Sunda Wiwitan: Korban Baru Hegemoni Mayoritas atas Minoritas di Indonesia

Sunda Wiwitan: Korban Baru Hegemoni Mayoritas atas Minoritas di Indonesia

Sunda Wiwitan: Korban Baru Hegemoni Mayoritas atas Minoritas di Indonesia

Sesuai dengan judul tulisan ini, baru-baru ini ada satu lagi peristiwa yang menimpa masyarakat minoritas kita, Sunda Wiwitan, akibat hegemoni kaum mayoritas yang berlebihan. Mungkin bagi masyarakat yang hidup di kota-kota besar, jarang membaca atau mendengar berita yang berkaitan dengan kelompok Sunda Wiwitan ini.

Sunda Wiwitan adalah kelompok masyarakat adat yang memiliki keyakinan dan praktik keagamaan lokal yang berpusat di daerah Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Kepercayaan Sunda wiwitan ini sudah mengakar bahkan sebelum Islam datang ke wilayah Sunda. Bagi para pengikutnya, Sunda Wiwitan adalah “agama”, namun kelompok mayoritas, terutama Islam, tetap menganggap bahwa Sunda Wiwitan masih belum bisa didefinisikan sebagai agama, tapi masih merupakan keyakinan.

Akan tetapi, terlepas dari apakah itu agama atau keyakinan, Negara tetap mengakui sepenuhnya eksistensi mereka sebagai warga negara secara konstitusional. Bahkan, Negara menjamin hak mereka untuk melaksanakan keyakinan yang mereka yakini. Sebagai masyarakat adat yang secara historis sudah ada sebelum negara ini ada, Sunda Wiwitan berhasil mempertahankan eksistensi mereka sampai kini. Secara tertulis memang benar demikian, namun realitanya apakah memang sudah terjamin? Mari kita lanjut.

Ternyata, kelompok keagamaan yang kecil ini sering mendapat tekanan dari kelompok masyarakat mayoritas yang merasa punya kuasa. Sayangnya Negara seperti absen dan tidak mengindahkan amanat konstitusi hak umat berkeyakinan. Mungkin karena saking kecilnya mereka, segala peristiwa yang menimpa mereka tidak mendapat perhatian dari para kalangan dan tokoh. Namun tetap saja, meskipun kecil, hak-hak sebagai warga negaranya tidak berbeda dengan mereka yang menjadi kelompok mayoritas.

Sebagai sebuah kelompok yang sangat kecil, Sunda Wiwitan kerap mengalami persekusi dan kesulitan untuk mendapatkan hak-hak kewarganegaraan mereka, terutama hak-hak untuk melaksanakan keyakinan dan agama mereka.

Baru-baru ini, kelompok tiny minority tersebut mengalami hambatan untuk membangun pemakaman atau pesarean masyarakat Adat Karuhung Urang (AKUR) di situs Curug Goong di Cisantana, Cigugur, Kuningan. Pembangunan pemakaman ini, menurut mereka, diperuntukkan untuk pemimpin spiritual mereka, Pangeran Djatikusumah.

Oleh pemerintah setempat, dengan intervensi kaum mayoritas, pembangunan tersebut diberhentikan. Bahkan sempat ada pengerahan massa untuk menghentikan pembangunan tersebut, karena menurut mereka, Sunda Wiwitan tidak memiliki IMB (Izin Mendirikan Bangunan). Namun, alasan IMB ini bukanlah sebab sebenarnya bagi penghalangan pembangunan di atas. Mengapa demikian? Mari kita lanjutkan.

Kelompok mayoritas sebenarnya telah lama menunggu kesempatan untuk mendapatkan cara menghakimi keberagamaan masyarakat adat Sunda Wiwitan. Dengan menggunakan cara pandang agama mereka, masyarakat sekitar lokasi pembangunan menganggap bahwa makam atau pesarean tersebut akan dijadikan sebagai tempat pemujaan atau tempat ibadah bagi kelompok Sunda Wiwitan dan itu bertentangan dengan keyakinan mayoritas. Padahal mereka membangun di atas tanah mereka sendiri, bukan di atas tanah milik umum atau milik negara.

Persoalan IMB, sebenarnya Sunda Wiwitan sudah berusaha untuk taat kepada aturan negara. Mereka telah mengajukan IMB. Jawaban yang mereka dapatkan dari pemerintah setempat adalah bahwa negara belum memiliki petunjuk pelaksanaan untuk mengeluarkan IMB bagi pesarean yang mereka ajukan. Menurut pemerintah setempat, pesarean atau paseban itu masuk dalam kategori pembangunan non-gedung. Jelas istilah non-gedung bagi kita mungkin merupakan istilah yang cukup membingungkan. Karena pasti dalam pesarean tersebut, mengandung unsur gedung dan bangunan.

Apakah kategori non-gedung itu harus seperti rumah, hotel, atau yang bagaimana? Namun, jawaban “belum ada petunjuk pelaksanaan bagi pembangunan non-gedung” dari pemerintah setempat tersebut adalah hal yang memprihatinkan. Karena mestinya, mereka tidak berhenti pada jawaban di atas. Pemerintah setempat mestinya memberikan jalan keluar dan sekaligus perlindungan bagi Sunda Wiwitan. Itulah mengapa negara seakan absen dan abai dalam menghadapi fenomena semacam ini.

Keputusan Pemerintah setempat tersebut seolah membuka peluang bagi kaum mayoritas yang memang sudah lama menunggu akan jawaban yang seperti itu. Maka, kemudian masyarakat agama mayoritas datang dan memaksakan kehendak mereka agar pembangunan pesarean atau paseban diberhentikan. Tentu jawaban pemerintah setempat di atas menjadi legitimasi legal kehendak mereka, ketiadaan IMB untuk meneruskan pembangunan pesarean. Jika sudah seperti ini, lalu ke mana lagi Sunda Wiwitan harus meminta pertolongan.

Sebenarnya, kasus seperti ini sudah berulang kali terjadi di Indonesia. Contoh lain peristiwa persekusi yang dialami oleh kaum minoritas yang banyak terjadi misalnya penolakan pembangunan gereja atau tempat ibadah lain. Fenomena ini seperti mempertanyakan komitmen negara untuk memberikan jaminan atas hak-hak dasar mereka.

Negara juga belum bisa memberikan respon serius berupa jaminan bagi kelompok minoritas untuk mendapatkan hak penuh sebagai warga negara untuk melaksanakan keyakinan dan agama mereka. Mereka dijamin tidak mendapatkan persekusi lagi dari masyarakat lain sesama warga negara.

Apakah kita merasa menjadi bagian dari masyarakat agama mayoritas yang dibahas di atas, jika iya mari kita membenahi diri. Di Madinah, Nabi dan para sahabat ber-Islam dengan sangat damai di tengah keberagaman. Nabi tidak pernah memaksa orang lain untuk masuk Islam apalagi sampai mempersekusi. Inilah yang kemudian mendasari Islam sebagai agama yang sangat menjunjung tinggi kerukunan antar umat beragama.

Maka, jangan sampai Islam yang ramah tersebut berbalik menjadi Islam yang intoleran di tangan generasi kita. Tidak usah umat Islam menunggu keputusan IMB dari pemerintah, dalam kasus di atas, untuk berhenti mempersekusi Sunda Wiwitan. Tidak perlu menunggu perintah undang-undang untuk hidup rukun antar sesama. Jika kita ber-Islam dengan baik, maka tentu tidak perlu terjadi gesekan antar kepercayaan yang berujung konflik. Tidak juga terjadi pelanggaran hak-hak umat beragama lain yang hidup berdampingan dengan kita.

Mungkin salah satu dari kita atau kita sendiri tidak sepakat dengan kepercayaan Sunda Wiwitan atau kepercayaan lain dan segala ritual peribadatannya, namun justru disitulah sikap toleransi kita diuji. Semakin kita mampu mengesampingkan ego, semakin kita mau untuk saling berkomunikasi dan bersikap inklusif, semakin kita menjadi umat beragama yang baik, maka Islam rahmatan lil ‘alamin akan sangat mungkin terjadi di Negara kita, Indonesia.

Wallahu a’lam bisshawab.