Dalam tradisi muslim, sering dinukil keunggulan kabilah Quraisy, dan bahkan disebutkan dalam riwayat tentang “al-Aimmah min Quraisyin”. Quraisy adalah suku yang sangat dihormati di zaman Nabi Muhammad, dan merupakan suku asal Kanjeng Nabi Muhammad, juga orang-orang yang menggantikannya, seperti Sayyiduna Abu Bakar, Sayyiduna Umar, Sayyiduna Utsman, dan Sayyiduna Ali bin Abi Thalib. Suku Quraisy itu memiliki sub-sub suku.
Berkaitan dengan Quraisy itu, umat Islam juga diingatkan oleh Nabi Muhammad SAW, ternyata kerusakan umat juga disebabkan oleh sebagian “bocah-bocah Quraisy”. Riwayat soal ini disebutkan di antaranya dalam hadits riwayat Imam al-Bukhari dan beberapa perawi lain, demikian:
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ يَحْيَى بْنِ سَعِيدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ سَعِيدٍ قَالَ أَخْبَرَنِي جَدِّي قَالَ كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ
فِي مَسْجِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ وَمَعَنَا مَرْوَانُ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ سَمِعْتُ الصَّادِقَ الْمَصْدُوقَ يَقُولُ هَلَكَةُ أُمَّتِي عَلَى يَدَيْ غِلْمَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ ….
Artinya:
“Musa bin Ismail menceritakan kepada kami, Amru bin Yahya bin Sa`id bin Amri ibni Sa`id berkata: “Kakekku mengabariku, dia berkata: “Saya pernah duduk bersama Abu Hurairah di masjid Nabi di Madinah, dan bersama kami Marwan.” Abu Hurairah berkata: “Aku mendengar Orang Benar dan Dibenarkan (maksudnya Nabi Muhammad SAW) bersabda: “Kebinasaan umatku (umat Nabi Muhammad) di antaranya disebabkan tangan bocah-bocah Quraisy….”
Hadis ini, diriwayatkan Imam al-Bukhari, pada kitab al-Fitan, No. 7058. Ibnu Hajar al-Asqalani, yang mensyarah as-Shahih al-Bukhari dalam Fathul Bari, menyebutkan hadits ini juga diriwayatkan Imam Ahmad dan an-Nasai, juga dari Abu Hurairah. Perbedaan kecil, di antaranya terjadi pada penyebutan: pada riwayat al-Bukhari, menggunakan kata “halakatu ummati” sementara dalam riwayat Imam Ahmad dan an-Nasai menggunakan kata “inna fasada ummati”; dan riwayat lain Imam Ahmad hanya menyebut “fasadu ummati”.
Hadis di atas memberi pengertian, bahwa ummat Islam ada mengalami masa kerusakan, di antaranya disebabkan oleh bocah-bocah atau anak-anak muda dari suku Quraisy. Kata “ghilmati” (bocah-bocah), diterangkan oleh hadis Imam Ahmad yang menyebutkan, ada penambahan kata “ghilmati sufaha’i min Quraisyin” (bocah bodoh dari suku Qurasy). Dan suku Quraisy itu, terdiri dari banyak sub suku, dan Nabi tidak menyebut secara khusus, kepada orang tertentu, sehingga disebut kata “ghilmati” (bocah-bocah), bukan nama orang tertentu, yang bisa terjadi hal ini di berbagai masa.
Kata “ghilmah” (juga ghilam dan ughailimah) disebut Ibnu Hajar al-Asqalani sebagai jamak dari kata “ghulam” (bocah). Ad-Dawudi, yang dikutip Ibnu Hajar, memaknai kata “ughailimah” juga bermakna “terkadang pula digunakan untuk laki-laki karena diserupakan dengan anak-anak dalam hal kekuatannya.”
Ibnu Hajar, juga menegaskan dalam Fathul Bari bahwa “kadang kata shobi (anak kecil) dan ghulaim (bentuk tashghir dari ghulam), digunakan dalam arti orang yang lemah akal, serta dangkal agamanya meski sudah baligh.” Dengan makna ini, juga bisa diartikan bahwa “bocah-bocah kecil” adalah orang-orang yang lemah akalnya (karena dikalahkan nafsunya) dan dangkal agamanya meskipun sudah baligh.
Karenanya, dari sudut ini, umurnya bisa saja dewasa, tetapi akal dan pemahamannya dangkal, sehingga tidak memiliki adab-adab yang baik dalam menerapkan agama Islam.
Bahkan Ibnu Hajar menegaskan, hadis ini tidak khusus hanya kepada anak-anak penguasa yang ditafsirkan sebagai anak-anak Bani Umayyah, sehingga dia mengatakan begini: “Namun yang lebih utama adalah memahami dengan arti yang lebih umum dari itu.” Jadi, tidak hanya pada anak-anak penguasa Bani Umayyah, yang sebagian penafsiran menyebut itu. Dengan arti umum ini, maka hadits itu terus menerus memiliki relevansinya di setiap masa dan tempat, ada kemungkinan dari kalangan Quraisy karena lemah akal dan dangkal agamanya, tetapi dia memiliki posisi penting, atau dianggap penting oleh umat, sehingga menyebabkan kerusakan bagi umat, yaitu kerusakan akhlak dan kerusakan lainnya, karena bimbingan dan aktivitas yang ghilmati sufaha’ tadi.
Sedangkan maksud dari penyebutan Quraisy disebutkan Ibnu Hajar al-Asqalani, begini: “Sebagian dari Quraisy, yaitu orang-orang yang berusia muda di antara mereka dan bukan semuanya. Artinya mereka membinasakan manusia disebabkan perbuatan mereka menuntut kekuasaan dan berperang untuk merealisasikannya. Keadaan manusia menjadi rusak dan kekacauann terjadi di mana-mana akibat fitnah yang muncul secara beruntun.”
Hal ini memberi pengertian, kalau sudah ada dari kalangan suku Quraisy turut campur dalam masalah politik dan meneriakkan dan menuntut kekuasaan di tengah umat umat (baik untuk mengegolkan dirinya sendiri atau calonnya); dan hubungan dengan politik itu disifati dengan lemahnya akal dalam melihat kepentingan umat secara jangka panjang, dan dangkalnya pemahaman agama, sehingga membenamkan akhlak dan adab-adab yang baik dalam urusan politik itu, maka sabda Nabi di atas memberi pengertian, dimana bocah-bocah Quraisy itu menjadi sebab tangan-tangan mereka menghancurkan kehidupan umat.
Dalam menjelaskan redaksi lain dari hadits yang berhubungan dengan ini, Ibnu Hajar menyebutkan “Sekiranya manusia menyingkir dari mereka”, adalah tidak menyertai mereka dan tidak berperang bersama mereka , bahkan (harus) lari menyelamatkan agama mereka dari fitnah (yang ditimbulkannya). Ini adalah ungkapan yang terang, agar umat Islam menyingkir dari fitnah yang ditimbulkan mereka, dan tidak menyertai mereka.
Wal`ajib, penyebutan khusus kepada suku Quraisy oleh Nabi Muhammad, dan tidak kepada yang lain, adalah peringatan dan mengandung keajaiban-keajaiban tersendiri yang diperlihatkan Nabi, yang menandakan perlunya umat bersifat kritis terhadap aspek-aspek yang berhubungan dengan orang-orang muda suku Quraisy (meskipun juga kadang dianggap sebagai suku yang unggul), bila sudah ada kondisi-kondisi dimana di antara mereka ada yang menuntut kekuasaan, dan atau berpretensi dengan bias kekuasaan.
Karena Sabda Nabi melalui riwayat Abu Hurairah itu, tidak dikhususkan kepada sub suku Quraisy tertentu, maka bisa kepada siapa saja di antara orang-orang Quraisy yang disifati dengan “bocah-bocah”, yang di antaranya maknanya lemah aqal dan dangkal agamanya, meskipun sudah di atas baligh, yang realisasinya bisa ada di berbagai masa dan tempat.
Sabda Nabi di atas juga memberi pengertian lain dan membuktikan, tentang Nabi yang diutus sebagai rahamtan lil`alamin itu, juga memberi peluang kepada siapa saja di antara umat Islam, baik yang `ajam atau yang tidak, agar mampu melihat dengan jernih, jangan hanya berhenti pada kekaguman kepada orang-orang Quraisy, sebab ada juga sebab-sebab kerusakan umat itu bisa ditimbulkan dari sebagian Quraisy.
Tentu, ini tidak memberi jalan pengertian sebagai pembenaran atas sikap anti Arab dan anti Quraisy dalam masyarakat kita, karena sikap seperti ini adalah sebuah kesalahan dan tidak tepat. Akan tetapi kita diberi pengertian dari sabda Nabi, untuk kritis kepada mereka dari kalangan ghilmati sufaha’ dari kalangan Quraisy; apalagi kalau keberadaan mereka sudah masuk ke panggung politik kekuasaan, agar seperti sabda nabi di atas tidak terjadi “halakatu ummati” atau “inna fasada ummati”.