Saya ingat percakapan dua tahun lalu di Jakarta. Seorang aktivis pemantau hak kemerdekaan beragama dari luar negeri menanyakan saya apakah terpilihnya Kiai Maruf sebagai calon wakil presiden petanda ekstremisme dan radikalisme Islam di Indonesia bakal menguat. Sore itu, kami memang sedang bicara mengenai perkembangan toleransi, intoleransi, situasi kemerdekaan beragama, dan pemilu di Indonesia.
“Jika ekstremisme dan radikalisme dipahami sebagai penggunaan dan dukungan terhadap aksi-aksi kekerasan atas dasar keagamaan, menurut saya pandangan kurang tepat. Dalam banyak kesempatan, Kiai Maruf jelas menolak cara-cara ekstrem semacam itu,” kata saya. “Jika kita mau jujur melihat isi dalam fatwa MUI penyesatan saat beliau menjawab, penolakan cara-cara kekerasan dan mendorong pada penyelesaian hukum sering menjadi penekanan,” kata saya lagi.
Mendengar itu ia mengangguk-angguk. Entah setuju atau sekedar menghormati lawan bicaranya saja. “Mungkin kita bisa menyebut corak pemikiran dan sikap keagamaan Kiai Maruf sebagai corak yang konservatif. Dan corak semacam itu tak sedikit di lingkungan Nahdlatul Ulama. Walau begitu kita dapat menemukan pikiran-pikiran yang maju dalam beberapa isu,” kata saya lagi.
Kisah ini saya ceritakan lagi dalam sesi tanya-jawab bersama beberapa narasumber yang datang siang itu. Diskusi ini mengangkat tema kiprah Kiai Maruf sebagai wakil presiden dan opini publik tentangnya. Di bagian akhir, diskusi itu juga membicarakan apa yang diharapkan dari Kiai Maruf dan bisa menjadi warisan baik sebagai wapres dan tokoh agama.
Saya membaca lagi kolom Kiai Maruf di Kompas pada 2005 tentang “Khittah Islam Nusantara”. Secara tersirat ia mengaku pendukung sikap moderat, sikap yang dipahami berada posisi tengah antara tekstualis dan liberal. Gagasannya tentang lima penanda Islam Nusantaranya menarik diikuti. Kelimanya adalah reformasi (islahiyyah), keseimbangan (tawazuniyyah), voluntarisme (tatawwu’iyyah), santun (akhlaqiyyah), toleran (tasamuh).
Namun, bisa dimengerti banyak pengamat dan sebagian aktivis tak mudah memahami antara gagasan moderat itu dengan dan sikap-sikapnya mengenai isu-isu minoritas, terutama ketika ia berada di Majlis Ulama Indonesia (MUI). Tentu saja kasus paling membetot Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI pada 11 Oktober 2016 tentang Pidato Basuki Thajaya Purnama yang ia tandatangani selaku Ketua Umum MUI. Surat itu menyatakan pidato itu dianggap mengina ulama dan meminta aparat penegak hukum mengambil tindakan. Seperti biasa, di ujung pernyataan mengimbau agar masyarakat tak main hakim sendiri.
Banyak kalangan, termasuk saya, menilai Kiai Maruf juga bertangung jawab dalam kasus fatwa Ahmadiyah dan fatwa tentang sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Sikapnya sering dilihat tak ramah kelompok minoritas. Dalam sejumlah kasus itu, persis di sana tantangan Kiai Maruf, terutama sebagai wakil presiden. Berhasil ia mengatasi masalah ini, tampaknya akan menjadi warisan penting Sang Kiai.
Opini umum tentang konservatisme Kiai memang bisa dilihat sebagai kelemahan. Tapi, di saat bersamaan ini bisa jadi peluang. Ini area di mana Kiai dan tim di bawahnya menunjukkan penekanan sebaliknya untuk lebih berpihak pada hak-hak minoritas, jika tidak disebut sebagai pergeseran. Tanpa pembuktian itu, setiap pernyataan Kiai Maruf melawan intoleransi dianggap sekadar lelucon.
Dalam keterbatasan waktu, Kiai Maruf dan tim perlu menyiapkan isu-isu prioritas dalam isu keagamaan yang harus diatasi. Misalnya isu jaminan perlindungan kekerasan terhadap kelompok yang disesatkan atau mendatangi gereja atau masjid yang ditolak warga. Ini langkah membangun harapan publik. Usaha ini tidak mudah dan banyak disangsikan orang, termasuk saya.
Kiai Maruf memiliki cukup modal untuk itu. Kiai Maruf memang tidak bisa dikatakan memiliki corak keagamaan progresif, tapi juga bukan “literatis” seperti ditulisnya sendiri. Ia juga punya keinginan untuk mengembangkan konsep Islam washatiyyah Islam Moderat ke tingkat dunia. Ia punya komitmen menolak segala bentuk kekerasan fisik. Sebagai wakil presiden, kini ia mengemban mandat mengatasi masalah-masalah keagamaan dan gerakan mengatasi radikalisme.
Indonesianis asal Australia Greg Fealy dan sudah mengikuti perjalanan NU sejak tahun 90-an punya penilaian yang menarik. Ia menulis tentang Kiai Maruf dengan nada yang kritis dalam tulisan bertajuk Ma’ruf Amin: Jokowi’s Islamic defender or deadweight? pada Agustus 2018 di media daring. Kiai Maruf, katanya, tak bisa dianggap tokoh dengan satu dimensi. Selain sebagai tokoh Islam, tokoh NU, Kiai Maruf punya pengalaman panjang dalam dunia politik. “Ia telah berulangkali telah menunjukkan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda,” kata peneliti dari Australian National University itu