KH. Achmad Shiddiq, Pancasila, dan Wawasan Kebangsaan

KH. Achmad Shiddiq, Pancasila, dan Wawasan Kebangsaan

KH. Achmad Shiddiq, Pancasila, dan Wawasan Kebangsaan

Achmad Shiddiq adalah putera dari KH. Muhammad Shiddiq ke 16 dari 25 bersaudara. Menurut silsilah, Achmad Shiddiq termasuk keturunan ke-15 dari Joko Tingkir, pendiri kerajaan Islam di Pajang. Pada umur 2 tahun, Achmad Shiddiq sudah ditinggal oleh ibunya karena pada saat ibadah haji kapalnya kecelakaan di laut Merah dan pada saat umur 10 tahun Achmad Shiddiq juga ditinggal ayahnya untuk selamanya.

Setelah itu, Achmad Shiddiq diasuh oleh kakaknya KH. Machfud Shiddiq. Oleh karenanya tidak heran jika besarnya Achmad Shiddiq memiliki banyak kemiripan dengan KH. Machfud Shiddiq. Achmad Shiddiq sewaktu kecil berpindah-pindah pesantren, mulai dari pesantren ayahnya hingga ke Tebuireng Jombang. Semasa di Tebuireng Achmad Shiddiq dididik langsung secara intens oleh Wahid Hasyim dan dijadikan sekretaris pribadinya pada saat menjadi Menteri Agama. Karena kedekatan dengan Wahid Hasyim, Achmad Shiddiq tidak kesulitan ketika diduetkan dengan Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur, sewaktu memimpin NU.

Pemikiran politik Achmad Shiddiq banyak dipengaruhi oleh Al-Mawardi dan Al-Ghazali, khususnya mengenai hubungan antara agama dan negara. Meskipun terdapat perbedaan dalam bentuk negara, karena melihat sosial politik yang ada pada saat itu, akan tetapi mereka sama-sama meletakkan agama sebagai alat pelengkap suatu negara. Perbedaan bentuk negara dikarenakan tidak ada bentuk baku dalam Islam. Nabi tidak mengajarkan secara detail mengenai bentuk sebuah negara.

Dalam buku Munawar Fuad Noeh dan Mastuki HS (ed), Menghidupkan Ruh pemikiran K.H. Achmad Shiddiq, di situ dijelaskan pandangan KH. Achmad Shiddiq tentang kepemimpinan dan negara. Pertama, negara nasional (yang didirikan bersama oleh seluruh rakyat) wajib dipelihara dan dipertahankan eksistensinya. Kedua, penguasa negara yang sah harus ditempatkan pada kedudukan yang terhormat dan ditaati, selama tidak menyeleweng, memerintahkan ke arah yang bertentangan dengan hukum dan ketentuan Allah.

Ketiga, kalau terjadi kesalahan dari pihak pemerintah, cara mengingatkannya lewat tata cara yang sebaik-baiknya. Beliau juga menambahkan tentang sah tidaknya pemerintahan. ”karena dianggap bukan pemerintahan Islam, ada orang meragukan kredibilitasnya pemerintah”. Ini mengerikan, sebab tanpa pemerintah, jelas akan timbul kekacauan, kehidupan semrawut, yang kuat akan menelan yang lemah. Beliau mendasarkan pada hadist dan ijma’ bahwa: menegakkan suatu pemerintahan yang mengatur dan mengayomi adalah wajib didukung dan wajib hukumnya.

Asumsi KH. Achmad Shiddiq terhadap pemerintah di atas mengantarkan kita untuk memahami pemikiran beliau tentang penerimaan asas tunggal Pancasila sebagai dasar organisasi yang diterapkan oleh pemerintah. Menurut KH. Achmad Shiddiq sebagaimana yang dikutip dalam Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdhatul Ulama-Negara, (Yogyakarta: LKiS, 2010) tidak ada yang bertentangan antara Islam dan Pancasila.

Beliau juga menekankan untuk bersikap proporsional tentang keduanya. Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa agama menurut Islam berasal dari ciptaan Tuhan dan sumbernya harus dari wahyu. Sementara ideologi seperti pancasila berasal dari macam-macam pengamalan, pemikiran manusia. Oleh karenanya silahkan membicarakannya dengan akal dan ilmu yang sudah berkembang, jangan mencampuradukkan pancasila dengan agama. Beliau mengatakan bahwa:

Islam merupakan tindakan agama sedangkan Pancasila adalah pandangan hidupnya. Pemerintah selalu menekankan tidak ada maksud untuk menjadikan pancasila sebagai agama atau memperlakukan Pancasila seolah-olah agama. NU menanggapi pernyataan pemerintah itu dengan serius dan yakin pemerintah tidak mengajak NU menerima Pancasila dengan cara mereduksi keyakinan Islam. NU menerima Pancasila bukan dalam pengertian politik, melainkan lebih karena pemahaman hukum Islam. (Greg Fealy dan Greg Barton, 2010).

Beliau juga meilustrasikan penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal dengan muktamar Banjarmasin 1936. (Munawar Fuad Noeh dan Mastuki HS (ed), Menghidupkan Ruh pemikiran K.H. Achmad Shiddiq). Dengan demikian, gagasan KH. Achmad Shiddiq yang pernah menjabat sebagai Rais Aam NU justru memperkuat Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Agama Islam dijadikan sebagai sumber nilai etika dan moral dalam bernegara. Apapun sistem negara yang dipakai tidak ada yang bertentangan dengan Islam. Islam mampu berinteraksi dengan zaman dan nilai-nilai yang terkandung berbasis kemanusiaan. Dengan begitu, Islam mampu menunjukkan universalitasnya sebagai agama rahmatan lil alamin.

M. Mujibuddin, penulis aktif di komunitas pengkaji keislaman Islami Institute Jogja.