Ketika Mayoritas Menghardik Minoritas

Ketika Mayoritas Menghardik Minoritas

Ketika Mayoritas Menghardik Minoritas

 

Warga Indonesia sedang dalam tantangan kehidupan beragama. Keragaman tradisi dan agama, yang seharusnya dibangun dalam pondasi harmoni dan kesetaraan, bergeser pada pola represi dan penindasan. Suara mayoritas seakan mencengkeram yang minoritas. Karena, sebagian dari suara mayoritas melantangkan kekalahan, trauma dan kacemasan. Inilah era dimana kebhinekaan kita mendapat ujian.

Selepas Aksi Bela Islam II ( 4 Oktober 2016, 4 11) dan Bela Islam III (2 Desember 2016/ 212), dan parade demonstrasi setelahnya, kita disuguhi oleh perdebatan tentang bagaimana merumuskan hubungan harmonis antar agama. Aksi Bela Islam, harus diakui sebagai ekspresi (sebagian) umat Islam yang berusaha membela Al-Qur’an, dan selanjutnya simbol agama, dari seorang politisi yang keseleo lidahnya. Meski, pada rentang berikutnya, politisasi agama dan komodifikasi religius menjadi lebih dominan daripada isu-isu keberpihakan pada agama.

Celakanya, politisi yang keseleo lidah itu, merupakan minoritas, baik etnis maupun agama. Sebagian umat Islam kemudian menggalang kekuatan, dengan segala macam atribut ormas dan jargon yang menjadi pesan damai. Hingga, dapat kita saksikan bersama, bagaimana DKI Jakarta menjadi panggung politik yang dibungkus dengan citra-citra agama.

Meski, harus diapresiasi nafas dan kesungguhan untuk membela agama, oleh orang-orang yang selama ini tulus dan ikhlas yang tercermin dalam aksi-aksi dalam dua bulan terakhir. Akan tetapi, jelas sekali muatan politik yang menghardik rezim politik, maupun jaringan politisi yang saat ini memimpin negara. Massa yang membawa pesan dan tanpa kekerasan, sejatinya menampilkan pesan tentang kekuatan, hardikan dan bahkan teror dalam skala kuantitas massa.

Inilah yang perlu dipahami secara jeli, bahwa massa yang bergerak untuk membela agama, membela kemurnian kitab suci, pada titik tertentu dikapitalisasi menjadi pesan politik. Suara diam, narasi kedamaian, dan wajah-wajah agamis, pada konteks tertentu menjadi amunisi politik untuk menghardik dan meneror lawan politik. Inilah diplomasi politik yang menggunakan massa sebagai kendaraan untuk menggerakkan pesan politik.

Mayoritas yang Menindas

Narasi massa yang damai dan sejuk, harus diteruskan dengan aksi-aksi kongkret yang berkesinambungan. Kekuatan ini, jika disulap menjadi kecerdasan politik, uswah dalam pengetahuan, dan kekuatan ekonomi sungguh luar biasa. Seharusnya, tidak hanya elite-elite saja yang merasakan dampak dari gerakan massa, namun pada tingkatan komunitas terkecil juga harus mendapatkan manfaatnya.

Misalnya, jika yang menjadi bayangan ketakutan adalah kelompok-kelompok pengusaha dari komunitas minoritas yang dianggap menguasai jaringan permodalan, sungguh harus ada upaya keseimbangan yang berkelas. Bukankah komunitas minoritas yang selama ini menguasai jaringan ekonomi, juga telah membangun kelompoknya selama bertahun-tahun, bahkan beberapa abad?

Ketekunan, kegigihan dan usaha untuk menjaga agar usahanya tetap kontinyu menjadi bagian dari refleksi kelompok mayoritas. Jika minoritas terus dihalangi dalam ruang politik, kebudayaan dan beragam ruang profesional, hanya jalan ekonomi yang menjadi ruang berekspresi mereka, sebagaimana yang bisa kita baca dalam kebijakan politik dari zaman VOC hingga Orde Baru.

Apa yang terjadi di Bandung beberapa waktu lalu, ketika ormas FPI membubarkan agenda KKR Natal di Sabuga, yang sudah melewati proses izin keamanan, tentu menjadi keprihatinan kita. Atau, serentetan kegiatan lain yang terjadi dalam aksi kekerasan beragama, turut menjadi keprihatinan bersama. Bukankah, ini gejala kelompok mayoritas menghadirk minoritas menggunakan aksi massa? Juga, kekuatan kuantitas yang menjadi tulang punggung kelompok ini, sebagai bargaining politik dan instrumen kekuasaan.

Pancasila kita, yang menyuarakan kesetaraan, keadilan, musyawarah dan kebijaksanaan mendapatkan tantangan yang sesungguhnya. Nilai-nilai kebhinekaan kita, dialog antar komunitas lintas etnis dan persatuan lintas agama, sesungguhnya menjadi tantangan bagi masa depan negara kita: Indonesia. (*)

 

*Munawir Aziz, Wakil Sekretaris LTN PBNU, peneliti Islam dan Kebangsaan (@MunawirAziz)