAW, diangkatlah Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah. Khalid bin Sa’id tahu dan yakin secara pasti bahwa tiada cela sedikit pun bagi Abu Bakar ash-Shiddiq. Tetapi ia enggan berbaiat. Dalihnya begini: seyogianya yang berhak menjadi khalifah adalah trah bani Hasyim, misal Abbas bin Abdul Muthallib atau Ali bin Abi Thalib.
Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq bersikap legawa atas sikap Khalid bin Sa’id. Tak mempersoalkannya, apalagi bertindak keras. Tidak. Ia memilih sikap sabar.
Dan, tibalah hari di mana Khalid bin Sa’id dengan sepenuh jiwa mendatangi Abu Bakar ash-Shiddiq yang sedang menyampaikan khutbah, ceramah, di masjid Nabi SAW di hadapan banyak orang. Ia maju, di antara keramaian orang, mendekat, lalu menyalami tangan Abu Bakar ash-Shiddiq, dan berbaiat kepadanya. Dengan hangat, sepenuh puji dan syukur kepada Allah Ta’ala, Abu Bakar ash-Shiddiq menerima uluran tangannya, menerima baiatnya.
Tatkala khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq mengirimkan pasukan ekspedisi ke wilayah Syiria, dalam perang Yarmuk, di dalamnya terdapat Khalid bin Sa’id. Pasukan yang dipimpin panglima besar Khalid bin Walid berhasil menaklukkan pasukan Romawi yang berjumlah jauh lebih banyak. Namun, banyak sahabat yang syahid. Di antaranya Ikrimah bin Abu Jahal, meninggalkan istrinya, Ummu Hakim.
Dalam perjalanan ekspedisi selanjutnya, di era khalifah Umar bin Khattab, tepatnya di wilayah Marjus Shufar, Syiria, Khalid bin Sa’id menikahi Ummu Hakim yang telah menuntaskan masa ‘iddah-nya. Ijab-qabul pernikahan itu dilakukan sore atau malam hari, dan rencananya besok pagi akan dilakukan tasyakuran (walimah).
Usai ijab, Khalid bin Sa’id berbisik mesra kepada Ummu Hakim, istrinya. Ummu Hakim mengerti apa yang dimaksud dan diinginkan suami barunya. Ia berkata, “Alangkah sempurnanya bila Engkau bersabar sampai urusan jihad ini selesai….”
Khalid bin Sa’id menjawab dengan hangat, “Perasaanku besok aku akan syahid….”
Dengan arif penuh cinta, Ummu Hakim pun memenuhi harapan suaminya. Peristiwa malam pertama mereka dilakukan di atas jembatan–tentu dengan suasana yang sangat terbatas, meski jelas terpelihara marwahnya.
Keesokan paginya, tasyakuran pun dilangsungkan. Semua orang turut berbahagia. Tiba-tiba pasukan Romawi dikabarkan menyerbu dengan luar biasa. Maka bubarlah seketika acara walimah itu, dan semua orang dengan sigap serentak mempersiapkan diri memasuki peperangan.
Perang pun pecah….
Setelah suasana reda, tenang dalam haru, pasukan muslim bahu-membahu mengumpulkan saudara-saudaranya yang syahid. Di antara mereka, diketemukan jasad syahid Khalid bin Sa’id. Mereka menuturkan bahwa bibir Khalid bin Sa’id mengulas senyum manis…
Jembatan yang tadi malam –ya, cuma satu malam—menjadi saksi cinta sejoli kekasih Allah Ta’ala dan Kanjeng Nabi SAW itu, Khalid bin Sa’id dan Ummu Hakim, kelak dikenal dengan nama yang unik nan historis, yakni “Jembatan Ummu Hakim”.
Selang waktu kemudian, Ummu Hakim mendapatkan suami yang sungguh luar biasa, yakni khalifah Umar bin Khattab.
Baca Juga, Kisah Sahabat Nabi Muhammad SAW: Abu Hurairah & Cara Berdoa yang Cerdas