Tuhan Ada di Hatimu, Bukan di Masjid atau di Tembok Ratapan

Tuhan Ada di Hatimu, Bukan di Masjid atau di Tembok Ratapan

Tuhan Ada di Hatimu, Bukan di Masjid atau di Tembok Ratapan

Buku Tuhan Ada di Hatimu adalah sebuah ikhtiar yang hadir bagaikan oase di tengah gersangnya sikap beragama.

Agama Islam bukanlah sekedar halal-haram, pahala-dosa, bukan agama yang dibawa dengan pedang. Agama Islam diturunkan dengan rahmatan-lil-alamin, artinya membawa rahmat bagi seluruh semesta alam, bukan membawa ancaman apalagi ketakutan.

Buku ini dibagi dengan 4 tema yang berbeda, yaitu hijrah, Islam yang bijak, akhlak Islam, dan tentang toleransi. Tema di atas merupakan respon terhadap isu-isu yang kekinian dan anak muda banget. Husein Ja’far atau yang lebih sering dipanggil Habib Husein mampu menjelaskan penjabaran fenomena ini dengan praktis namun dengan bersumber kepada kitab klasik maupun Al-Quran dan hadis.

Pada bagian pertama, Habib Husein menjelaskan kritik kepada golongan yang sedang hijrah. Hijrah itu tidak sekedar berubah dari belum berkerudung menjadi berkerudung, dari tak berjenggot menjadi berjenggot, tapi lebih ke substansi sebagai seorang muslim. Kita harus lebih murah senyum, bersikap lebih ramah kepada orang lain, lebih maju dalam ilmu pengetahuan, dan memiliki kepekaan sosial.

Hijrah jangan hanya berhenti di satu titik, karena menimba ilmu harus terus menerus. Seorang yang hijrah juga seharusnya mampu menghadapi perbedaan, tidak boleh sampai mengkafirkan yang lain. Karena perbedaan adalah rahmat dari Allah SWT, juga merupakan sunatullah. Islam adalah agama yang tegas, bukan keras.

Dalam memahami Al-Quran dan Sunnah, Habib Husein punya pernyataan yang menarik: bukanlah kembali kepada Al-Quran dan Sunnah, akan tetapi berangkat dari Al-Quran dan Sunnah. Maksudnya adalah mempelajari Al-Quran dan Sunnah itu menggunakan akal dan hati, kemudian kita ajak Al-Quran dan Sunnah bersinergi dengan ruang dan zaman di mana kita hidup. Substansi inilah yang penting kita pegang sebagai seorang muslim. Penting juga untuk mencari pendakwah yang mempersatukan, bukan menceraiberaikan.

Dalam bagian kedua, Habib Husein mengajak menyelami bagaimana islam yang bijak itu. Salah satu contoh adalah menyampaikan kebenaran yang bernilai kebaikan dengan cara yang indah. Benar saja tak cukup, ia harus bernilai kebaikan dan disampaikan dengan cara yang indah, misalnya dengan kreatif. Di bagian ini juga menyikapi tentang fenomena membela Tuhan. Perlukah? Atau jangan-jangan kita hanya membela ego kita sendiri.

Islam bukan agama perang, karena Nabi Muhammad SAW hanya 1 % saja dalam hidupnya melakukan perang, 99% sisanya Nabi berdakwah dengan kasih sayang dan menegakkan akhlak yang agung. Perang dalam Islam hanya bersifat defensif, artinya fitrah manusia itu sebenarnya membeci peperangan. Peperangan tidak dilakukan apabila tidak dalam keadaan darurat.

Berikutnya Habib Husein mengajak meneladani akhlak Nabi Muhammad SAW. Nabi diutus oleh Allah SWT untuk menyempurnakan akhlak. Kalau ada seseorang yang membawa nama Islam akan tetapi jauh dari akhlak nabi, maka dia itu ikut siapa? Nabi dahulu sibuk mempersatukan yang beda, mengapa sekarang banyak yang mengkafirkan, menyesatkan, membid’ahkan sesama muslim? Hal ini tentunya menjadi bahan renungan untuk kita semua.

Perkara akhlak, kita juga harus dapat mengolah informasi yang berisi berita hoaks. Kita harus benar-benar menelusuri kabar yang datang kepada kita, entah itu melalui lisan atau smartphone. Harus haqqul yaqin, benar-benar yakin, bukan hoaks-qul yaqin atau yakin pada hoaks hanya karena malas ngecek sumber berita atau lantaran kabar itu menguntungkan kita.

Bagian terakhir menjabarkan tentang toleransi. Ada pendapat yang menjabarkan tentang hukum musik, namun yang lebih ditekankan adalah menghargai perbedaan pendapat tentang musik. Saya setuju dengan uraian Habib Husein, bahwa apabila musik membawa nilai-nilai luhur: kemanusiaan, perdamaian, ketulusan cinta, kesetiaan, dan lain-lain, itu termasuk musik yang baik dan hukumnya halal.

Islam diturunkan untuk menjadi solusi, bukan menambah permasalahan baru. Oleh karena itu, seharusnya kita tidak mempersulit diri sendiri apalagi orang lain. Islam itu sudah pasti moderat, yaitu berlaku adil dan pertengahan, tidak berat sebelah.

Uraian singkat di atas adalah intisari dari buku Tuhan Ada Di Hatimu. Sebenarnya masih banyak poin penting yang bisa dijabarkan, seperti tasawuf dan lain-lain, karena buku ini isinya sangat padat namun benar-benar praktis untuk dipahami. Nilai-nilai Islami yang ditonjolkan adalah tentang cinta, toleransi, dan akhlak. Sebenarnya, Habib Husein sudah sering menyampaikan isi buku ini di konten youtube-nya, Jeda Nulis, tetapi dalam buku ini dijelaskan lebih lengkap dengan beberapa dasar dalil. Saya kira anda semua harus membacanya. (AN)

 

DATA BUKU

Judul Buku     : Tak di Ka’bah, di Vatikan, atau di Tembok Ratapan, TUHAN ADA DI

HATIMU

Penulis            : Husein Ja’far Al-Hadar

Penerbit           : Noura Books

Cetakan           : Ke 1, Juli 2020

Tebal               : 204 halaman

ISBN               : 978-623-242-147-9