Khataman Al-Qur’an, Setelah itu Apa

Khataman Al-Qur’an, Setelah itu Apa

Khataman Al-Qur’an, Setelah itu Apa
Al-Qur’an

“Apa manfaat dari bacaan-bacaan Al-Qur’an kita di bulan Ramadhan kita kemarin?” Tanya Kang Jalidin malam itu, ketika kami duduk di serambi musola, selepas magrib sambil menunggu isya.

Ditemani Mbah Kaum, kami belajar membaca Al-Qur’an secara bergilir. Kadang juga cuma ngobrol kesana kemari.

Pertanyaan datar tentang dampak bacaan Al-Quran itu, meluncur keras di tengah obrolan kami. Kang Jalidin memang paling sering melontarkan pertanyaan yang aneh-aneh.

Saking seringnya ia bertanya banyak orang menjadi alergi. Sebagian menganggap pertanyaan-pertanyaannya tidak penting bahkan cenderung mengganggu. Sebagian lain menganggapnya merusak suasana. Karena itu, jarang yang mau meladeni. Kalaupun ada biasanya karena sekadar basa-basi, atau paling banyak, karena tidak terima atas gugatannya.

“Ya, minimal biar dapat pahala, to, Din,” sambar Kang Kasrip.

“Lha terus kenapa kalau dapat pahala?” Tukas Kang Jalidin.

“Memangnya kamu ndak mau pahala, Din? Kata ustad-ustad, pahala itu bekal hidup kita di akhirat kelak. Makanya kita harus mengumpulkan banyak pahala,” Kang Jumadi ikut menyahut.

“Bukan saya berlagak suci, dengan tidak mau pahala, Kang Jumadi. Pahala itu kan soal nanti. Di akhirat. Maksud saya, manfaat tadarus-tadarus kita di kehidupan ini apa?”

Jika sudah demikian, beberapa orang mulai mundur satu persatu. Terutama kalau nada pertanyaannya mulai terdengar sinis.

Pada situasi seperti ini, saya berharap Mbah Kaum ikut campur tangan, sebelum pernyataan Kang Jalidin makin tak terkendali dan emosi kami meninggi. Mbah Kaum adalah sosok yang dituakan dan dihormati di kampung kami karena pengetahuan dan pengalaman hidupnya.

“Menurutmu sendiri apa, Din?” Akhirnya Mbah Kaum menimpali, setelah ikut menyimak dialog itu sambil mesam-mesem.

Kang Jalidin terdiam. Mbah Kaum memang lebih sering mengembalikan pertanyaan Kang Jalidin daripada menjawabnya.

Kang Jalidin ini nama aslinya Zahidin. Mungkin karena lidah Jawa ia kemudian lebih akrab dipanggil Jalidin. Ia pernah mondok, meski tidak lama. Masa belajarnya putus di tengah jalan, karena alasan ekonomi. Ia kemudian bekerja, berpindah-pindah, tapi dengan semangat belajar tetap menyala.

Dalam banyak kesempatan, ia sering dengan bangga mengaku bahwa tidak banyak yang bisa diberikan oleh sekolah, ia merasa banyak pelajaran justru diperoleh dari kehidupan.

Pengalaman dari sekolah kehidupan itu yang membuatnya banyak mempertanyakan.

Ia tidak bertanya “mana dalilnya”, tapi lebih pada “nilai”. Kepada para jamaah ia pernah bertanya soal guna salat yang dikatakan lebih menekankan pada olah tubuh ketimbang olah rasa. Pertanyaan itu kemudian berakhir dengan pertengkaran.

Dan model bertanya balik Mbah Kaum itu efektif. Selain membuat Kang Jalidin memeriksa kembali pertanyaan dan gugatannya, kami yang ikut mendengar juga merasa terpanggil untuk mencari jawaban.

“Kegelisahanmu itu kan muncul dari kenyataan yang menurutmu tidak sesuai harapanmu,” kata Mbah Kaum kalem.

Kang Jalidin masih terdiam, seperti menyiapkan ancang-ancang untuk mengurai jawaban-jawaban panjang dalam pikirannya.

“Bahwa setiap muslim harusnya banyak membaca Al-Qur’an, itu jelas, Mbah. Tapi Al-Qur’an itu diturunkan bukan semata sebagai bahan bacaan. Al-Qur’an adalah petunjuk, obat hati, lentera untuk membedakan antara yang benar dan batil,” terang Kang Jalidin. Mbah Kaum mengangguk-angguk.

“Kita ini masih lebih sibuk membaca. Acara khataman digelar setiap saat. Tapi setelah itu apa? Kita tetap begini-begini saja. Tidak ada perubahan. Karena kita cuma membaca tanpa memahami arti dan pesan yang dikandung di dalamnya. Jangan-jangan, kita ini orang-orang yang ada dalam ramalan bahwa suatu hari Al-Quran hanya akan tinggal tulisan itu, Mbah, ….” ia melanjutkan.

“Hussy !!! Semberono kamu!,” Kang Kasrip menyembur, memotong perkataan Kang Jalidin. Telinganya agaknya sudah tidak tahan dengan kalimat Kang Jumino yang kasar. Beberapa orang yang hadir juga terlihat terkejut mendengar perkataan Kang Jalidin yang seperti tuduhan itu.

Pelan-pelan saya mencoba mengunyah kritik Kang Jalidin. Sekilas ada benarnya juga. Saya pernah menonton video di YouTube yang menjelaskan tentang manfaat membaca.

Dalam video itu dijelaskan, ada tiga manfaat membaca. Pertama, fungsi informatif. Dengan membaca kita mendapatkan informasi. Kita jadi tahu hal-hal baru. Kedua, formatif. Tanpa kita sadari, kegiatan membaca akan membentuk pola pikir kita. Kita adalah produk dari yang kita baca.

Cara kita berpikir terbentuk dari pengalaman kita membaca. Ketiga, reflektif. Membaca itu seperti kontemplasi. Kita sendiri berhadapan dengan teks. Berdialog, bergulat, dan pada akhirnya kita menemukan pantulan diri kita. Karena bukan membaca kitab suci, maka tidak ada fungsi sebagai ibadah yang membacanya diganjar dengan pahala dalam penjelasan tersebut.

Ketiga manfaat itu, kalau diterapkan ke dalam kegiatan membaca Al-Qur’an memang mensyaratkan pemahaman yang baik atas bahasanya. Tanpa itu bagaimana kita menemukan informasi dalam Al-Qur’an, bagaimana bahasa Al-Quran bisa membentuk pola pikir kita, dan bagaimana kita menemukan diri kita dalam Al-Qur’an?

“Mana yang keliru dari kata-kata saya, Kang Kasrip?” Balas Kang Jalidin. Kang Kasrip tidak bisa menjawab. Bisa jadi ia merasa tersinggung saja.

“Kita selalu mengatakan bahwa kegiatan membaca Al-Qur’an adalah Tadarus. Padahal tadarus itu artinya mengkaji, mendalami, memahami secara mendalam makna yang terkandung dari ayat-ayat Al-Qur’an. Kita belum tadarus … ,” sambung Kang Jalidin.

“Al-Qur’an itu kan seperti hidangan, Din. Hidangan besar yang disediakan Allah untuk kita. Begitu banyak menu yang disajikan. Setiap orang bisa memilih sesuai dengan selera dan kemampuannya,” akhirnya Mbah Kaum menengahi, menyelamatkan suasana yang mulai kaku dan panas.

Beliau lantas menjelaskan perumpaan Al-Qur’an sebagai hidangan yang pernah disampaikan oleh Nabi SAW. Ada yang menekuni Al-Qur’an sebagai sumber hukum, ada yang mengkajinya dan menemukan penjelasan ilmiah, ada yang menghayati dan menemukan hikmah, ada yang menjadikan sebagai obat, ada yang menikmatinya sebagai seni suara atau kaligrafi. Ada pula yang baru bisa menikmatinya dengan membacanya dan mengkhatamkannya, seperti kita yang awam.

“Maka tidak perlu dipaksakan seperti itu, Din. Tiap orang punya kapasitas yang berbeda. Semua pilihan pastilah didasari oleh rasa cinta kepada Kitab Suci tersebut,” tambah Mbah Kaum.

Saya kira jawaban Mbah Kaum itu cukup memberikan keseimbangan. Ngemong. Kang Jalidin saya lihat akhirnya luruh juga. Ia tampak lebih santai dan sesekali manggut-manggut mendengar kata-kata Mbah Kaum yang disampaikan dengan pelan. Apalagi ketika Mbah Kaum menekankan pentingnya semua orang menjaga semangat untuk terus belajar memahami dan mencintai Al-Qur’an, sebagai bentuk tanggung jawab dan rasa berutang kepada agama.

Wejangan Mbah Kaum tentang keharusan bersikap selektif dan tidak gegabah dalam memilih guru juga sangat penting. Mbah Kaum juga menambahkan bahwa pertanyaan-pertanyaan nakal dan kritis model Kang Jalidin juga penting. Itu juga perlu dihormati, sebagai pengingat bagi kita untuk terus belajar dan bertadarus dengan cara masing-masing.