Sepasang mata di balik selendang kini berada di tengah medan tempur, melesat secepat kilat dan menumbangkan pasukan Romawi. Siapa yang menyangka bahwa sosok itu adalah Khawlah binti al-Azwar. Penyair cantik itu memilih berjuang demi kemenangan Islam dan menyelamatkan saudaranya, yaitu Dhiraar bin al-Azwar yang sedang ditawan musuh. Sejarah penaklukan wilayah Syam di bawah pimpinan Khalid bin Walid ini ternyata tidak jauh dari peran wanita di dalamnya.
Peran wanita dalam pertempuran dan pertumpahan darah memang biasanya di belakang laki-laki, membantu dalam pengobatan, menyiapkan bekal makanan, menjaga harta benda dan sebagainya yang sekiranya jauh dari medan. Namun hal tersebut tidak berlaku bagi Khawlah, aksinya dalam Perang Ajnadain telah berhasil mengubah pandangan banyak orang tentang wanita.
Kisah ini bermula saat terjadi perlawanan antara pasukan Muslim dan Romawi Bizantium pada tahun 634 M [13 H]. Khalid bin Walid yang menerima laporan bahwa pasukan Romawi besar mendekat dari Emessa ke Bait Lihya, segera mengirim 5.000 pasukan berkuda di bawah pimpinan Dhiraar bin al-Azwar untuk menghadang.
Namun, Khalid menerima berita bahwa Dhiraar menjadi tawanan musuh dalam pertempuran ini. Khalid memutuskan mengambil alih komando di Bait Lihya dengan bala bantuan yang cukup besar dari Damaskus. Namun karena masalah waktu, Khalid memutuskan untuk mengambil risiko penundaan dan tidak melakukan gerakan apapun hingga larut malam, sementara di sana pasukan muslim tetap berjuang meski kalah jauh dari pasukan musuh.
Mendengar hal itu, Khawlah mengambil inisiatif memimpin sekelompok perempuan muslim untuk maju ke medan perang dan menyelamatkan saudaranya, juga beberapa pasukan muslim yang berada dalam tawanan musuh. Mereka mengenakan jubah untuk berkuda yang longgar, pelindung baju besi, dan selendang gaya Badui. Tidak seorang pun tahu identitasnya sampai pertempuran berakhir.
Tujuan di balik penyamaran ini adalah untuk menghindari perhatian musuh dan memperbesar peluang keberhasilan misinya. Di balik samaran, mereka dengan lihai menggunakan tombak, bahkan tiang-tiang tenda hingga berhasil melemahkan pasukan Romawi. Hal ini bukan menjadi hal baru bagi Khawlah, karena selain belajar sastra ia juga belajar keterampilan bertarung dan menunggang kuda bersama kakaknya.
Ketika pertempuran terus berlangsung, pada hari kedua Perang Ajnadain, tepat saat mentari baru saja mengeluarkan sinarnya, Khalid bin al-Walid tiba bersama 4.000 pasukan Muslim. Khalid serta pasukannya bergabung dan memimpin dengan sangat berani, menghancurkan barisan Romawi, seolah-olah dia adalah api yang membara.
Di tengah ketegangan medan perang ia melihat seorang penunggang kuda Muslim melintas di depannya dan berpacu menuju garis depan pasukan Romawi. Dia sudah terlalu jauh sebelum Khalid dapat menghentikannya. Seseorang yang bertubuh ramping, berpakaian hitam dengan selendang hijau di wajahnya itu bersenjatakan tombak panjang dan berhasil menerobos pasukan Romawi dengan amarah dan tekadnya yang begitu besar, sehingga setiap orang mengira bahwa dia dan kudanya pasti sudah gila. Rafi’ bin Umayrah yang melihat hal itu berkata, “Dia menyerang seperti Khalid, tetapi dia jelas bukan Khalid.”
Ksatria misterius itu menyerang garis depan Romawi di satu titik dan berhasil mengalahkan seseorang, kemudian melaju kencang ke bagian garis depan lain, dan sekali lagi berhasil membuat musuh keteteran. Ia bergerak sangat cepat, berpindah dan terus menumbangkan pasukan musuh. Meskipun beberapa pasukan Romawi maju untuk menyerangnya, tetapi semuanya tumbang di hadapan tombaknya yang mengerikan. Tidak lama kemudian, Khalid dan pasukannya berhasil menerobos dan menemukan jalan kemenangan.
Dalam artikel berjudul “The Historical Role of Women in Early Islam” karya Dr. Marbad Saleh Damen yang terbit di Journal of Tikrit University for Humanities, dijelaskan bahwa Imam Al-Waqidi mengungkapkan tentang pertemuan Khawlah dengan Khalid bin al-Walid dalam pertempuran ini. Melihat pejuang itu Khalid berkata, “Aku ingin tahu siapa ksatria ini. Demi Allah, dia adalah seorang ksatria yang hebat.” Khalid yang melihat ksatria misterius dengan pakaiannya yang sudah dihiasi oleh darah itu merasa terkejut dan berkata, “Allah memberkatimu, wahai ksatria yang telah mengorbankan hidupnya di jalan Allah dan menunjukkan keberaniannya dalam menghadapi musuh. Tunjukkan namamu, dan angkat penutup wajahmu.”
Namun ksatria itu tidak menjawab dan melanjutkan pertarungannya. Setelah beberapa waktu, Khalid mendekatinya dan berkata, “Sungguh menyedihkan bahwa aku dan bahkan seluruh umat Islam ingin tahu tentangmu, tetapi kamu tidak peduli. Siapakah kamu?”
Ketika Khalid mendesaknya, ksatria itu membuka penutup wajahnya dan berkata, “Wahai amir, aku tidak menghindar darimu kecuali karena rasa hormat kepadamu sebagai seorang pemimpin besar. Aku adalah wanita dari keluarga terhormat, dan aku berjuang karena hati ini terbakar oleh kemarahan.”
Kemudian Khawlah menjawab, “Aku adalah Khawlah binti al-Azwar, saudara perempuan Dhiraar yang ditawan oleh musyrikin.”
Kemudian Khalid bin al-Walid mengirim pasukan Rafi’ bin Umayrah, bersama dengan Khawlah binti al-Azwar untuk menyelamatkan Dhiraar bin al-Azwar, mereka berhasil menyusul rombongan penjaga yang membawa Dhiraar ke Emessa dan membebaskannya. Keberhasilan ini terjadi setelah pasukan Romawi mulai mundur dan beberapa informan memberikan kabar tentang keberadaan Dhiraar yang dibawa oleh 100 prajurit Romawi.
Sumber Referensi :
Marbad Saleh. (2022). “The Historical Role of Women in Early Islam.” Journal of Tikrit University for Humanities, 29(2), 406-409.
Mawlânâ Sulaymân al-Kindî, trans. (1993). The Islâmic Conquest of Syria. Hal. 75-78.
(AN)