Hari-hari ini, kita digemparkan dengan kasus hukum yang membelit Al Habib Bahar bin Sumayth (Smith), terkait tuduhan penganiayaan anak di bawah umur. Ada yang melaknat, ada yang mencaci, namun tak kurang yang membela dan menganggap itu kriminalisasi ulama. Bagaimana panduan bersikap atas hal itu? Sebaiknya kita telusuri beberapa kisah.
Suatu saat, Mekah digemparkan oleh sebuah kasus hukum. Semasa Fathul Makkah atau pembebasan kota Mekah, seorang wanita dari Bani Makhzum tertangkap tangan sedang mencuri. Bani Makhzum sendiri adalah salah satu sub-klan dari suku besar Quraisy yang terhormat di Mekah, selain sub-klan Quraisy lain seperti Bani Abdud Dar, Bani Abdul Manaf, Bani Zuhrah, Bani Taim, Bani ‘Adiy dan Bani Asad.
Dari Bani Makhzum ini kita kenal beberapa nama sahabat besar seperti Khalid bin Walid dan Walid bin Mughirah. Bani Makhzum diturunkan dari Makhzum bin Yaqazhah, cucu dari Murrah bin Ka’ab.
Kejadian itu tentu menjadi masalah besar, mengingat bahwa dalam hukum Islam dikenal hukuman potong tangan pada pencuri dalam batas-batas tertentu.
Masalah menjadi semakin besar karena hukuman itu harus menimpa seorang perempuan dari suku terhormat. Maka para pemuka masyarakat berkumpul, bermusyawarah untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Disepakatilah sebuah keputusan untuk mengutus Usamah bin Zaid memintakan keringanan hukuman kepada Rasulullah. Usamah sendiri adalah seorang yang dikasihi oleh Rasulullah. Beliau adalah anak dari Zaid bin Haritsah yang pernah menjadi anak angkat Rasulullah, dengan istrinya Ummu Aiman.
SedangUmmu Aiman adalah seorang Habsyi yang pernah menjadi sahaya ibunda Rasulullah, beliau pula yang mengasuh Rasulullah dan membersamai Rasulullah kembali ke Mekah ketika sayyidah Aminah wafat dalam perjalanan ziarah ke makam Ayahanda Rasulullah. Jelaslah kedudukan Usamah bin Zaid sangat istimewa dan terkasih di mata Rasulullah.
Usamah pun menghaturkan permintaan para pemuka masyarakat itu kepada Rasulullah. Seketika Rasulullah menjawab, “Apakah engkau hendak memintakan keringan hukuman dari ketetapan Allah, wahai Usamah?” “Mohonkanlah ampun aku wahai Rasulullah,” pinta Usamah.
Rasulullah SAW pun bangkit dan berkhutbah, “Amma ba’du, wahai sekalian manusia. Sesungguhnya kehancuran umat sebelum kalian dikarenakan jika mencuri orang-orang yang mulia, mereka dibiarkan. Sedangkan jika yang mencuri orang lemah, mereka dihukum. Demi dzat yang diriku digenggaman-Nya, seandainya Fathimah putriku mencuri, maka akan aku potong tangannya.” Dalam beberapa riwayat, hukuman itu tetap dilaksanakan dan perempuan itu bertaubat serta kelak menjadi orang yang lebih baik.
Di saat yang lain, dikisahkan oleh as-Sindi bahwa Durrah binti Abu Lahab, putri Abu Lahab, Musuh Allah dan Rasul-Nya. Namun berbeda dengan sang ayah, beliau mengikuti jalan kebenaran dengan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Beliau juga mengikuti hijrah. Namun dikarenakan reputasi sang ayah, beliau sering dihina dengan sebutan “putri kayu bakar neraka”.
Beliau pun mengadukan ini kepada Rasulullah. Rasulullah bangkit dengan menunjukkan wajah marah seraya bersabda, “Apa keadaan kaum yang menyakitiku dalam nasab dan kerabatku? Ingat, siapa yang menyakiti keturunanku dan orang-orang yang mempunyai hubungan denganku, berarti ia menyakitiku. Dan barangsiapa menyakitiku, maka ia sungguh telah menyakiti Allah.”
Hadis-hadis serupa juga banyak bertebaran. Seperti dalam kitab Sabil al-Huda wa Rasyad fi Sirah Khairil ibad mengutip riwayat dari al-Dailamiy, bahwa surga diharamkan pada mereka yang mendholimi keluarga dan keturunan (Ahlu al Bait) Rasulullah atau orang yang menolong orang lain untuk mendholimi dan membunuh mereka.
Bahkan sebuah riwayat menyatakan, “Sesiapa menyakitiku dan keturunanku, maka atasnya laknat Allah.” Dalam kitab Dakhoiril Uqba fi Manaqib Dzawil Qurbah, juga dijelaskan haramnya surga bagi mereka yang mendholimi, membunuh, menjatuhkan dan menghina atau mengutuk ahl al bait Rasulullah.
Lantas, bagaimana kita harus bersikap?. Pertama, jika terjadi pelanggaran hukum oleh ahlul bait, maka hukum harus tetap ditegakkan.
Ini merupakan indikasi kuat dari sabda Rasulullah di atas bahwa supremasi hukum harus tetap tegak tanpa pengecualiaan. Karena jika tidak demikian, akan merusak keadilan yang dijunjung tinggi oleh Islam.
Kedua, pihak berwajib harus bertindak profesional dan memastikan hukum berjalan dengan adil. Perbuatan menghukum ahlul bait atas pelanggaran hukum, jelas bukan termasuk kategori mendholimi. Kecuali, jika yang berwajib bertindak di luar koridor hukum.
Ketiga, hendaknya kaum muslim menghindarkan diri dari menggunjing, mencela, menghina dan upaya menjatuhkan harga diri, apalagi mengutuk ahlul bait.
Pada saat yang sama, hal itu juga tak boleh dilakukan kepada siapapun, termasuk orang muslim maupun non-muslim. Karena Islam tak mengajarkan kebencian, cacian dan makian serta kutukan.Cukupkan diri kita dengan mengoreksi diri sendiri.
Keempat, semua pihak sebaiknya menahan diri dari melakukan upaya mereduksi wibawa hukum dan aparat penegak hukum dengan mengkampanyekan sebuah upaya hukum yang sah sebagai sebentuk kriminalisasi. Ini hanya akan merusak tatanan kehidupan sosial dan wibawa hukum.
Patut juga kita mengingati sebuah peristiwa ketika Rasulullah diminta untuk melaknat kaum kafir. Beliau menjawab, “Bukanlah aku diutus sebagai pelaknat, melainkan aku diutus sebagai pembawa rahmat.” Maka, jika mulutmu masih penuh laknat, segera koreksi, siapa panutanmu?.
Allahu a’lam.